Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja pasar keuangan dalam negeri pada pekan lalu cukup positif, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah terpantau menghijau, namun untuk Surat Berharga Negara (SBN) terpantau melemah harganya. Pekan ini banyak data maupun event penting yang akan dirilis dari dalam dan luar negeri, yang bisa menentukan arah pasar ke depannya. Faktor-faktor tersebut dibahas pada halaman 3.
IHSG sepanjang pekan lalu tercatat menguat 0,35% secara point-to-point (ptp). Pada perdagangan Jumat (27/1/2023) pekan lalu, IHSG ditutup menguat 0,5% di posisi 6,898.98.
Mengutip data bursa, pada pekan lalu, investor asing tercatat mengoleksi saham-saham di Tanah Air dengan catatan beli bersih (net sell) mencapai Rp 1,12 triliun di seluruh pasar.
Sedangkan untuk rupiah, sepanjang pekan lalu terpantau menguat 0,6% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) secara point-to-point (ptp).
Namun sayangnya pada perdagangan akhir pekan lalu, mata uang Garuda ditutup di Rp 14.980/US$, melemah 0,23% dari posisi hari sebelumnya.
Sementara di pasar obligasi pemerintah RI atau surat berharga negara (SBN), harganya terpantau melemah dan imbal hasil (yield) SBN mengalami kenaikan sepanjang pekan lalu, menandakan bahwa investor cenderung melepasnya.
Mengacu pada data Refinitiv, SBN bertenor 10 yang merupakan SBN acuan melonjak 9,3 basis poin (bp) menjadi 6,727% per Jumat pekan lalu, dari sebelumnya pada Jumat pekan sebelumnya di level 6,634%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Pekan lalu, kabar baik datang dari Eropa. Survei terbaru menunjukkan Eropa bisa menghindari resesi di tahun ini. Semua berkat penurunan harga energi serta pembukaan kembali perekonomian China.
Survei yang dilakukan oleh Consensus Economics menunjukkan Eropa diperkirakan akan mampu mencatat pertumbuhan 0,1% pada tahun ini.
Gubernur bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) dalam World Economic Forum (WEF) di Davos pekan lalu juga mengatakan wajah perekonomian Eropa saat ini jauh lebih bagus, tidak seperti yang ditakutkan sebelumnya.
Hal tersebut membuat sentimen pelaku pasar membaik, dan bisa menguntungkan rupiah sebagai aset emerging market. Tak hanya rupiah, hal ini juga menjadi sentimen positif bagi IHSG.
Selain itu, pelaku pasar juga menanti kepastian kenaikan suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pekan ini. Pasar memprediksi The Fed akan menaikkan suku bunga 25 basis poin, lebih rendah dari ekspektasi sebelumnya 50 basis poin.
Kemudian, ekonomi AS pada kuartal IV-2022 yang dilaporkan tumbuh positif yakni 2,9% dan lebih tinggi dari ekspektasi 2,6% juga menjadi sentimen positif bagi IHSG dan rupiah.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang masih kuat, begitu juga dengan pasar tenaga kerja ada kemungkinan The Fed masih tetap agresif menaikkan suku bunga 50 basis poin pada pekan ini. Meski, pasar masih berekspektasi The Fed akan menaikkan 25 basis poin.
Pelaku pasar pun akan menunggu kepastiannya, sehingga rupiah masih akan cenderung naik turun dengan kecenderungan melemah sebab melihat posisinya saat ini di level terkuat 3 bulan.
Sementara itu di SBN, meski terlihat investor melepasnya, tetapi investor asing masih cenderung memburunya. Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI), sepanjang pekan lalu, asing mencatatkan net buy atau inflow di SBN sebesar Rp 3,63 triliun. Adapun sepanjang Januari 2023, asing juga masih mencatatkan inflow di SBN sebesar Rp 48,08 triliun.
Sementara berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, pada periode 2 Januari hingga 27 Januari, asing mencatatkan inflow sebesar Rp 47,4 triliun dan sepanjang pekan lalu, asing juga masih memburu SBN sebesar Rp 5,27 triliun.
Beralih ke AS, mayoritas bursa saham Wall Street pada perdagangan pekan lalu terpantau cerah bergairah.
Secara point-to-point pada pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) terpantau melonjak 2,47%, sedangkan S&P 500 melesat 1,81%, dan Nasdaq Composite melejit 4,32%.
Pada perdagangan Jumat pekan lalu, Dow Jones ditutup naik tipis 0,08%, S&P 500 menguat 0,25%, dan Nasdaq melesat 0,95%.
