Macro Insight

Manufaktur Amerika-China Makin Mencemaskan, Jepang Bikin Lega

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
07 June 2023 11:40
FILE PHOTO: Employees work an assembly line at a factory of Glory Ltd., a manufacturer of automatic change dispensers, in Kazo, north of Tokyo, Japan, July 1, 2015. REUTERS/Issei Kato/File Photo
Foto: pabrik di Jepang
  • PMI manufaktur banyak negara masih terkontraksi
  • Pemulihan belum sepenuhnya terjadi terutama bagi negara-negara maju di tengah masih tingginya inflasi
  • Pelemahan PMI terjadi di China, AS, dan Jepang

Jakarta, CNBC Indonesia - Gonjang-ganjing ekonomi sepertinya masih jauh dari kata selesai. Rilis data PMI Manufaktur berbagai negara di dunia seperti China, Amerika Serikat (AS), dan Jepang masih saja loyo alias masih berada di posisi kontraksi.

Dengan ini, pemulihan belum sepenuhnya terjadi terutama bagi negara-negara maju. Apalagi inflasi masih meninggi, sementara di Negeri Tirai Bambu pembukaan ekonominya dari kebijakan lockdown akibat Covid-19 nyatanya belum membuat negara itu benar-benar pulih.

Untuk diketahui, International Monetary Fund (IMF) mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2023 menjadi 2,9%.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi yang mencapai 2,9% pada 2023 tersebut lebih tinggi dari outlook atau proyeksi terakhir mereka pada Oktober 2022 yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi global hanya 2,7%. Namun, indikator ekonomi makro lainnya masih mencoba bangkit dari prospek yang suram.

Data PMI kerap digunakan untuk memahami ke mana arah ekonomi dan pasar serta mengungkap peluang ke depan.
Lantas bagaimana PMI Manufaktur negara-negara seperti Jepang, AS, dan China? Simak perkembangannya pada grafik.

Berdasarkan data di atas, bisa kita lihat bahwa Jepang masih berjaya atas data PMI Manufaktur di tengah kondisi ekonomi yang masih suram ini.

Indeks manajer pembelian (PMI) dari Jibun Bank Japan Services tercatat naik menjadi 55,9 penyesuaian musiman bulan lalu dari puncak sebelumnya 55,4 pada bulan April.
Angka ini berada jauh di atas ambang batas 50 yang memisahkan kontraksi dan ekspansi selama 9 bulan beruntun.

"Perusahaan didukung oleh pelonggaran beberapa pembatasan pandemi yang tersisa dan telah mencatat peningkatan permintaan yang kuat, terutama dari luar negeri dan pariwisata dalam negeri," kata Usamah Bhatti, ekonom di S&P Global Market Intelligence dikutip dari Reuters.

Tren kenaikan tampaknya akan berlanjut dalam jangka pendek dan menengah, ini dipicu oleh bisnis yang luar biasa berkembang pada tingkat rekor dan optimisme bisnis bertahan mendekati level tertinggi sepanjang masa.

Sementara China, Biro Statistik Nasional (NBS) pada Rabu (31/6/2023) melaporkan Indeks manajer pembelian manufaktur (PMI) turun ke level terendah lima bulan di 48,8 atau turun dari 49,2 pada April. Angka PMI ini juga mematahkan perkiraan kenaikan menjadi 49,4.

Angka ini benar-benar di luar ekspektasi analis, termasuk produksi dan investasi. Angka ini juga meningkatkan kekhawatiran tentang momentum pertumbuhan China.

Sub-indeks PMI yang mencakup produksi, pesanan baru, dan inventaris bahan baku mengalami kontraksi di bulan Mei, mengisyaratkan permintaan yang lebih lemah tidak hanya untuk ekspor tetapi juga investasi modal.

Meskipun tetap pada lintasan pertumbuhan, PMI non-manufaktur China turun menjadi 54,5, dari 56,4 di bulan April.

"PMI menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi China masih berlangsung di bulan Mei, meskipun dengan kecepatan yang lebih lambat," Julian Evans-Pritchard, kepala ekonomi China di Capital Economics yang berbasis di Inggris, menulis dalam sebuah catatan pada hari Rabu.
Artinya, industri sedang berjuang dan dukungan fiskal untuk konstruksi berkurang.

Ekonomi Asia sangat bergantung pada kekuatan ekonomi China, yang sedang terhuyung-huyung karena pemulihan pasca-Covid kehilangan momentum saat ini.

Setelah mengalami lockdown ketat akibat Covid-19, perekonomian China ternyata belum jua pulih. Alih-alih mencetak pertumbuhan yang tinggi setelah pembukaan kembali, impor China justru mengalami kontraksi.

Diketahui, impor China mengalami kontraksi atau -7,9% pada April 2023. Penurunan ini memperpanjang kinerja negatif yang sudah terjadi sejak Oktober 2022 lalu.

Sementara itu, pertumbuhan ekspornya tercatat melambat. Data Bea dan Cukai China juga mencatat ekspor tumbuh 8,5%(yoy), turun dari 14,8% pada bulan Maret lalu.

Perekonomian China 25% berasal dari permintaan domestik, sementara sisanya atau 75% berasal dari ekspor, terutama ekspor manufaktur. Adapun, sektor manufaktur di China saat ini tengah mengalami kontraksi.

Bagi Indonesia, penurunan PMI China ini patut menjadi 'alarm' penting bagi perdagangan terlebih China merupakan mitra dagang utama Indonesia. Meskipun hingga kini, perlambatan manufaktur China belum akan signifikan berpengaruh terhadap neraca perdagangan Indonesia.

Dari Amerika Serikat (AS), PMI manufaktur untuk periode Mei juga jeblok ke 48,4 pada Mei dari 50,2 pada April. Dengan PMI ada di angka 48,4 maka aktivitas manufaktur AS kini sedang tidak dalam fase ekspansif.

Lesunya aktivitas bisnis di Amerika memberi harapan jika bank sentral The Federal Reserve (The Fed) akan segera melunak. Pasalnya, ekonomi AS yang lesubisa menjadi sinyal jika inflasi akan melandai ke depan.

The Fed akan menggelar rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada 13-14 Juni mendatang.

Bagaimana dengan PMI Indonesia?

PMI Manufaktur Indonesia memang terpantau turun. Kendati demikian, kinerja manufaktur Indonesia mencatat ekspansi di tengah tren pelemahan manufaktur di negara-negara besar seperti Eropa, China, dan Amerika Serikat. Kondisi ini tercermin dari Purchasing Managers Index Indonesia pada Mei 2023.

Aktivitas manufaktur Indonesia pada Mei 2023 menunjukkan adanya penurunan permintaan.

S&P Global merilis data aktivitas manufaktur Indonesia yang dicerminkan dengan Purchasing Managers' Index (PMI) pada hari ini, Senin (5/6/2023).

PMI Manufaktur Indonesia untuk periode Mei 2023 berada di level 50,3. Angka ini lebih rendah dibandingkan pada April 2023 yang tercatat 52,7. Indeks 50,3 adalah yang terendah sejak November 2022 atau enam bulan terakhir.

Laju ekspansi menurun ke posisi terendah dalam enam bulan, namun tetap memperpanjang kondisi laju pertumbuhan saat ini menjadi satu tahun. Angka penurunan headline PMI Manufaktur di Indonesia, menurut S&P Global disebabkan adanya penurunan permintaan.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(aum/aum)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation