CNBC Indonesia Research

Ekonomi China Bakal 'Mengaum', RI Bisa Mengekor

Research - Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
22 February 2023 10:55
Presiden Joko Widodo melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Xi Jinping di Hotel Apurva Kempinski Bali, pada Rabu, 16 November 2022. Dalam sambutannya, Kepala Negara menyampaikan apresiasi atas kehadiran Presiden Xi di KTT G20 Bali yang juga merupakan kunjungan luar negeri pertama setelah kembali terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Partai.  (Kris - Biro Pers Sekretariat Presiden) Foto: Presiden Joko Widodo melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Xi Jinping di Hotel Apurva Kempinski Bali, pada Rabu, 16 November 2022. Dalam sambutannya, Kepala Negara menyampaikan apresiasi atas kehadiran Presiden Xi di KTT G20 Bali yang juga merupakan kunjungan luar negeri pertama setelah kembali terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Partai. (Kris - Biro Pers Sekretariat Presiden)
  • China berkutat terus-terusan akibat Covid-19 dan kebijakan Nol-Covidnya. Ini memukul parah perekonomian di Negeri Tirai Bambu tersebut.
  • Pasca mencabut kebijakan No-Covidnya, China begitu dinanti-nanti kebangkitan ekonominya oleh negara di dunia termasuk Indonesia
  • Nyatanya gambaran perdagangan China ternyata masih belum stabil ditandai dengan tren kontainer adalah barometer penting dari kemajuan ekonomi dan perdagangan global.

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasca 'mati suri' dan berkutat terus-terusan akibat Covid-19, kini ekonomi china bersiap untuk bangkit. Pasca kebijakan China mencabut kebijakan Nol-Covid mereka pada 7 Desember lalu memberikan harapan angin segar bagi perekonomian dunia. Lantas benarkah demikian?

Pembukaan kembali ekonomi pasca pandemi cenderung menguntungkan sektor jasa, terutama yang dihadapi klien seperti restoran dan perhotelan lainnya, yang seringkali memiliki keterkaitan minimal dengan ekonomi global.

Dalam riset terbaru prospek ekonomi makro global oleh Bank BCA, kebijakan nol Covid-19 sejauh ini terbukti berdampak disinflasi terhadap ekonomi global.

Sebagai informasi, Disinflasi adalah situasi di mana inflasi mulai menurun. Artinya laju kenaikan harga yang lebih rendah dari yang sebelumnya.

Kendati demikian, pelaku pasar memandang skeptis, bahwa peran China tidak akan berdampak banyak dalam mendorong pertumbuhan ekonomi global 2023.

Hal itu terlihat dari adanya aktivitas perdagangan China itu sendiri. Bagaimana barang-barang yang lebih murah dari China, memungkinkan konsumen di Amerika Serikat (AS) dan global mencatat pertumbuhan permintaan agregat yang positif.

Di sisi lain, peluang ekspor ke China masih terbatas. Sehingga dapat menghalangi produsen global untuk menikmati kue ekonomi China yang semakin besar.

Perdagangan di China masih dikatakan sedang 'menuju perbaikan'. Mengapa demikian?

Mengutip kabar terbaru dari South China Morning Post, Rabu (22/2/2023) menyebutkan bahwa Meski liburan Tahun Baru Imlek telah berakhir beberapa minggu lalu, nyatanya tak semua pengemudi truk di Shenzhen kembali bekerja.

Di jalan tol menuju Terminal Kontainer Internasional Yantian, beberapa truk tanpa kontainer di trailer panjangnya terlihat diparkir di pinggir jalan, bagian dari konvoi statis yang membentang hampir 1 kilometer.

"Ini hanya sebagian kecil (dari semua truk kosong). Sisanya harus diparkir di Dongguan," kata seorang pengemudi bermarga Huang yang dikutip South China Morning Post.

Pelabuhan tersebut sebenarnya memiliki lebih dari 15.000 pengemudi truk terdaftar untuk beroperasi, tetapi hanya sekitar 2.000 dari mereka yang sekarang bekerja.

"Saya merasa pasar (ekspor) tahun ini paling buruk dan saya baru saja mendengar dari banyak bos pabrik yang mengatakan bahwa produk elektronik mereka tidak dapat diekspor, karena klien asing mereka belum melakukan pemesanan, dan banyak pabrik telah pindah ke Asia Tenggara." tambahnya.

Dengan China yang masih berusaha untuk menghidupkan kembali mesin ekonominya setelah 3 tahun yang begitu berat di bawah kebijakan nol Covinya, tentu saja sektor ekspor menjadi penggerak ekonomi utama.

