
Dunia Rawan Krisis! IMF Minta Perbankan Segera Lakukan Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Melemahnya perekonomian global meningkatkan kekhawatiran terhadap meluasnya tekanan di sektor perbankan. Tekanan tersebut memang sedikit berkurang karena optimisme perbaikan pertumbuhan serta melandainya inflasi.
Namun, perlu diketahui, optimisme tersebut dapat hilang ketika terjadi guncangan yang merugikan, sehingga terjadi kenaikan inflasi, kekhawatiran terhadap stabilitas keuangan di China, dan kekhawatiran baru mengenai keberlanjutan utang yang mengakibatkan penyesuaian harga aset yang tajam.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan global melandai dari 3,5% pada 2022 menjadi 3,0% pada 2023 dan 2,9% pada 2024.
IMF dalam laporannya The Global Financial Stability Report (GFSR): Financial and Climate Policies for a High-Interest-Rate Era mengingatkan lonjakan imbal hasil obligasi global dalam beberapa pekan terakhir memberikan gambaran sekilas bagaimana kondisi keuangan bisa ketat secara tiba-tiba.
Meskipun tekanan yang akut pada sektor perbankan global telah mereda, kini terdapat indikasi adanya masalah di sektor lain karena tingkat suku bunga yang lebih tinggi mulai berdampak, misalnya dengan menekan kapasitas pembayaran peminjam korporasi dan rumah tangga. Oleh karena itu, risiko stabilitas keuangan tetap tinggi.
Suku bunga global yang tinggi juga mempengaruhi ongkos pembiayaan di negara-negara emerging market dan berkembang. Sejauh ini, sebagian besar negara-negara emerging market telah memiliki ketahanan yang baik pada 2023.
Namun, sejumlah besar negara dengan berpendapatan rendah kemungkinan akan terus menghadapi tantangan pendanaan. Pemerintah harus fokus pada reformasi struktural yang mendorong pertumbuhan dan meningkatkan upaya untuk mengelola risiko yang terkait dengan kerentanan utang yang tinggi. Jika memungkinkan, operasi pembiayaan kembali atau pengelolaan kewajiban harus dilaksanakan untuk membangun kembali penyangga.
Selain itu, negara-negara yang hampir mengalami kesulitan utang harus melakukan kontak dini dengan kreditor dan mencari cara untuk mengoordinasikan restrukturisasi yang bersifat preventif dan teratur untuk menghindari gagal bayar yang mahal dan hilangnya akses pasar dalam waktu lama. Para pengambil kebijakan juga harus mendorong pengembangan pasar mata uang lokal dan menumbuhkan basis investor yang stabil dan terdiversifikasi yang membantu melindungi kondisi keuangan domestik dari perkembangan eksternal.
Prospek suku bunga yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama juga berdampak pada sektor real estat residensial dan komersial. Di negara-negara tertentu, terutama negara-negara yang memiliki banyak hipotek dengan suku bunga variabel, harga rumah telah mencatat penurunan dua digit sejak puncaknya.
Selain itu, kerentanan di sektor real estate komersial menimbulkan risiko yang signifikan terhadap sektor keuangan, dan semakin jelas sepanjang tahun ini bahwa sektor ini akan menghadapi penarikan pendanaan oleh pemberi pinjaman di tahun-tahun mendatang.
Pihak berwenang harus melakukan stress test yang ketat untuk menilai potensi dampak kenaikan suku bunga terhadap kemampuan peminjam untuk membayar kembali pinjamannya dan konsekuensi dari penurunan tajam harga real estat bagi rumah tangga, perusahaan, dan pada akhirnya di lembaga keuangan.
Pengawas harus memastikan bahwa bank memiliki proses tata kelola perusahaan dan manajemen risiko yang sepadan dengan profil risikonya dan memberikan perhatian khusus pada klasifikasi dan provisi aset bank, serta eksposur terhadap risiko suku bunga dan likuiditas.
Ketika keadaan sudah mereda setelah kegagalan bank pada Maret dan April 2023, komunitas internasional dapat mengambil pelajaran untuk meningkatkan efektivitas reformasi yang dilaksanakan sejak krisis keuangan global. Pihak berwenang harus mengevaluasi apakah standar likuiditas Basel III berfungsi sebagaimana mestinya dan menjajaki potensi perbaikan di tingkat internasional.
Sebagai catatan, dunia dikagetkan olehkolapsnya tiga bank Amerika Serikat (AS) pada Maret-April yakni Silicon Valley Bank (SVB), Silvergate Bank, dan Signature Bank. Bank-bank di Eropa juga menghadapi persoalan besar dalam kinerjanya, yakni Credit Suisse, Deutche Bank, dan JP Morgan.
Ketika keadaan sudah mereda setelah kegagalan bank pada bulan Maret dan April, komunitas internasional dapat mengambil pelajaran untuk meningkatkan efektivitas reformasi yang dilaksanakan sejak krisis keuangan global.
Optimisme terhadap perekonomian global yang melemah, dimana disinflasi terus berlanjut dan resesi dapat dihindari, telah mendorong penilaian aset sejak Laporan Stabilitas Keuangan Global IMF pada April 2023. Meskipun terjadi penurunan harga ekuitas sejak bulan September, yang didorong oleh kenaikan suku bunga riil jangka panjang, kondisi keuangan negara-negara maju telah menurun secara keseluruhan.
![]() |
Melihat dari laporan Indeks Kondisi Keuangan di atas dengan jumlah deviasi standar pada rata-rata jangka panjang, sepanjang tahun ini, harga saham di Eropa dan Amerika Serikat masing-masing telah naik sekitar 10% dan 12%, dan selisih kredit korporasi masih mendekati level terendah sejak awal siklus kenaikan suku bunga.
Meskipun tekanan akut pada sistem perbankan global telah mereda, masih terdapat kelompok bank yang lemah di beberapa negara. Selain itu, keretakan di sektor-sektor lain juga mungkin terlihat dan berubah menjadi garis patahan yang mengkhawatirkan.
Jika terjadi pengetatan kondisi keuangan secara tiba-tiba yakni feedback loop yang merugikan, dapat memicu dan menguji ketahanan sistem keuangan global. Yang paling penting adalah siklus kredit global mulai berubah seiring berkurangnya kapasitas pembayaran utang peminjam dan melambatnya pertumbuhan kredit.
Pengukuran pertumbuhan berisiko yang dilakukan IMF merangkum penilaian ini, yang menunjukkan bahwa risiko terhadap pertumbuhan global cenderung mengarah ke sisi negatifnya, serupa dengan penilaian pada bulan April 2023.
![]() |
Dari grafik pertumbuhan global dalam risiko di atas dengan kepadatan probabilitas pertumbuhan global pada tahun 2024, dimana soft landing yang diharapkan tidak terwujud, investor menarik diri dari pengambilan risiko, dan kondisi keuangan semakin ketat menuju rata-rata jangka panjang, kelompok pertumbuhan yang berisiko memperkirakan distribusi pertumbuhan akan semakin condong ke arah pertumbuhan yang negatif.
CNBC Indonesia Research
(saw/saw)