Macro Insight
Ini Dia! Daftar Obat Penyembuh Krisis Paling Populer di Dunia

- Dunia kini memang tengah dihantui krisis, belum benar-benar usai soal Covid-19, harus dihadapkan lagi pada kondisi ketidakpastian akibat inflasi dan suku bunga tinggi pasca peran Rusia-Ukraina.
- Krisis dan tekanan ekonomi memang sudah dilewati Indonesia, mulai dari krisis ekonomi 1956 hingga pandemi Covid-19
- Beda krisis beda pula langkah kebijakan yang diambil untuk mengatasi serta mengantisipasi.
Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia telah mengalami puluhan krisis dengan penyebab dan dampak yang berbeda pula. Puluhan krisis yang dialami dunia memberikan banyak pelajaran penting, salah satunya adalah perlunya respon kebijakan yang cepat dan tepat.
Krisis terbaru yang dialami dunia adalah perang Rusia-Ukraina. Perang yang meletus pada 24 Februari 2022 tersebut nyatanya panjang hingga kini.
Lonjakan inflasi dan melemahnya perekonomian menjadi 'hantu' yang menyeramkan bagi semua negara. Kondisi tersebut membawa dunia kepada kekhawatiran baru yakni krisis ekonomi.
Saat ini sepertinya era suku bunga rendah sudah berakhir akibat inflasi yang benar-benar menggila di berbagai negara, termasuk Indonesia. Inilah yang memunculkan kekhawatiran pada krisis perbankan.
Kita lihat saja, perbankan di Amerika Serikat (AS) sudah merasakan dampak buruk kenaikan suku bunga yang sangat agresif.
Bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga sebesar 450 basis poin sejak Maret 2022 lalu menjadi 4,5% - 4.75%. Kenaikan tersebut menjadi yang paling agresif dalam empat dekade terakhir, dan tertinggi sejak 2007.
Sebetulnya, krisis seperti ini sudah terjadi sejak tahun 1990-an di mana deretan krisis di bidang ekonomi telah dialami dunia dengan penyebab dan magnitude yang berbeda-beda.
Namun, ada beberapa Krisis Ekonomi Asia pada 1997/1998, Subprime Mortgage 2007-2009, dan Pandemi Covid-19, hingga perang memberi dampak besar kepada Indonesia.
Krisis Ekonomi Asia atau dikenal juga dengan Krisis Moneter bahkan menjatuhkan kepemimpinan Presiden Soeharto yang sudah berlangsung hingga 32 tahun.
Krisis tersebut juga membuat negara kita jatuh serta berdampak kepada seluruh sendi-sendi kehidupan, mulai dari ekonomi, politik, hingga sosial.
Mempolakan krisis bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan, terlebih lagi penyebab dan gejala krisis sangat beragam dengan latar belakang kondisi negara tempat terjadinya krisis yang beragam pula sehingga membuat respon kebijakan yang diambil tentu berbeda-beda.
Krisis Ekonomi Asia, 1997/1998
Krisis Asia disebabkan oleh defisit current account yang berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi yang pesat pada saat itu salah satunya didukung oleh kegiatan ekspor-impor Negara Asia tenggara.
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya krisis Asia adalah tingkat ketergantungan yang tinggi Negara-negara Asia tenggara terhadap dana Asing.
Pada saat itu Negara Asia tenggara banyak melakukan pinjaman luar Negeri untuk membiayai pembangunan yang dimaksudkan bagi peningkatan pertumbuhan ekonominya.
Faktor berikutnya yang menyebabkan terjadinya krisis Asia 1997/1998 adalah regulasi ekonomi yang buruk.
Pada saat itu investor asing yang berinvestasi di Negara-negara Asia tenggara tidak memperhitungkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang dilaksanakan atau diambil oleh Negara-negara Asia tenggara.
Respon Kebijakan
Pada krisis periode ini upaya untuk menghindari semakin jatuhnya perekonomian di beberapa negara Asia termasuk akibat spekulasi nilai tukar terhadap utang luar negeri utang jatuh tempo di akhir 1997, pemerintah Thailand, Korea dan Indonesia meminta bantuan IMF.
Selain kebijakan bantuan IMF, ada pula kebijakan fiskal di mana IMF meminta Thailand untuk menurunkan defisit anggarannya khususnya yang ditujukan untuk bantuan sosial agar dapat digunakan untuk restrukturisasi perbankan.
Sementara untuk Indonesia, IMF meminta untuk memangkas defisit anggaran sebesar 1-2% PDB yakni dengan menunda proyek infrastruktur, menghapus subsidi, penyesuaian pembebasan PPN dan harga BBM serta TDL.
Kebijakan moneter juga di susun di negara-negara Asia, tekanan terhadap nilai tukar akhirnya memaksa peningkatan suku bunga. Namun hingga suku bunga mencapai puncaknya hanya pada tahap selanjutnya dari krisis, dan nilai tukar tidak menyentuh bawah sampai Januari 1998.
Pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman krisis ini adalah perlu adanya penguatan arsitektur sistem moneter internasional (IMF) yang baik.
Selanjutnya diperlukan peningkatan ketahanan ekonomi kawasan dan peningkatan peran ASEAN. Perlu adanya standar global system financial (G-10).
Yang terakhir perlu adanya universal tax (James Tobin) atau adanya feebased system (George Soros) dalam transaksi mata uang.
Subprime Crisis ( 2007-2009)
Subprime Mortage adalah jenis kredit perumahan yang ditawarkan kepada para individu yang memiliki risiko paling tinggi yang tidak dapat memenuhi syarat penerimaan kredit prime mortgage maupun Alt-A mortgage akibat terlalu tingginya rasio utang terhadap penghasilan.
