China & AS Sama-sama Bikin Pusing, RI Jadi Korban

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
07 June 2023 09:10
Shopping cart with Dollar and Yuan banknotes are seen in front of U.S. and Chinese flag displayed in this illustration taken January 30, 2023. REUTERS/Dado Ruvic/Illustration
Foto: REUTERS/DADO RUVIC

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi China dan Amerika Serikat (AS) belum juga memberikan perkembangan positif. Kedua ekonomi besar dunia ini sama-sama membuat pusing Indonesia.

Biro Statistik Nasional (NBS) China melaporkan Indeks manajer pembelian manufaktur (PMI) turun ke level terendah lima bulan di 48,8 tercatat turun dari 49,2 pada April. Angka PMI ini juga mematahkan perkiraan kenaikan menjadi 49,4.

Data PMI kerap digunakan untuk memahami ke mana arah ekonomi dan pasar serta mengungkap peluang ke depan. Ekonomi Asia sangat bergantung pada kekuatan ekonomi China, yang sedang terhuyung-huyung karena pemulihan pasca-Covid kehilangan momentum saat ini.

Dibukanya kembali aktivitas ekonomi China ternyata belum begitu menguntungkan bagi Indonesia seperti yang diharapkan. Justru malah bikin buntung ekonomi Indonesia.

Aktivitas pabrik China setelah 'mati suri' akibat pandemi Covid-19 kenyataannya belum mampu membuat produktivitas cepat pulih.

Ini menjadi lampu kuning bagi ekonomi China sebab manufaktur berkontribusi 33% terhadap pertumbuhan ekonomi China. Perlambatan ekonomi China ini harus diwaspadai oleh Indonesia. Penurunan PMI China menjadi alarm bagi perdagangan luar negeri Indonesia, mengingat Negeri Tirai Bambu ini merupakan mitra dagang utama.

Ekonom senior BCA Barra Kukuh Mamia menjelaskan, dibukanya aktivitas ekonomi di China pasca lockdown pandemi Covid-19, membuat China masih berjibaku untuk memulihkan ekonominya.

Pertumbuhan ekonomi China pada kuartal I-2023 berhasil tumbuh positif 4,5% secara tahunan (year on year/yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2022 yang mencapai 2,9% (yoy).

Produksi industri di China hanya tumbuh 5,6% (yoy), investasi aset tetap 4,7% dan penjualan ritel tumbuh 18,4%. Penjualan ritel memang menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Namun itu hanya dampak dari based effect setelah China memberlakukan lockdown.

"Ini efek dasar yang rendah dari lockdown Shanghai tahun lalu, dan sebenarnya menunjukkan penurunan tajam secara bulanan atau kontraksi 7,8%," jelas Barra dalam laporannya China's warehouses are full, and it is spilling over to the global economy, dikutip Rabu (7/6/2023).

Oleh karena itu, China rentan terhadap siklus penumpukan inventori yang diikuti oleh penurunan produksi, karena orientasi ekspor dan ketidakseimbangan dalam negerinya.

Pada 2024, Bank Dunia memperkirakan perekonomian China Bank Dunia akan melemah menjadi hanya tumbuh 4,6% dan merupakan hasil revisi ke bawah sebesar minus 0,4% dari proyeksi yang dilakukan pada Januari 2023. Pada 2025 pun pelemahan masih berlanjut menjadi 4,4%.

"Dampak dari kebijakan pembukaan kembali ekonomi memudah pada paruh kedua tahun ini, dan pertumbuhan akan melambat pada 2024 karena konsumsi yang moderat seiring belum pulihnya ekspor," kata Bank Dunia.

Sementara itu, ekonomi AS juga mengalami tekanan. Setelah lolos dari default alias gagal bayar, Negeri Paman Sam dihadapkan dengan inflasi tinggi. Kondisi pasar tenaga kerja AS yang masih kuat dengan prospek gaji yang kompetitif.

Namun, gaji yang kompetitif tentu berhubungan dengan daya beli masyarakat yang akan tetap terjaga, ini juga menjadi indikasi bahwa ekonomi AS masih cukup bertahan di tengah risiko resesi yang tinggi.

Namun, hal ini berbeda cerita bagi inflasi yang nasibnya masih tinggi, dengan gaji yang kompetitif tentu inflasi akan jadi sulit turun. Padahal target the Fed inflasi bisa melandai ke 2%, sepertinya akan jauh lebih sulit dicapai saat ini .

Data ketenagakerjaan yang kini dinanti pelaku bakal menjadi data terakhir sebelum rapat FOMC the Fed pada pertengahan Juni ini. Apabila data yang keluar memang masih tetap kuat tentu akan menjadi pemicu the Fed masih melanjutkan kebijakan ketat dengan menaikkan suku bunga.

Dari catatan Tim Riset CNBC Indonesia, kenaikan suku bunga telah terjadi selama 10 kali beruntun sejak paruh pertama 2022 lalu. Jadi, jika the Fed kembali menaikkan suku bunga maka menjadi yang ke-11 kali dan merupakan yang tertinggi sejak 2007. Tentunya hal ini berisiko bagi Indonesia.

Bukan tidak mungkin, bank sentral Tanah Air harus melakukan penyesuaian mengikuti langkah the Fed dalam rangka menjaga stabilitas rupiah.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bank Dunia: Ekonomi RI Bisa Salip China & AS di 2024-2025

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular