
Jalan Terjal Food Estate Dicap Gagal, Data Valid Kuncinya!

Jika melihat hasil penelitian di lapangan tentang kebiasaan petani Indonesia Tim Riset CNBC bisa menyimpulkan proyek ini bisa saja gagal jika tak mendapatkan pendampingan yang tepat.
Petani di lapangan itu tentunya realistis, jika hasil panen gagal dan tak mendapat pendampingan yang berkelanjutan Ia tak akan mau melanjutkan. Kemungkinan besar proyek ini gagal juga besar kalau kondisi di lapang seperti ini.
Dari Kementerian Pertanian turut buka suara, Koordinator Perlindungan Lahan Ditjen PSP Kementan, Dede Sulaeman menyebutkan Kementerian Pertanian RI bertanggung jawab terhadap beberapa program food estate antaranya di Sumatera Utara dan Kalimantan Tengah.
Dari keterangannya pada CNBC Indonesia, Kementan sebut proyek food estate tak gagal namun masih berprogres untuk menopang ketahanan pangan nasional. Saat ini Food Estate Kementan berfokus pada komoditas holtikultura dan beras. Di proyek food estate Kalteng dengan komoditas utama beras mendapatkan hasil yang positif yang diharapkan bisa menopang ketahanan pangan nasional.
Sebenarnya isu membangun ketahanan pangan di Tanah Air sudah dihembuskan sejak lama. Bahkan sejak era Presiden Soeharto. Di era Soeharto, ketahanan pangan hanya dilihat dari kemampuan swasembada beras saja.
Ketahanan pangan kala itu diartikan secara sempit. Padahal ketahanan pangan merupakan salah satu bentuk kedaulatan negara. Tujuan ketahanan pangan itu sendiri adalah untuk menyediakan kebutuhan pangan yang tak hanya mencukupi (availability), terjangkau (affordability) tetapi juga aman dan bergizi (safety).
Jika mengacu pada skor Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index/GFSI) Indonesia tercatat sebesar 60,2 poin pada 2022. Berdasarkan laporan Economist Impact, skor GFSI milik Indonesia mengalami peningkatan 1,7% dibandingkan pada 2021 yang sebesar 59,2 poin.
Skor indeks tersebut menjadikan ketahanan pangan Indonesia pada 2022 dalam kategori moderat (skor 55-69,9 poin). Indonesia berada di peringkat ke-63 dari 113 negara, diapit oleh Tunisia dan Kolombia yang masing-masing memiliki skor 60,3 poin dan 60,1 poin.
Secara umum, keterjangkauan harga pangan Indonesia dinilai cukup baik dengan skor 81,5 poin. Namun, beberapa indikator lain, seperti ketersediaan pasokan, kualitas dan keamanan, serta keberlanjutan dan adaptasi pangan masih lemah.
Secara rinci, indikator ketersediaan pasokan Indonesia memiliki skor sebesar 50,9 poin. Skor indikator kualitas dan keamanan pangan Indonesia sebesar 56,2 poin. Lalu, indikator keberlanjutan dan adaptasi pangan sebesar 46,3 poin.
Jika pemerintah memang benar-benar ingin mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia, maka aspek ketersediaan, keterjangkauan dan keamanan pangan harus benar-benar jadi patokan utama. Keberadaanfood estateyang direncanakan haruslah menjawab permasalahan dari ketiga aspek tersebut.
Agar ketiga aspek tersebut dapat terwujud, maka perencanaan yang matang, koordinasi antara lembaga yang solid hingga eksekusi di lapangan yang baik mutlak diperlukan.
Kalau di lihat di situs resmi, perkembangan terbaru terkait pengembangan food estate di berbagai lokasi yang direncanakan belum ter-update di situs KPPIP, termasuk soal sumber pendanaan, skema pendanaan dan rencana kapan mulai konstruksinya.
Lagi-lagi memang persoalan data. Kementan harus mulai menyajikan data yang valid, mudah diakses publik terkait program food estate ini, baik dari sisi luas lahannya, komoditasnya apa, serta berapa jumlah produksinya. Sehingga, proyek yang dicap gagal bisa ditepis dengan data yang benar adanya.
Proyek pembangunan food estate haruslah dirumuskan secara matang dengan pendampingan yang terus berlanjut agar benar-benar menjawab permasalahan yang dihadapi jika memang tujuannya untuk mewujudkan ketahanan pangan, agar tak mengulang kegagalan sebelumnya.
(aum/aum)