Market Insight

Runyam! Kejatuhan SVB Bikin Pasar Keuangan Asia 'Menderita'

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
15 March 2023 10:45
GLOBAL-BANKS/SVB
Foto: REUTERS/TINGSHU WANG
  • Runtuhnya Sillicon Valley Bank (SVB) nyatanya berdampak terbatas pada pasar keuangan Asia, namun ini adalah sebuah 'warning' bagi pasar keuangan Asia.
  • Regulator AS sudah mengumumkan langkah-langkah untuk membendung risiko sistematik lebih lanjut dari keruntuhan SVB. Terlebih bagi China dan Jepang yang kebijakan moneter mungkin tidak menyebabkan krisis serupa tetapi merupakan peringatan bagi para pembuat kebijakan.
  • Lantas dengan adanya 'gonjang-ganjing' di AS bagaimana kondisi pasar keuangan Asia termasuk Indonesia?

Jakarta, CNBC Indonesia - Awal pekan ini menjadi 'hantu' menyeramkan bagi pasar keuangan. Sebab, SVB yang mengumumkan kolaps dikhawatirkan mengulang krisis finansial pada 2008. Tak bisa dipungkiri, beberapa hari ini pasar keuangan terpantau 'ketar-ketir' ulahnya.

Dari kejadian ini, Regulator AS telah mengumumkan langkah-langkah untuk membendung risiko sistemik lebih lanjut dari keruntuhan Silicon Valley Bank. Pasca ini, beberapa analis di awal pekan masih memperkirakan bahwa runtuhnya SVB ini berdampak terbatas pada pasar keuangan Asia.

"Adapun China dan Jepang, divergensi dalam kebijakan moneter mungkin tidak menyebabkan krisis serupa tetapi merupakan peringatan bagi para pembuat kebijakan." Ungkap Analis CMC Markets Tina Teng dikutip CNBC International.

"Saya berharap pasar bergerak cepat dan fokus pada masalah makro yang lebih luas minggu ini, termasuk laporan inflasi besok malam dan laporan FOMC mendatang," tambahnya.

Mayoritas Analis mengatakan keruntuhan SVB ini kemungkinan tidak akan memiliki efek penularan besar di Asia, tetapi satu orang mengatakan itu bisa dilihat sebagai "peringatan" terutama untuk ekonomi yang belum menaikkan suku bunga secara agresif.

Namun berselang satu hari setelahnya, pasar keuangan Asia kebakaran, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Pada penutupan perdagangan hari ke-2 setelah gejolak ini terjadi, IHSG terkoreksi parah tepatnya jeblok 2,14% ke level 6.441. Bahkan jika ditarik secarayear to date(YTD) IHSG sudah longsor 3,05%, dan merupakan salah satu yang terburuk di Asia.

Dari awal tahun ini hingga hari ini atau secara year-to-date (YTD), IHSG sudah ambles 3,05%. Dalam setidaknya dua bulan lebih, IHSG bergerak direntang 6.600-6.800 dan masih cukup sulit untuk kembali ke level psikologis 7.000, di mana level psikologis ini terakhir terbentuk pada 2 Desember 2022.

Sementara itu, harga saham bank raksasa Jepang anjlok tajam pada perdagangan Selasa (14/3/2023). Ini seiring pasar global merespons negatif atas aksi jual besar-besaran sektor perbankan AS dan ketidakpastian terhadap suku bunga di tengah kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB).

Indeks Topix Bank anjlok hingga 7,8%, kinerja terparah dalam lebih dari 3 tahun terakhir, sedangkan secara lebih luas indeks Nikkei-225 turun 2,67%. Saham bank Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG) anjlok 8,59%, Sumitomo Mitsui Financial Group ambles 7,57%, Mizuho Financial Group Inc terperosok 7,14%.

 

Pada awal pekan, padahal pasar keuangan China sempat diperdagangkan lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Sementara, Indeks Topix Jepang memimpin penurunan aksi jual yang lebih luas pada sesi perdagangan awal.

