
Jadi Bola Panas Tiap Tahun, Sudah Adilkah Upah Buruh RI?

- Kenaikan UMP selalu menjadi perdebatan panas tiap tahun
- Perhitungan UMP dengan formula terbaru dinilai merugikan buruh
- Kenaikan UMP dinilai belum mampu imbangi kenaikan harga-harga
Jakarta, CNBC Indonesia -Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) selalu menjadi perdebatan panas menjelang akhir tahun. Perbedaan pandangan dan besarnya buruh di Indonesia menjadi salah satu alasannya.
UMP biasanya ditetapkan pada akhir November setelah tripartite (buruh, pengusaha, pemerintah) menggelar serangkaian pembahasan dan pertemuan.
Hawa panas biasanya mengiringi serangkaian pembahasan. Aksi protes hingga demo turun di jalan juga hampir selalu mewarnai penetapan besaran UMP tiap tahunnya.
Pada tahun ini, UMP ditetapkan naik maksimal 10%. Angka ini jauh lebih baik dibandingkan pada 2022 yang hanya 1,09%. Pemerintah bahkan tidak menaikkan UMP pada 2021 sebagai imbas pandemi Covid-19 yang meluluhlantakan ekonomi Indonesia.
Salah satu pertimbangan kenaikan tersebut adalah tingginya inflasi pada 2022 yakni 5,51% serta angka pertumbuhan sebesar 5,3%.
Meski sudah naik cukup besar, Asosiasi Serikat Pekerja atau ASPEK Indonesia Mirah Sumirat mengatakan kenaikan upah masih jauh dari angka ideal. Terlebih, harga barang dan jasa terus melonjak.
Dengan mempertimbangkan kesulitan buruh pasca pandemi serta meningkatnya kebutuhan hidup, kenaikan minimal seharusnya 13% sementara idealnya adalah 20%.
"Jadi kalau ditanya di angka ideal berapa UMP 2023 maka jawabannya adalah seharusnya 20%. Permintaan buruh 13% itu adalah angka minimal," tutur Mirah, kepada CNBC Indonesia.
Dalam catatan CNBC Indonesia, UMP tidak pernah naik double digit sejak 2017. Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, UMP hampir selalu naik di atas 10%.
Pada 2013, misalnya, UMP naik 19,1% sementara pada 2014 sebesar 17,44%.
Perhitungan UMP ikut memperngaruhi besaran kenaikan tiap tahun.
Formula kenaikan UMP saat ini merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang mengacu Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Sebagai catatan, UMP 2022 merupakan UMP pertama yang dihitungkan berdasarkan PP NO 36/2021.
Formula sebelumnya menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 di mana penentuan besaran upah minimum (UM) diubah dengan menggunakan formulasi inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Mirah juga mengingatkan PP 36/2021 seharusnya tidak dipakai sebagai perhitungan UMP karena inkonstitusional. Perhitungan UMP dengan merujuk PP tersebut juga akan menghasilkan kenaikan yang sangat kecil.
Sebelumnya, pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi mengatakan besaran kenaikan UMP akan sangat kecil jika perhitungannya merujuk pada PP 36/2021.
Dia mengingatkan kenaikan UMP seharusnya mampu mengimbangi inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
"Kalau kenaikannya kecil berarti tidak memberi insentif bagi buruh. Upah tidak bisa mengikuti inflasi terus apa artinya kenaikan?," tutur Tadjuddin, kepada CNBC Indonesia, beberapa waktu lalu.