
Dolar Makin Tak Dianggap, Diganti Yuan?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kekuatan dolar Amerika Serikat (AS) semakin luntur. Rezim dolar diperkirakan akan redup dan berganti.
Hal ini telah dibaca oleh banyak pihak. Bahkan, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva membaca hal tersebut. Ia membenarkan dolar AS secara bertahap kehilangan statusnya sebagai mata uang cadangan utama dunia.
Dalam sebuah konferensi di AS, Senin waktu setempat, ia berujar perubahan telah terjadi. "Ada pergeseran bertahap dari dolar, dulunya 70% dari cadangan, sekarang sedikit di bawah 60%," tegasnya di acara Global Milken Institute 2023 dikutip Rabu (7/6/2023).
Meski belum bisa tergantikan dalam waktu dekat, tambahnya, pesaing AS terbesar sudah bermunculan. Ini antara euro, dengan potensi paling massif.
Ada pula pound Inggris, yen Jepang dan yuan China. "Mereka memainkan peran yang sangat sederhana," katanya.
Hal serupa juga dipaparkan Ekonom TD Bank, Vikram Rai, sebagaimana dikutip Business Insider menulis dalam 10 atau 20 tahun ke depan rezim mata yang baru akan muncul rezim mata uang baru. Tetapi tidak akan ada yang dominan di dunia, melainkan regional saja, selain itu bakal ada beberapa mata uang yang banyak digunakan.
"Dalam 10 sampai 20 tahun ke depan, ada potensi besar munculnya mata uang yang dominan di suatu regional dan rezim multipolar internasional. Peran itu kini hanya diisi oleh dolar AS yang nantinya bisa dibagi dengan euro, yuan yang lebih terbuka, mata uang digital bank sentral (CBDC) dan beberapa kemungkinan lain yang saat ini belum terlihat," tulis Rai, dikutip dari Business Insider.
Rai melihat euro dan yuan menjadi penantang serius dolar AS. Namun, dia menilai keduanya masih kalah pamor, sebab memiliki masalah masing-masing. Euro menjadi kurang menarik, karena obligasi yang diterbitkan berasal dari negara-negara yang berbeda, tidak seperti obligasi AS (Treasury) yang dianggap safe haven.
Sementara itu yuan China menjadi kurang menarik sebab nilanya masih dikontrol pemerintah. Namun, China menjadi negara yang paling getol mendongkel dolar AS. Sebagai negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, China memiliki pengaruh besar di sektor perdagangan.
Menteri Keuangan (periode 2013-2014) Muhammad Chatib Basri menilai bahwa peran dari mata uang China yakni renminbi alias yuan dalam menggantikan peran dolar AS bisa terjadi dalam waktu yang jangka panjang.
"Apakah dedolarisasi akan terjadi? Menurut saya peran dari mata uang Renminbi secara gradual memang akan meningkat, namun dibutuhkan waktu yang amat panjang untuk menggantikan US Dollar," jelas Chatib dalam akun instagramnya @chatibbasri.
Menurut Chatib ada tiga alasan, mengapa peran yuan untuk menggantikan dolar AS dibutuhkan waktu yang sangat panjang.
Pertama, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ekonom Barry Eichengreen dari Universitas California Berkeley, menunjukkan bahwa likuiditas renminbi saat ini masih sangat kecil.
Sementara untuk isu Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT), masih didominasi oleh dolar AS dan Euro yang masing-masing 40%. Di sisi lain, peran dari China dalam global aset baru sekitar 4%.
"Akibat based yang kecil ini, jika China kemudian negara-negara ingin berubah dari US dollar ke renminbi, maka akan timbul transaction cost karena tidak semua partnernya menggunakan (Renminbi)," papar Chatib.
Kedua, menurutnya, jika Renminbi ingin dipergunakan di semua negara, maka China harus melakukan capital account liberalisation. "Tanpa itu, Renminbi tidak fully convertable," tuturnya lagi.
Ketiga, mantan kepala BKPM ini melihat yang sering menjadi perdebatan adalah apa yang disebut sebagai triffin dilemma. Dilema Triffin atau paradoks Triffin adalah konflik kepentingan ekonomi yang muncul antara target domestik jangka pendek dan target internasional jangka panjang bagi negara-negara yang mata uangnya berperan sebagai mata uang cadangan global.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukti Terbaru Dedolarisasi, Yuan Kian Kikis Dominasi Dolar AS