Hal ini terjadi setelah regulator AS mengumumkan langkah-langkah untuk membendung risiko sistemik lebih lanjut dari keruntuhan Silicon Valley Bank.

"Adapun China dan Jepang, divergensi dalam kebijakan moneter mungkin tidak menyebabkan krisis yang sama tetapi ini adalah peringatan bagi para pembuat kebijakan di dua ekonomi yang berpengaruh," Tina Teng, analis pasar di CMC Markets.

Teng menambahkan bahwa reaksi dalam ekuitas Asia, khususnya bank yang berfokus pada dana ventura akan sangat bergantung pada "bagaimana mereka mengelola risiko suku bunga mereka untuk negara-negara yang menghadapi masalah serupa."

Sementara itu, Moody's Investors Service mengatakan bank-bank Asia kemungkinan tidak akan terpengaruh oleh kejatuhan SVB, mengingat simpanan mereka sebagian besar dalam bentuk pinjaman, bukan Treasurys.

"Jika Anda melihat rasio pinjaman terhadap simpanan pada umumnya di Asia, sekitar 90%, jadi sebagian besar simpanan diinvestasikan dalam bentuk pinjaman," kata petugas kredit senior Eugene Tarzimanov di Moody's dikutip CNBC International.

"Bank jelas berinvestasi dalam sekuritas pemerintah obligasi lokal, obligasi asing, tetapi bagian itu tidak terlalu signifikan," tambahnya.

Pasar keuangan Asia tampaknya memang harus siaga satu. Apalagi China dan Jepang telah melawan tren karena kenaikan suku bunga bank sentral global dengan People's Bank of China mempertahankan suku bunga pinjamannya tidak berubah, sementara Bank of Japan mempertahankan suku bunga negatif sebesar -0,1%.

Pemberitahuan oleh FDIC dan The Fed bakal menjadi cara yang baik untuk membatasi dampak kegagalan Silicon Investment Banks, terutama untuk ekonomi yang lebih luas. Sehingga, risiko kredit mungkin menjadi masalah utama yang dihadapi bank-bank Asia di balik prospek ekonomi yang suram dan berkurangnya permintaan konsumen.

Langkah-langkah terbaru yang diumumkan oleh regulator AS dapat bertindak sebagai metode untuk menahan risiko penularan lebih lanjut. Kemudian, pasar akan fokus pada masalah makro yang lebih luas pekan ini termasuk laporan inflasi dan laporan FOMC mendatang.

Sementara sejumlah perusahaan dalam modal ventura dan sektor start-up teknologi Asia memiliki eksposur ke Silicon Valley Bank, tidak banyak yang secara terbuka mengakui melihat kerugian besar dari kebangkrutan SVB.

SPD Silicon Valley Bank, perusahaan patungan antara Shanghai Pudong Bank dan Silicon Valley Bank berusaha meyakinkan investor selama akhir pekan dan mengatakan operasinya "independen dan stabil."

Bank mengatakan dalam sebuah pernyataan di situs webnya bahwa selalu beroperasi dengan cara yang stabil sesuai dengan undang-undang dan peraturan China, dengan kerangka kerja tata kelola standar dan neraca independen.

Namun demikian, pertunbuhan ekonomi China akan tetap menjadi indikator utama dan menunjuk ekonomi melihat rekor pinjaman untuk 2 bulan pertama tahun 2023. Sementara ekuitas terus mengalami volatilitas, kepala ekonom Asia-Pasifik Goldman Sachs Andrew Tilton mengatakan prospek ekonomi makro untuk kawasan ini tidak mungkin sangat terpengaruh oleh runtuhnya SVB.

The Fed Malah Bakal Bikin Runyam?

Pasar masih mengharapkan The Fed untuk mempertahankan upaya melawan inflasi, meskipun kegagalan bank terkenal telah mengguncang sistem keuangan.