Pergerakan saham Wall Street pada pekan lalu dipengaruhi oleh kinerja keuangan perusahaan-perusahaan raksasa AS. Sejauh ini, lebih dari 25% perusahaan di indeks S&P sudah melaporkan keuangan terbaru mereka. Dari jumlah tersebut, 69% mampu mencatatkan kinerja yang lebih baik dari ekspektasi.
Analis kini memperkirakan agregat earnings dari laporan keuangan kuartal IV-2022 akan turun 2,7%, lebih rendah dibandingkan koreksi 1,6% yang diproyeksikan pada 1 Januari lalu.
Di lain sisi, pada Jumat malam waktu Indonesia, data revisi indeks konsumsi masyarakat atau personal consumption expenditure (PCE) telah dirilis, di mana angkanya meningkat 5% (year-on-year/yoy) pada Desember 2022, terendah sejak September 2021.
Melandainya indeks PCE memberi harapan pasar jika The Fed akan melonggarkan kebijakan moneter mereka. Pasar memprediksi The Fed akan menaikkan suku bunga 25 basis poin, lebih rendah dari ekspektasi sebelumnya 50 basis poin.
Pada pekan lalu, data pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) AS pada kuartal IV-2022 juga telah dirilis, di mana hasilnya cukup positif dan membuat pasar kembali optimis.
PDB AS pada kuartal IV-2022 dilaporkan tumbuh positif yakni 2,9% dan lebih tinggi dari ekspektasi 2,6%. Hal ini pun membuat pasar kembali optimis setelah mereka dikhawatirkan dengan adanya potensi resesi di AS.
Selain itu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan data klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 21 Januari. Klaim yang diajukan sebanyak 186.000, menjadi yang terendah sejak April 2022.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang masih kuat, begitu juga dengan pasar tenaga kerja ada kemungkinan The Fed masih tetap agresif menaikkan suku bunga 50 basis poin pada pekan ini.
Sebagai catatan, The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 425 bps sejak Maret 2022 menjadi 4,25-4,50%.
The Fed menaikkan suku bunga secara agresif sebesar 75 bp pada periode Juni, Juli, September, dan Oktober 2022. Kenaikan suku bunga diturunkan sebesar 50 bp pada Desember 2022.
Namun menurut kepala ekonom Spartan Capital Securities, Peter Cardillo, mengingatkan kendati ekonomi AS masih tumbuh cukup kuat, sinyal resesi masih terlihat. Kondisi ini tercermin dari banyaknya PHK serta aktivitas manufaktur yang masih lemah.
"Data bulanan jelas menunjukkan jika ekonomi AS kehilangan momentum pertumbuhan pada kuartal IV dan sepertinya akan berlanjut ke depan. Mungkin ini menjadi pertumbuhan positif terakhir sebelum ekonomi melemah. Kami masih memperkirakan jika ekonomi AS akan resesi di semester I," tutur Cardillo, dikutip dari Reuters.
Sebelum memulai perdagangan hari ini hingga beberapa hari ke depan, investor sebaiknya mencermati beberapa agenda ekonomi dari dalam negeri, maupun luar negeri.
Untuk pada hari ini, sentimen pasar dari perilisan data ekonomi masih cenderung kurang ramai, terutama di dalam negeri. Namun di luar negeri, ada data ekonomi yang cukup penting meski tidak terlalu berpengaruh ke dalam negeri, yakni data awal dari pertumbuhan ekonomi Jerman pada kuartal IV-2022.
Diprediksi, data pertumbuhan ekonomi Jerman tersebut akan cenderung melambat sedikit menjadi 1,2% (yoy). Sedangkan secara kuartalan, ekonomi Jerman diprediksi juga melandai menjadi 0% pada kuartal IV-2022, dari sebelumnya pada kuartal III-2022 sebesar 0,4%.
Selain itu, dari Uni Eropa, ada rilis data sentimen ekonomi pada periode Januari 2023, di mana angkanya cenderung naik menjadi 96,4, dari sebelumnya pada Desember 2022 di angka 95,8.
Sementara itu, pasar saham China akan kembali dibuka mulai hari ini setelah libur panjang dalam rangka Imlek 2023. Tentunya hal ini akan dipantau oleh pasar, apalagi sentimen dari pembukaan kembali China akan turut mempengaruhi pergerakan pasar saham China.
Adapun sepanjang pekan ini, investor akan menanti agenda penting yakni kebijakan suku bunga terbaru The Fed, di mana The Fed akan melaksanakan pertemuan terbarunya pada 31 Januari-1 Januari dan hasilnya akan diumumkan pada Rabu siang waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia.
Ekspektasi the Fed akan mulai memperlambat laju kenaikan suku bunga acuan tercermin dari data CME FedWatch probabilitas kenaikan 25 basis poin (bp) lebih dari 90%. Pelaku pasar memperkirakan suku bunga acuan AS akan dinaikkan ke 4,75%.
Namun, melihat dari data ekonomi AS yang masih cukup baik dan tenaga kerja AS yang juga masih cukup kuat, maka potensi The Fed tetap agresif menaikkan suku bunga 50 bp masih berpeluang cukup besar, meski pasar memprediksi The Fed hanya akan menaikkan sebesar 25 bp.
Selain The Fed, bank sentral Eropa (ECB) juga akan mengumumkan kebijakan suku bunga acuan terbaru pada pekan ini, tepatnya pada Kamis. ECB diprediksi akan kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar setengah poin persentase menjadi 3% kali ini, berdasarkan polling dari Trading Economics.
Sebelum mengarah ke pertemuan dan kebijakan moneter The Fed dan ECB terbaru, pasar perlu mencermati data dan agenda lainnya selain dari AS, terutama dari China.
Di China, beberapa data ekonomi cukup penting akan dirilis pada pekan ini, seperti data purchasing manager's index (PMI) manufaktur versi NBS dan Caixin periode Januari 2023, PMI jasa versi NBS dan Caixin periode Januari 2023, dan keuntungan industri China periode Desember 2022.
Selain dari China, ada beberapa rilis data penting lainnya, seperti data indeks keyakinan konsumen Jepang periode Januari 2023, rilis awal pertumbuhan ekonomi Prancis periode kuartal IV-2022, data awal inflasi Prancis periode Januari 2023, rilis awal pertumbuhan ekonomi Uni Eropa periode kuartal IV-2022.
Berikutnya data awal inflasi Uni Eropa periode Januari 2023, tingkat pengangguran Uni Eropa periode Desember 2022, PMI manufaktur AS versi ISM periode Januari 2023, data pembukaan pekerjaan JOLTs di AS, tingkat pengangguran AS periode Januari 2023, data penggajian tenaga kerja AS periode Januari 2023, dan PMI jasa versi ISM periode Januari 2023.
Sementara itu dari dalam negeri, data inflasi periode Januari 2023 juga akan dirilis pada pekan ini, tepatnya pada Rabu. Konsensus pasar dalam polling Trading Economics memperkirakan inflasi secara tahunan melandai sedikit menjadi 5,4% (yoy), dari sebelumnya sebesar 5,51% pada Desember 2022.
Adapun secara bulanan, inflasi Januari diprediksi melambat menjadi 0,5%, dari sebelumnya sebesar 0,66% di Desember 2022.
Selain data inflasi, data PMI manufaktur RI versi S&P Global periode Januari 2023 juga akan dirilis pada Rabu mendatang, di mana aktivitas manufaktur RI diprediksi sedikit melambat menjadi 50,8. Namun, aktivitas manufaktur RI masih cenderung ekspansif.
Di lain sisi, pada pekan ini juga akan digelar Preskon FKSSK atau Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan yang rencananya akan digelar pada Jumat, 3 Februari 2023, di mana OJK, BI, LPS, dan Menkeuakan memaparkan perkembangan pasar keuangan RI, juga kebijakan kedepannya.
Hal ini menarik untuk ditunggu oleh pasar karena BI dan pemerintah direncanakan akan memaparkan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang tengah menjadi perhatian pelaku pasar saat ini.
Selain itu, perilisan laporan keuangan emiten di RI untuk periode kuartal IV-2022 dan full year 2022 akan berlanjut pada pekan ini, di mana pada 31 Januari, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) direncanakan akan merilis kinerja keuangannya pada kuartal IV-2022.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Peluncuran Laporan Transparansi dan Akuntabilitas Bank Indonesia (LTABI) 2022 (09:30 WIB).
- Rilis data awal pertumbuhan ekonomi Jerman periode kuartal IV-2022 (16:00 WIB),
- Rilis data sentimen ekonomi Uni Eropa periode Januari 2023 (17:00 WIB),
- Rilis data final indeks keyakinan konsumen Uni Eropa periode Januari 2023 (17:00 WIB).
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
- RUPS Luar Biasa PT Indofarma (Persero) Tbk (10:00 WIB),
- RUPS Luar Biasa PT Diagnos Laboratorium Utama Tbk (10:00 WIB),
- Periode cum date stock Split PT Samudera Indonesia Tbk.
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2022 YoY) | 5,72% |
Inflasi (Desember 2022 YoY) | 5,51% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2023) | 5,75% |
Defisit Anggaran (APBN Desember 2022) | (-2,38% PDB) |
Surplus Transaksi Berjalan (Q3-2022 YoY) | 1,3% PDB |
Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q3-2022 YoY) | US$ 1,3 miliar |
Cadangan Devisa (Desember 2022) | US$ 137,2 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA