
Ngeri! Tak Cuma Inflasi, Amerika Ternyata Hadapi Greedflation

Jakarta, CNBC Indonesia -Â Tren kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS) belum berakhir. Bank sentral AS (The Fed) pada Kamis (15/6/2023) dini hari waktu Indonesia memang mempertahankan suku bunga acuannya di 5% - 5,25%, tetapi memberikan sinyal akan ada kenaikan lagi di sisa tahun ini.
Dalam pengumuman kebijakan moneter tersebut, The Fed juga merilis dot plot yang menunjukkan suku bunga bisa dinaikkan lagi di sisa tahun ini.
Dot plot tersebut menunjukkan suku bunga bisa berada 5,6% atau di rentang 5,5% - 5,75%. Artinya, masih ada kemungkinan kenaikan dua kali lagi masing-masing sebesar 25 basis poin.
Tidak hanya dinaikkan, suku bunga tinggi akan dipertahankan dalam waktu yang lama. Hal itu diungkapkan oleh ketua The Fed, Jerome Powell.
"Pemangkasan suku bunga akan tepat dilakukan saat inflasi turun secara signifikan. Dan sekali lagi, kita berbicara beberapa tahun ke depan," kata Powell.
Ia menambahkan, dalam dot plot bisa dilihat tidak ada satu anggota Komite (FOMC) yang menginginkan suku bunga akan dipangkas tahun ini.
Langkah tersebut diambil guna membawa inflasi kembali ke target 2%. Masalah itu sepertinya tidak akan mudah, sehingga The Fed perlu mempertahankan suku bunga tinggi dalam waktu yang cukup lama.
Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) pada Mei tercatat sebesar 4% year-on-year (yoy), sudah turun lebih dari setengah ketika mencapai 9,1% pada Juni 2022 lalu, level tertinggi dalam lebih dari 40 tahun terakhir.
Sementara itu inflasi inti, yang tidak memperhitungkan sektor energi dan makanan tumbuh 5,3% (yoy). Inflasi ini yang menjadi perhatian, sebab lebih persisten alias sulit untuk naik turun.
Belum lagi melihat inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) justru mengalami kenaikan menjadi 4,4% (yoy) pada April lalu dari bulan sebelumnya. Kemudian, inflasi PCE inti naik menjadi 4,7% dari sebelumnya 4,6%.
The Fed tidak sekedar menghadapi inflasi, tetapi banyak yang menyebut greedflation. Fenomena ini terjadi ketika perusahaan menggunakan inflasi sebagai alasan untuk menaikkan harga produknya dan menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi.
Greedflation banyak terjadi terutama pada perusahaan yang bergerak di sektor konsumer. Hal tersebut diungkapkan oleh Accountable.US. sebagaimana dilansir Market Watch.
"Suku bunga tinggi tidak menghentikan perusahaan di S&P 500, khususnya industri makanan, untuk menaikkan harga konsumen meski sudah menghasilkan ekstra pendapatan miliaran dolar AS," kata Liz Zelnick, direktur di Accountable.US sebagaimana dilansir Market Watch, Rabu (14/6/2023).
Dengan pasar tenaga kerja AS yang masih sangat kuat, kenaikan harga tersebut diimbangi juga dengan kenaikan rata-rata upah. Pada awal bulan ini, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang Mei perekonomian mampu menyerap 339.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls), jauh lebih tinggi dari prediksi 190.000 orang. Berdasarkan catatan Dow Jones, penyerapan tenaga kerja tersebut sudah 29 bulan beruntun lebih tinggi dari ekspektasi.
Tingkat pengangguran mengalami kenaikan menjadi 3,7%, tetapi masih di dekat level terendah sejak 1969.
Kenaikan upah per jam juga masih kuat, sebesar 4,3%year-on-year. Sehingga meski perusahaan menaikkan harga makan dan minumannya, konsumen di Amerika Serikat masih mampu membeli, dan inflasi pun semakin sulit turun.
Kondisi ini berbahaya sebab bisa memicu wage-price spiral. Singkatnya, kenaikan gaji akan disusul dengan kenaikan harga barang, begitu seterusnya, dan tinggal menunggu waktu perekonomian akan mengalami keruntuhan yang parah.
Oleh karena itu, Kongres Amerika Serikat diminta bertindak agar greedflation tidak terjadi terus menerus.
"Keserakahan korporasi terus terjadi dan perlu tindakan serius dari Kongres. The Fed belum melihat dampak yang diinginkan dari kebijakan moneter yang diambil, yang telah menciptakan celah dalam perekonomian dan bisa membawa ke resesi. Itu tidak sepadan," kata Zelnick.
CNBCÂ INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)