Pada awal pekan lalu, Senin (14/3/2023) menetapkan probabilitas 85% dari kenaikan suku bunga 0,25 poin persentase ketika Komite Pasar Terbuka Federal bertemu pada 21-22 Maret mendatang. Sementara itu, Goldman Sachs hampir mengatakan mengharapkan bank sentral melewatkan kesempatan untuk menaikkan suku bunga minggu depan.

Seperti diketahui, The Fed sangat agresif dalam menaikkan suku bunga sejak tahun lalu guna meredam inflasi. Dalam setahun terakhir, The Fed menaikkan Federal Funds Rate (FFR) sebesar 450 basis poin menjadi 4,5% - 4,75%, tertinggi sejak 2007 dan menjadi yang teragresif dalam empat dekade terakhir.

Bahkan pekan lalu, Ketua The Fed Jerome Powell memberikan sinyal bakal menaikkan suku bunga lebih agresif lagi.Artinya ketika data ekonomi yang lebih kuat, maka "tingkat akhir suku bunga kemungkinan akan lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya."

The Fed terus memberikan sinyal kenaikan suku bunga, biasanya hal itu terus dilakukan sampai ada sesuatu yang 'rusak' atau kondisi runyam.

Namun, dengan kegagalan bank terbesar kedua dan ketiga yang pernah terjadi dalam beberapa hari terakhir, dan kekhawatiran yang lebih besar mengelilingi pasar keuangan, ini cukup memenuhi syarat sebagai 'kerusakan' yang signifikan dan alasan bagi bank sentral untuk mundur.

Bahkan dengan kegagalan Silicon Valley Bank dan Signature Bank selama beberapa hari terakhir yang memaksa regulator untuk mengambil tindakan, pasar masih mengharapkan Fed untuk melanjutkan upaya melawan inflasi.

Namun nyatanya lonjakan imbal hasil obligasi berperan dalam kematian SVB khususnya karena bank menghadapi kerugian sekitar US$ 16 miliar yang belum direalisasi dari Treasury yang dimiliki hingga jatuh tempo yang telah kehilangan nilai pokok karena suku bunga yang lebih tinggi.

Di sisi lain, Goldman Sachs mengatakan tidak mengharapkan Fed untuk menaikkan suku bunga sama sekali bulan ini. Selain itu, meskipun Goldman mengatakan angka Fed akan melewatkan kenaikan di bulan Maret, masih mencari kenaikan seperempat poin di bulan Mei, Juni dan Juli.

"Kami pikir pejabat Fed cenderung memprioritaskan stabilitas keuangan untuk saat ini, melihatnya sebagai masalah langsung dan inflasi tinggi sebagai masalah jangka menengah," kata Goldman kepada kliennya dalam sebuah catatan dikutip CNBC International.

Bagaimanapun, Powell juga telah menekankan pentingnya menggunakan data untuk menentukan arah kebijakan yang ingin dia arahkan.

The Fed akan mendapatkan pandangan terakhir pada metrik inflasi minggu ini. Pada Selasa (14/3/2023) Departemen Tenaga Kerja AS pada Selasa (14/3/2023) melaporkan indeks harga konsumen (CPI) meningkat 0,4% pada Februari, menempatkan tingkat inflasi tahunan sebesar 6%.

Laporan tersebut persis sejalan dengan perkiraan Dow Jones. Angka inflasi periode kali ini merupakan terendah sejak September 2021.

Namun perlu diingat, target penurunan inflasi The Fed adalah di angka 2%. Jika inflasi masih dirasa bergejolak, ditambah lagi dengan data ekonomi yang kuat maka The Fed kemungkinan akan tetap pada pendiriannya untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut.

Jika suku bunga naik, hastrat untuk melakukan konsumsi (propensity to consume) akan berkurang, begitu pula hasrat untuk investasi. Maka potensi bank-bank gagal lainnya juga berpotensi bakal bertambah.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular