
Kabar Baik dari Amerika Jadi Berita Buruk Lagi Bagi Dunia

- Pasar keuangan Indonesia menguat saat investor khawatir resesi, IHSG catat outflow dana asing sepanjang 2023
- Data tenaga kerja AS masih kuat jadi booster The Fed hawkish.
- Dalam kondisi normal, turunnya klaim tunjangan pengangguran akan menjadi kabar baik. Tetapi dalam kondisi perang lawan inflasi, itu menjadi berita buruk. Pasar tenaga kerja yang kuat artinya inflasi sulit turun.
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia menguat di kala kekhawatiran investor atas arah kebijakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve/The Fed.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan perdagangan Kamis (23/2/23) berakhir di 6.839,45 atau terapresiasi 0,43% secara harian. Kenaikan kali ini sekaligus memutus rantai pelemahan indeks selama tiga hari beruntun.
Adapun 270 saham melemah, 246 saham mengalami kenaikan dan 198 lainnya stagnan. Perdagangan menunjukkan nilai transaksi sekitar Rp 9,92 triliun dengan melibatkan 14,86 miliar saham.
Berdasarkan data dari Bursa Efek Indonesia via Refinitiv, tujuh dari sepuluh sektor positif. Sektor teknologi menjadi yang paling menguntungkan indeks dengan kenaikan sebesar 1,59%. Sementara itu, sektor barang pokok dan konsumen primer menjadi sentimen negatif turun 0,5%.
Kenaikan IHSG hari ini tak bisa dilepaskan dari saham-saham dengan kapitalisasi jumbo dengan kinerja harian yang bergairah.
Lima diantaranya adalah saham TLKM yang mengangkat indeks paling tinggi sebesar 13,40 indeks poin.
Kemudian disusul BBRI sebesar 4,94 indeks. Saham BBCA dan BMRI secera bersamaan mendukung IHSG 3,5 indeks poin.
Terakhir, Saham Milik Orang Terkaya di Indonesia, BYAN berkontribusi 2,42 indeks poin.
Di sisi lain, Rupiah sukses menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) berakhir di Rp 15.185/US$, menguat tipis 0,1% melansir data Refinitiv.
Pelaku pasar merespon rilis notula rapat kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed). Dalam notula tersebut para pejabat The Fed memang melihat inflasi mulai menurun tetapi masih perlu melihat banyak bukti agar pede tren tersebut berlanjut.
"Para anggota mencatat data inflasi dalam tiga bulan terakhir menunjukkan penurunan kenaikan harga secara bulanan, tetapi menekankan masih perlu bukti substansial yang menunjukkan inflasi turun lebih luas sehingga bisa yakin tren penurunan akan berlanjut," tulis notula tersebut sebagaimana dikutip CNBC International.
Para pejabat The Fed juga menegaskan periode kenaikan suku bunga masih perlu dilanjutkan.
Dalam notula tersebut juga terungkap beberapa pejabat The Fed sebenarnya ingin suku bunga dinaikkan sebesar 50 basis poin pada awal Februari lalu.
Indeks utama Wall Street menguat di tengah investor yang tetap khawatir akan sikap The Fed yang tetap hawkish.
Pada perdagangan Kamis (23/2/2023) indeks Dow Jones ditutup menguat 0,33% menjadi 33.163,91. Sementara indeks S&P500 naik 0,53% menjadi 4.012,32 dan indeks Nasdaq ditutup di 11.590,4. Naik 0,72%.
The Fed telah menjadi titik fokus bagi investor minggu ini sejak peluncuran risalah pertemuan terakhirnya. Pembuat kebijakan mengindikasikan bahwa inflasi "tetap jauh di atas" target 2% bank sentral, bahkan ketika data telah menunjukkan "pengurangan yang disambut baik dalam laju kenaikan harga bulanan."
Brendan Murphy, kepala pendapatan tetap inti, Amerika Utara di Insight Investment, mengatakan bahwa resesi tidak diperlukan untuk mencapai target inflasi Fed sebesar 2%.
"Sementara resesi hampir pasti akan mempercepat kembalinya inflasi ke target, itu tidak boleh dianggap sebagai kondisi yang diperlukan ," kata Murphy sperti dikutip CNBC Internasional, Kamis (23/2/2023).
"Meskipun kami telah melihat peningkatan yang signifikan dalam realisasi inflasi selama 6 bulan terakhir, hal ini sebagian besar didorong oleh efek dasar dan normalisasi rantai pasokan yang sedang berlangsung."
"Kita sekarang berada dalam periode pertumbuhan rendah dan inflasi moderat," tambahnya.
"Pertanyaan besarnya adalah seberapa jauh inflasi dapat turun dalam lingkungan seperti itu. Ada kemungkinan bahwa jika tekanan pasokan terus mereda dalam periode pertumbuhan di bawah tren, inflasi pada akhirnya akan kembali ke target Fed. Namun, periode penurunan ini pertumbuhan di bawah tren mungkin perlu cukup lama, itulah sebabnya Fed berbicara tentang mempertahankan suku bunga terbatas untuk jangka waktu yang lama."
IHSG masih akan digerakkan oleh sentimen luar negeri, terutama seputra arah kebijakan The Fed. Sebab hal ini akan berpengaruh terhadap aliran uang di pasar berisiko seperti saham.
Diperkuat Data Pendukung, The Fed Masih Akan Menaikkan Suku Bunga
Pejabat The Fed pada risalah pertemuan terbaru mereka mengindikasikan bahwa bakal ada kenaikan suku bunga lebih lanjut.
Risalah rapat menyatakan ada tanda-tanda inflasi turun, tetapi tidak cukup untuk mengimbangi kebutuhan kenaikan suku bunga lebih lanjut.
Beberapa anggota mengatakan bahwa mereka menginginkan kenaikan setengah poin, atau 50 basis poin. Kenaikan sebesar itu akan menunjukkan tekad yang lebih besar untuk menurunkan inflasi ke target yang dicanangkan.
Inflasi "tetap jauh di atas" target Fed 2% sebab pasar tenaga kerja yang "tetap sangat ketat, berkontribusi pada tekanan kenaikan yang terus berlanjut pada upah dan harga."
AS dilaporkan mampu menyerap 517.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian, jauh lebih tinggi dari sebelumnya yakni 260.000 orang. Tingkat pengangguran pun turun menjadi 3,4% dan merupakan angka terendah sejak Mei 2969.
Kemudian, rata-rata upah per jam masih tumbuh 4,4% year-on-year, lebih tinggi dari prediksi 4,3%.
Inflasi Konsumen Tinggi dan Klaim Pengangguran Turun
Tadi malam rilis klaim awal pengangguran AS pada pekan kemarin sebesar 192.000, di bawah ekspektasi pasar yakni 200.000. Jumlah tersebut turun dari posisi sebelumnya 195.000.
Dalam kondisi normal, turunnya klaim tunjangan pengangguran akan menjadi kabar baik. Tetapi dalam kondisi perang lawan inflasi, itu menjadi berita buruk. Pasar tenaga kerja yang kuat artinya inflasi sulit turun.
Turunnya angka klaim pengangguran tersebut menjadi sentimen negatif bagi pasar sebab pasar tenaga kerja masih ketat dan berpotensi membuat inflasi tetap tinggi.
Penurunan ini juga akan menjadi alasan bagi The Fed untuk tetap menjaga tren kenaikan suku bunga acuannya.
Sementara itu Personal Consumption Expenditure (PCE) turun menjadi 3,7% quarter-on-quarter (qoq) tapi berada di atas ekspektasi pasar yakni 3,2%. Angka tersebut turun dari sebelumnya 4,3%.
Asal tahu saja, PCE juga menjadi indikator bagi The Fed dalam menentukan sikap moneternya. PCE sendiri mengukur tingkat kenaikan rata-rata harga konsumsi domestik. Adapun yang dihitung merupakan barang dan jasa.
Asing "Tidak Betah" di Pasar Indonesia
Investor asing juga mencatatkan jual bersih (net sell) mencapai Rp240,84 miliar di pasar reguler sepanjang 2023 (year-to-date). Sejalan IHSG mencatatkan performa negatif 0,16% ytd.
Catatan terburuk, asing sempat melakukan aksi jual bersih selama 5 hari beruntun di Februari ini, tepatnya pada 15, 16, 17, 20, dan 21 Februari 2023.
Ada dua alasan mengapa pasar saham Indonesia ditinggalkan. Pertama, valuasi pasar saham Indonesia dinilai sudah premium pada 2022. Sehingga asing mencari profit taking dan mencari alternatif negara lain untuk investasi.
The Fed yang tetap hawkish dan risiko resesi yang menghantui pasar keuangan global turut menjadi alasan keluarnya asing dari bumi pertiwi.
Menteri Keuangan Indonesia , Sri Mulyani, juga membeberkan bahwa investor asing masih menahan investasinya ke Indonesia. Sehingga dana asing alias inflow mulai agak 'seret'.
Pasar obligasi Indonesia hingga 20 Februari 2023 (year to date), mencatatkan inflow sebesar Rp 43,9 triliun.
Berikut sejumlah agenda dan rilis ekonomi yang terjadwal untuk hari ini:
- Inflasi Jepang (Pkl 06.30 WIB)
- Indeks Keyakinan Konsumen Inggris (Pkl 07.00 WIB)
- Indeks Keyakinan Konsumen Jerman (Pkl 14.00 WIB)
- Personal Income dan Spending Amerika Serikat (Pkl 20.30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional.
ndikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q4-2022 YoY) | 5,01% |
Inflasi (Januari 2023 YoY) | 5,28% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2023) | 5,75% |
Defisit Anggaran (APBN Desember 2022) | -2,38% PDB |
Surplus Transaksi Berjalan (2022) | 1,0% PDB |
Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q4-2022 YoY) | US$ 4,7 miliar |
Cadangan Devisa (Januari 202) | US$ 139,4 miliar |
CNBC INDONESIA RESEARCH
(ras/ras) Next Article BREN Keluar dari Pemantauan Khusus & FCA, IHSG Bakal Ngegas?