Mereka juga memiliki sejarah kredit atau sejarah pembayaran sewa properti yang kurang baik, dan ketidakmampuan individu untuk menyerahkan dokumen yang dibutuhkan.
Produk-produk yang ditawarkan dalam Subprime Mortgage terlalu kompleks yang dapat menyebabkan kesalahampemahaman dan interpretasi. Risiko yang sangat tinggi bagi debitor karena sejarah kredit peminjam yang buruk, dan kemampuan keuangan peminjam yang rendah.
Kenaikan suku bunga The Fed dari 1-2% menjadi 5% di tahun 2007, sehingga berdampak pada naiknya nominal cicilan yang harus dibayar oleh peminjam.
Krisis Subprime Mortgage begitu cepat menyebar ke lintas sektor akibat dari karakteristiknya dan faktor eksternal.
Terlebih dengan ketidakmampuan kreditor Subprime Mortgage secara masal untuk membayar cicilan hutang, surutnya likuiditas institusi finansial dan perbankan.
Kondisi tersebut akibat kombinasi antara tingginya tingkat gagal bayar kreditor, penurunan nilai agunan yang disita, serta adanya kewajiban bank/institusi penyedia kredit untuk menepati kewajiban membayar hasil investasi.
Respon Kebijakan
Pada krisis periode subprime mortgage, bank sentral negara-negara maju yang bursanya terkait dengan industri Subprime Mortgage menggelontorkan dana ke pasar uang (open market operations).
Mereka memasuki transaksi Repo (Repurchase Agreement). Ini untuk menjaga stabilitas nilai tukar mereka dan menumbuhkan sentimen positif akan bursanya.
Diawali pada 9 Agustus 2007, The Fed mengeluarkan USD 30 miliar untuk menjaga likuiditas investor Subprime Mortgage yang merugi.
Pada 10 Agustus 2007, The Fed menambahnya US$ 36 miliar. Penambahan ini terus berlangsung hingga 16 Agustus 2007, dan mencapai jumlah US$ 29 miliar.
Untuk memulihkan stabilitas, The Fed juga menyuntikkan dana ke sistem perbankan dan keuangannya.
Pada 9-10 Agustus 2007, The Fed menyuntikkan US$ 24 dan 68 miliar. Di Eropa, pada 10 Agustus 2007 The European Central Bank (ECB) menyuntikkan dana USD 61 miliar. Pada 13 Agustus, ECB menambah lagi US$ 47,67 miliar, dan di Jepang, The Bank of Japan (BoJ) menyuntikkan dana 600 miliar Yen.
Selain itu, mengingat pemicu utama kredit macet Subprime Mortgage adalah bunga yang tinggi, maka pada 17 Agustus 2007 The Fed menurunkan suku bunga diskonto hingga 50 basis poin menjadi 5,75%.
Dengan diturunkannya suku bunga, maka akan ada kelonggaran bagi peminjam Subprime Mortgage untuk melunasi utangnya kepada pemberi pinjaman.
Itu juga berarti, surat utang berbasis Subprime Mortgage yang kini banyak dipegang investor seluruh dunia kembali memperoleh jaminannya dan kembali bernilai.
Langkah yang diambil oleh Bank Sentral-bank Sentral tersebut mampu menahan kejatuhan banyak bursa saham Dunia. Dengan turunnya suku bunga The Fed, maka Indeks Dow Jones kembali stabil dan pasar mulai tenang.
Pandemi Covid-19
Pada 2020 Krisis Pandemi Covid-19 disebabkan penyebaran virus Covid-19. Pandemi membuat perekonomian luluh lantak karena "mati surinya" aktivitas ekonomi akibat penyebaran virus Covid.
Pandemi ini menyebabkan beberapa pemerintah daerah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berimplikasi terhadap pembatasan aktivitas masyarakat, termasuk aktivitas ekonomi, aktivitas pendidikan, dan aktivitas sosial lainnya.
Dampaknya tak perlu ditanya, kita bisa merasakannya sendiri. Pertumbuhan ekonomi tertekan, terganggunya industri, badai PHK, serta berujung kemiskinan yang meningkat.
Krisis menyebabkan melemahnya konsumsi rumah tangga atau melemahnya daya beli masyarakat secara luas dan mengalami penurunan daya beli yang sangat signifikan.
Respon kebijakan
Pemerintah berbagai negara menangani Covid-19 dengan metode beragam. Di antaranya melakukan lockdown, larangan bepergian, hingga mempercepat vaksinasi.
Indonesia juga menerapkan langkah pencegahan Covid-19 mulai dari larangan travel dari dan ke Tiongkok, physical distancing (bekerja, belajar, dan beribadah di rumah) hingga penerapan pembatasan mobilitas mulai 31 Maret 2020.
Merespon situasi Covid-19 yang semakin intensif dan membawa dampak semakin dalam pada perekonomian, pemerintah melakukan beberapa penyesuaian terhadap kebijakan stimulus dan pendanaan penanganan Covid-19, serta program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Perang Rusia-Ukraina (2022-Sekarang)
Saat dunia belum sembuh dari pandemi, krisis ekonomi baru mengancam yang dipicu oleh serangan Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022. Perang membuat harga komoditas melambung, inflasi melonjak, dan pertumbuhan melambat.
Buntut panjang ini membuat negara-negara di dunia termasuk Indonesia memasuki era suku bunga tingi.
Respon kebijakan
Untuk meredam inflasi, pemerintah melipatgandakan subsidi listrik dan BBM hingga lebih dari Rp 550 triliun.
Indonesia juga sempat melarang ekspor pangan, yakni minyak sawit. Negara lain juga memberlakukan larangan ekspor untuk sejumlah komoditas, seperti India dan Argentina.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(aum/aum)[Gambas:Video CNBC]