
Bagi Warga Argentina Sepak Bola Adalah Surga, Ekonomi Bagai Neraka

Jakarta, CNBC Indonesia - Sepak bola Argentina berseberangan dengan kondisi ekonomi yang terjerat krisis. Soal kulit bundar, Tim Tango juaranya, tapi urusan ekonomi Argentina hancur lebur.
Argentina adalah juara di perhelatan sepak bola akbar Piala Dunia 2021-2022 di Qatar. Prestasi terbaru ini membuat tim yang juga dijuluki La Albiceleste, yang memiliki arti Si Putih-Biru Langit, mengoleksi 3 trofi Piala Dunia.
Lionel Messi memimpin tim Argentina menekuk Prancis, juara bertahan Piala Dunia 2018, lewat adu penalti dengan skor 4-2. Setelah pada waktu normal kedudukan seimbang untuk kedua tim 3-3.
Dua piala gelar juara sebelumnya terjadi pada 1978 dan 1986 di era legenda 'Si Tangan Tuhan, Diego Armando Maradona.
Messi dan Maradona adalah bukti bahwa Argentina tidak pernah kehabisan talenta sepak bola luar biasa, yang dapat membawa kejayaan. Bahkan Messi disebut-sebut sebagai pesepakbola paling hebat sejagad raya dengan segala rekor, trofi, dan penghargaan individu yang diraihnya.
Tim Tango juga berjaya di Amerika Selatan dengan memiliki gelar juara terbanyak Copa America. Jumlah gelar ini mengalahkan koleksi tim Brazil dan Uruguay.
Sepak Bola Juara, Tapi Ekonomi Nelangsa
Kejayaan dan kegemilangan tim sepak bola Argentina tidak berbanding lurus tinimbang kondisi ekonomi yang masuk ke dalam jurang resesi. Rakyat Argentina harus hidup di garis kemiskinan dan inflasi yang meroket membawa penderitaan.
Menurut data Bank Dunia, tingkat kemiskinan Argentina mencapai 57% dengan angka kesenjangan yang diukur dengan Gini Ratio Argentina mencapai 40,7% pada 2022.
Ekonomi Argentina mengalami kontraksi 5,1% pada kuartal I-2024 dibandingkan kuartal sebelumnya (quartal to quartal/qtq). Ekonomi Argentina pada kuartal IV-2023 juga terkontraksi 1,9% (qtq).
Secara tahunan, ekonomi Argentina terkoreksi 5,1% (year on year/yoy) pada kuartal I-2024 sementara pada kuartal IV-2023 terkontraksi 1,2%. Ekonomi Argentina sudah berkontraksi selama empat kuartal beruntun (yoy).
Secara sederhana, resesi terjadi jika ekonomi sebuah negara mengalami kontraksi selama dua kuartal beruntun.
Kehancuran ekonomi di Argentina ini telah berlangsung cukup lama, inflasi rata-rata Argentina pada 1944 hingga 2023 saja tercatat sebesar 190% dan pemerintah gagal membayar utang negara sebanyak sembilan kali (tiga kali di antaranya terjadi dalam dua dekade terakhir).
Selama satu dekade terakhir, negara ini mengalami penurunan pendapatan per kapita sebesar 10,4%, dan sejarah gagal bayar (default) serta restrukturisasi negara telah menyebabkan tingkat suku bunga yang sangat tinggi di pasar kredit internasional.
Inflasi bulanan Argentina turun menjadi 4,2% pada Mei 2024, terendah dalam dua tahun terakhir. Data resmi menunjukkan bahwa inflasi bulanan ini telah turun selama lima bulan berturut-turut di tengah upaya penghematan yang ketat oleh Milei.
Kenaikan harga bulanan pada Mei 2024 merupakan yang terendah di Argentina sejak Januari 2022, di bawah perkiraan kenaikan sebesar 4,9% dan turun dari puncaknya di atas 25% pada Desember 2023.
Argentina telah memangkas suku bunganya pada pertengahan Mei 2024 menjadi 40% dari yang sebelumnya di level 50%. Hal ini dilakukan mengingat inflasi terpantau mengalami pelandaian khususnya secara bulanan.
Nilai tukar terhadap dolar Amerika Serikat (AS) peso juga jatuh. Dilansir dari Refinitiv, secara year to date (ytd) hingga hari ini (25/6/202), peso Argentina telah terdepresiasi sebesar 11%. Sementara di sepanjang 2023, peso Argentina anjlok dalam sebesar 78%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(ras/ras)