Lantas, selama pandemi ini tampaknya akan terus menggerutu di tengah berkurangnya permintaan eksternal dan meningkatnya ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina yang belum menunjukkan tanda-tanda berakhir.

Keterangan dari pengemudi truk tersebut serta pemandangan lesu di Yantian tentu saja sangat kontras dengan situasi 2 tahun lalu. Pada tahun 2021, peti kemas kosong sangat sulit didapat, karena begitu banyak kargo yang harus dikirim. Tapi sekarang, peti kemas berdebu karena menempati setiap ruang yang tersedia di sekitar pelabuhan.

Kalau di flashback, Pada November 2022, sebuah pernyataan resmi dari otoritas pelabuhan mengatakan bahwa volume peti kemas kosong yang disimpan di sana telah mencapai level tertinggi sejak Maret 2020, dan akan segera mencapai level tertinggi sejak pelabuhan dibuka 29 tahun lalu.

Laporan terbaru dari Federasi Ritel Nasional AS memperkirakan bahwa volume impor negara itu akan turun 12% pada Februari dibandingkan dengan Januari, dan akan turun 26% dari tahun lalu.

Pada bulan Desember, ekspor China mencatat penurunan secara year-on-year terbesar sejak penguncian Wuhan pada awal 2020, turun 9,9 persen. Itu juga mewakili penurunan bulan ketiga berturut-turut. Analis memperkirakan kontraksi lebih lanjut dalam beberapa bulan mendatang.

Tren kontainer adalah barometer penting dari kemajuan ekonomi dan perdagangan global, dan prospek pasar saat ini tampak suram dari kondisi tersebut.

Kendati demikian, analis Goldman Sachs memperkirakan ekonomi China bakal tumbuh sebesar 5,5% pada tahun ini di dukung oleh pertumbuhan kuartal-II dan kuartal ke III yang diramal bakal tumbuh masing-masing 9% dan 7%.

"Impuls pertumbuhan harus sangat condong ke arah ekonomi konsumen, di mana sektor jasa masih beroperasi secara signifikan di bawah tingkat pra-pandemi 2019," tulis mereka, menyoroti rumah tangga China memiliki kelebihan tabungan lebih dari 3 triliun yuan (US$437 miliar) tahun ini yang dikutip CNBC International.

Sebagai informasi, Pertumbuhan ekonomi China sepanjang 2022 tercatat 3%, meleset dari target yang ditetapkan pemerintah sebesar 5,5%. Pertumbuhan tersebut menjadi salah satu yang terlemah dalam 40 tahun terakhir, di samping 2020 yang hanya naik 2,2% akibat pandemi Covid-19.

Berdasarkan data terakhir, pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2022 tercatat sebesar 2,9% secara tahunan (year-on-year/yoy).

Pertumbuhan ekonomi yang melampaui ekspektasi itu terjadi di tengah meningkatnya kasus Covid-19 di Negeri Tirai Bambu sejak akhir tahun lalu. Adapun, pemerintah telah melonggarkan kebijakan pengetatannya Sejak Desember 2022.

Secara kuartalan (quarter-to-quarter/qtq) pertumbuhan ekonomi China tercatat stagnan 0%. Hasil tersebut turun dari kuartal sebelumnya yang tumbuh 3,9% qtq, namun tak seburuk proyeksi sebesar -0,8%.

Menanti Kebangkitan China dan Dampak Bagi Indonesia

Angin segar dari China bakal sampai berhembus ke Indonesia sejalan dengan Negeri Tirai Bambu ini memiliki keterkaitan aktivitas ekonomi yang begitu erat dengan Indonesia. Baik dari sisi investasi, perdagangan, tenaga kerja, maupun pariwisata. Maka dari itu, peranan besar kontribusi China ke perekonomian negara kita juga cukup besar.

Lihat saja, China menduduki posisi kedua sebagai 5 besar negara dengan realisasi penanaman modal asing (PMA) di Indonesia. Menilik data Kementerian Investasi mencatatkan realisasi PMA China sepanjang 2022 mencapai US$ 8,2 miliar.

Sementara dari sisi perdagangan, China merupakan salah satu negara tujuan utama ekspor non migas Indonesia, dan sebaliknya mayoritas impor datang dari Negeri Tirai Bambu ini.

Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia ke China sepanjang 2022 tercatat US$ 63,55 miliar atau 23,03% dari total ekspor sepanjang tahun lalu. Sementara, nilai impor dari China tercatat US$ 67,16 atau 34,07% dari total ekspor.

Maka dari itu, pembukaan kembali ekonomi China bakal menggeliatkan aktivitas ekonomi China sehingga bisa menambah permintaan ekspor Indonesia.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(aum/aum)

[Gambas:Video CNBC]