FX insight

Ibarat Penjajah, Banyak Negara Mau "Merdeka" Dari King Dolar

Muhammad Azwar, CNBC Indonesia
09 March 2023 17:25
Dolar AS Yuan
Foto: REUTERS/DADO RUVIC
  • Dominasi dolar AS dalam sistem keuangan global masih terjaga, namun posisinya dapat melemah di masa depan.
  • Peningkatan promosi infrastruktur keuangan alternatif dan transaksi perdagangan dalam mata uang lain dapat mengurangi keterpaparan negara terhadap dolar.
  • Negara-negara semakin menuju multilateralisme dan mencari alternatif baru dalam upaya de-dolarisasi, termasuk pengembangan yuan sebagai mata uang alternatif yang menunjukkan potensi.

Jakarta, CNBC Indonesia - Banyak orang bertanya-tanya apakah sanksi Rusia dapat melengserkan "Raja Dolar Amerika Serikat (AS)" dari posisinya sebagai mata uang utama perdagangan global?

Pertanyaan tampaknya memiliki tujuan yang ambisius karena para analis percaya bahwa dominasi dolar AS tidak akan berubah dalam waktu dekat. Namun, ini bukan berarti bahwa cengkeraman dolar AS pada sistem keuangan global akan terus bertahan selamanya.

Ada beberapa faktor yang dapat melemahkan posisi mata uang Greenback di masa depan. Pertama, semakin banyak negara yang mempromosikan infrastruktur keuangan alternatif mereka.  Langkah ini telah dilakukan oleh Rusia dan China.

Kedua, jika lebih banyak negara mulai berdagang dalam mata uang lain, maka hal ini akan mengurangi keterpaparan mereka terhadap dolar AS.

Dolar AS telah menjadi mata uang global yang dominan selama beberapa dekade.

Namun pertanyaan tentang dominasi tersebut kembali muncul akibat pergeseran bertahap dalam tatanan keuangan global.

Dolar AS begitu perkasa karena dibantu Bretton Woods system atau sistem Bretton Woods.

Sistem yang dibentuk pada tahun 1944 merupakan langkah AS dalam menciptakan tatanan sistem moneter baru di mana emas tidak lagi bisa menjadi nilai tukar tunggal.

AS juga menggunakan dan menetapkan dolar sebagai nilai tukar pengganti emas. Standar emas dan nilai mata uang lainnya akan ditautkan ke nilai dolar AS.

Sistem tersebut ditandatangani oleh 44 negara pada 1944. Sistem tersebut runtuh pada 1971 karena banyak pihak yang meyakini cadangan emas bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) tidak cukup untuk menjamin transaksi dolar.

Kendati sistem Bretton Woods runtuh, dolar AS tetap menjadi mata uang cadangan yang digunakan oleh negara-negara lain meskipun tidak lagi menjadi mata uang standar yang dipatok terhadap emas.

Pasar keuangan AS yang lebih dalam dan fleksibel, norma-norma tata kelola perusahaan yang transparan, dan stabilitas dolar AS telah memastikan dominasi mata uang tersebut selama bertahun-tahun.

Namun, hal ini mulai berubah seiring jalannya waktu. Pangsa dolar AS dalam cadangan devisa dunia menurun dari sekitar 70% pada tahun 2000 menjadi sekitar 60% saat ini.

Sebaliknya, euro hanya mengalami peningkatan sedikit. Renminbi China tumbuh paling cepat sejak 2016 meskipun pangsa cadangan globalnya masih kurang dari 3 persen. 

Perkembangan ini menunjukkan bahwa dunia keuangan global semakin menuju ke arah multilateralisme.

Negara-negara kini memiliki lebih banyak insentif untuk beralih dari dolar dan mengembangkan alternatif baru yang lebih beragam.  Selama setahun terakhir, hal ini semakin terlihat ketika beberapa negara mempercepat transisi mereka untuk beralih dari dolar AS.

 China merupakan negara yang paling aktif dalam upaya de-dolarisasi. Pesaing terbesar AS dalam bidang ekonomi tersebut telah melakukan beragam kebijakan dan tindakan untuk meningkatkan penggunaan yuan sebagai mata uang internasional.

Namun, upaya Tiongkok bukanlah hal yang mudah karena dolar AS tetap menjadi mata uang dominan dalam sistem keuangan global.

Upaya China sebetulnya juga dilakukan negara lain. Negara-negara yang bergantung pada dolar AS dalam perdagangan mereka merasakan dampak buruk dari fluktuasi nilai dolar yang terus meningkat.

Mereka adalah negara yang membeli komoditas penting dalam jumlah besar, seperti bahan bakar dan makanan,

Negara seperti Argentina dan Brasil mencari opsi lain untuk mengurangi risiko fluktuasi nilai dolar dan meningkatkan kemandirian ekonomi mereka.

Beberapa negara di Asia Tenggara bahkan merencanakan pembuatan mekanisme di mana aplikasi seluler dapat digunakan untuk berdagang antar negara dalam mata uang lokal mereka tanpa bergantung pada dolar sebagai perantara.

Yuan, sebagai mata uang alternatif, telah menunjukkan tanda-tanda potensi dalam upaya de-dolarisasi.

Meskipun yuan belum dapat sepenuhnya dikonversi, beberapa negara seperti Irak, Bangladesh, dan Arab Saudi telah melakukan transaksi perdagangan dalam yuan. Rusia bahkan berencana untuk menyimpan semua pendapatan surplus minyak dan gasnya pada tahun 2023 dalam yuan.

CNBC INDONESIA RESEARCH

 [email protected]

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular