Fundamental Pundit
Saham Bank Ina (BINA) Mahal Banget, Karena Aksi Spekulatif?

- Harga saham BINA sudah turun 31% dari level tertinggi sepanjang masa.
- Penurunan tajam harga saham tak langsung membuat valuasi menjadi murah.
- Ini karena fundamental BINA tak mampu mengimbangi overconfidence pelaku pasar.
Jakarta, CNBC Indonesia - Penurunan hingga 31% dari level tertinggi yang disentuh pada Juli 2021 lalu tak lantas membuat valuasi saham PT Bank Ina Perdana Tbk (BINA) menjadi murah. Ada semacam sisa-sisa spekulasi berlebihan di era 'boom bank mini' dua tahun lalu.
Singkat kisah, harga saham-saham bank bermodal kecil, atau bank mini, sempat meroket ke angkasa pada 2021 di tengah kewajiban pemenuhan modal inti oleh otoritas dan spekulasi di pasar soal adanya investor strategis yang siap menyuntik dana ke emiten bank kecil tersebut serta mengubahnya menjadi bank digital.
Saham BINA juga menjadi bagian dari euforia tersebut. Sempat di level Rp600-Rp700 per saham pada 2020, saham emiten Grup Salim tersebut melonjak ke Rp5.775/saham pada 8 Juli 2021. Sebelum kemudian, longsor ke level Rp3.980/saham pada penutupan Selasa (7/3).
Dengan harga saham di level tersebut, kinerja keuangan Bank Ina juga, walaupun terlihat positif, tidak banyak mengimbangi untuk membuat valuasinya menjadi wajar.
Pendapatan bunga bersih BINA memang naik 139,88% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp389,08 miliar selama 9 bulan 2022. Demikian pula, laba bersih bank melesat 224,37% yoy menjadi Rp94,83 miliar.
Secara umum, perolehan top line dan bottom line BINA berimbang dengan sejumlah peers bank mini lainnya.
Soal kinerja intermediasi, Bank Ina juga berhasil menyalurkan kredit sebesar Rp8,64 triliun hingga 30 September 2022. Jumlah tersebut meningkat 133,06 yoy dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp3,71 triliun.
Penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) Bank Ina sebesar Rp17,54 triliun per akhir September 2022 atau tumbuh 40,29% yoy.
Rasio dana murah (CASA) Bank Ina terlihat tumbuh dari 42,39% per kuartal III 2021 menjadi 49,30% pada periode yang sama 2022. Namun, rasio ini masih jauh di bawah para big bank yang merentang di kisaran 60-80%.
Lebih lanjut, Rasio Kecukupan Modal/Capital Adequacy Ratio (CAR) BINA malah turun menjadi 24,45% per 30 September 2022 dari sebelumnya 34,12%. Rasio CAR berada di bawah rata-rata industri 25,5%.
Positifnya, rasio kredit bermasalah (NPL) gross dan NPL net BINA menurun, menjadi masing-masing 1,52% dan 0,56%. Sebelumnya, per 30 September 2021, NPL gross BINA sebesar 3,11% dan NPL net 1,45%.
Margin bunga bersih (NIM) BINA juga tumbuh menjadi 3,37%, dari periode yang sama tahun sebelumnya 2,37%. Walaupun, memang, masih di bawah industri 4,79%.
Sementara, rasio profitabilitas return on assets (ROA) dan return on equity (ROE) Bank Ina juga tumbuh, masing-masing menjadi 0,56% dan 5,49% per 30 September 2022. Sebelumnya, per 30 September 2021, ROA BINA 0,49% dan ROE 3,40%.
Sayangnya, kedua rasio favorit investor tersebut masih di bawah industri. Rerata ROA industri 2,49%, sedangkan ROE industri tercatat sebesar 8,95%.
Soal Valuasi
Saat ini, saham BINA diperdagangkan 193,10 kali di atas laba per saham bank (PER, P/E ratio). Angka yang kelewat mahal (overvalued) ini akan semakin terlihat apabila dibandingkan dengan rerata PER industri yang hanya sebesar 14,32%
Rasio sejumlah peers sendiri jauh di bawah itu, seperti Bank Nobu (NOBU) dan Bank Bumi Arta (BNBA) yang masing-masing 28,63 kali dan 48,94 kali.
Bahkan, ketika menyentuh level harga tertinggi pada Juli 2021, PER BINA sempat mencapai lebih dari 1.000 kali.
Kemudian, menggunakan metrik multiples lainnya yang lazim untuk sektor perbankan, rasio price-to book value (PBV), saham BINA juga sudah kemahalan.
Rasio PBV BINA 10,18 kali, di atas industri 2,24 kali dan sejumlah peers, seperti BABP (1,44 kali), NOBU (1,52 kali), BNBA (1,28 kali).
Lebih lanjut, apabila menggunakan proyeksi laba per saham (EPS) dan asumsi pertumbuhan ke depan, harga wajar saham BINA berada di kisaran Rp506/saham atau risiko downside hingga 87,3% dari harga penutupan Senin (7/3).
Ini menunjukkan, pelaku pasar terlalu percaya diri (pede) alias overconfidence berspekulasi di saham BINA selama ini.
Ke depan, Bank Ina masih memiliki banyak ruang pertumbuhan. Apalagi ekosistem Grup Salim, pemilik konglomerasi consumer goods, ritel, hingga yang teranyar tambang RI, berada di balik bank ini.
Prospek perbankan RI juga masih diproyeksikan tumbuh positif di tahun yang penuh tekanan makro ekonomi ini.
Bank Indonesia (BI) sendiri memprediksi, pertumbuhan kredit untuk 2023 di kisaran 10-12 secara tahunan (YoY). Raksasa bank Tanah Air juga pede dengan proyeksi peningkatan kredit di kisaran 10,5-10,9% secara tahunan. Adapun, laba perbankan diprediksi akan meningkat 12-17% selama 2023.
Hanya saja, berinvestasi di saham BINA di saat valuasi mahal seperti saat ini bukanlah pilihan yang baik. Sebaliknya, menunggu kesesuaian antara kinerja keuangan dan harga wajar saham di masa depan, apabila memang ada, bisa memberikan tingkat keamanan berinvestasi yang jauh lebih optimal.
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research, divisi penelitian CNBC Indonesia. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau aset sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[Gambas:Video CNBC]
Penjualan Mobil Moncer, Cari Cuan Bisa Pantau Saham AMFG
(pap/pap)