Newsletter

BI Kode Setop Naikkan Suku Bunga! Fed Diramal Tetap Agresif!

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
20 January 2023 05:55
Karyawan melintas di samping layar elektronik yang menunjukkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (11/10/2022). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Karyawan melintas di samping layar elektronik yang menunjukkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (11/10/2022). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Hari ini, pelaku pasar masih mencermati sejumlah isu penting yang menjadi sentimen pasar utama sebagai harapan bahwa pasar keuangan bisa bangkit kembali dan mencatatkan kinerja positif.

Wall Street yang ditutup melemah pada perdagangan semalam tentunya membuka peluang pelemahan IHSG pada hari ini.

Tiga indeks utama Wall Street berakhir di zona merah pada perdagangan Kamis (20/1/2023) di tengah kekhawatiran pelaku pasar bahwa The Fed diperkirakan akan terus menaikkan suku meskipun ada tanda-tanda perlambatan inflasi.

Dow Jones Industrial Average turun 252,40 poin, atau 0,76%, menjadi 33.044,56, membukukan penurunan hari ketiga berturut-turut, S&P 500 mengalami pelemahan 0,76% menjadi 3.898,85, dan Nasdaq Composite jatuh 0,96% berakhir di posisi 10.852,27.

Kendati demikian indeks S&P 500 dan Nasdaq masih mencatatkan kinerja positif untuk bulan ini.Sementara Dow Jones Industrial Average sudah turun 3,67% menuju kinerja terburuknya sejak September 2022.

Sentimen pasar memburuk sejak The Fed diramal bakal terus agresif menaikkan suku bunga meskipun inflasi AS sudah mendingin.

Padahal sebelumnya inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di AS pada Desember 2022 dilaporkan tumbuh 6,5%year-on-year (yoy), jauh lebih rendah dari sebelumnya 7,1%. CPI tersebut juga menjadi yang terendah sejak Oktober 2021.

CPI inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan juga turun menjadi 5,7% dari sebelumnya 6%, dan berada di level terendah sejak Desember 2021.

Di sisi lain, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan data klaim pengangguran jatuh ke level terendah sejak September. Ini memberi sinyal kepada investor bahwa pasar tenaga kerja tangguh di tengah ekonomi yang melambat.

Klaim pengangguran berjumlah 190.000 yang disesuaikan secara musiman untuk pekan yang berakhir 14 Januari, turun 15.000 dari periode sebelumnya. Angka ini juga di bawah perkiraan ekonom yang disurvei oleh Dow Jones yakni sebesar 215.000.

Saat ini, investor tengah fokus menanti komentar pejabat The Fed untuk sinyal-sinyal terkait seberapa besar suku bunga akan dinaikkan. CEO JPMorgan Chase Jamie Dimon berpendapat bahwa suku bunga akan mencapai 5%.

Dari dalam negeri, pelaku pasar masih mencermati kebijakan Bank Indonesia (BI) yang kembali menaikkan suku bunga acuan. Hasil Rapat Dewan Gubernur yang berlangsung dua hari terakhir memutuskan suku bunga BI 7 days reverse repo rate naik sebesar 25 basis point menjadi 5,75%.

Sebagai catatan, BI sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 225 bps pada periode Agustus 2022 - Januari 2023.

BI mengungkapkan, keputusan kenaikan suku bunga yang lebih terukur ini merupakan langkah lanjutan untuk secara front loading preemptive dan forward looking dalam memastikan terus berlanjutnya penurunan ekspektasi inflasi dan inflasi ke depan.

Namun, pasar kembali bergejolak pasca BI memberikan kode keras jika suku bunga tidak akan dinaikkan lagi. Ia menyebut dengan kenaikan kumulatif sejak tahun lalu sebesar 225 basis poin sudah memadai untuk menjaga inflasi.

Perry memprediksi inflasi inti akan berada di bawah 4% di semester I-2023.

Dengan BI yang kemungkinan tidak akan menaikkan suku bunga lagi, sementara bank sentral AS (The Fed) masih akan menaikkan suku bunga, kemungkinan dua kali lagi, makaspreadsuku bunga akan menyempit, dan ada risiko rupiah tertekan.

BI Pangkas PDB Global 2023, Nyalakan Tanda Bahaya?

Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari semula 2,6% menjadi 2,3% pada tahun ini.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan dari hasil asesmen, ekonomi global semakin melambat dari prakiraan sebelumnya disebabkan fragmentasi politik dan ekonomi yang belum usai di global, serta pengetatan kebijakan moneter yang agresif di negara maju.

"Koreksi pertumbuhan ekonomi yang cukup besar disertai peningkatan risiko potensi resesi terjadi di AS dan Eropa," kata Perry dalam konferensi pers hasil RDG BI, Kamis (19/1/2023).

Sementara itu, penghapusan kebijakan zero-Covid di Tiongkok diperkirakan akan menahan risiko pertumbuhan ekonomi global tersebut.

"secara keseluruhan BI menurunkan proyeksi pertumbuhan dunia 2023 menjadi 2,3% dari prakiraan sebelumnya sebesar 2,6%," ujar Perry.

BI juga melihat tekanan inflasi global terindikasi mulai berkurang, sejalan melambatnya pertumbuhan global tersebut, meski tetap di level tinggi, seiring masih tingginya harga energi dan pangan global, serta berlanjutnya gangguan rantai pasok dan masih ketatnya pasar tenaga kerja terutama di AS dan Eropa.

Di sisi lain, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali membagikan kabar tidak sedap mengenai ancaman dampak ekonomi global terhadap Indonesia. Kabar tersebut terkait dengan informasi yang diterimanya dari pimpinan Dana Moneter Internasional atau IMF.

Menurut informasi dari Managing Director IMF Kristalina Georgieva, sepertiga dunia terancam masuk ke jurang resesi. Kondisi ini lebih parah dari krisis finansial 97-98.

Jokowi mengungkapkan ada 16 negara jadi pasien IMF karena ekonominya ambruk.

"Ini 16 negara sudah menjadi pasien IMF dan 36 negara antre di depan pintu IMF ingin jadi pasien IMF artinya keadaan sudah tidak normal. Saya tidak menakut nakuti ini adalah angka angka yang harus saya sampaikan," tegas Jokowi.

Kendati demikian, angin segar datang dari menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meyakini Indonesia merupakan negara yang tidak masuk ke dalam tiga negara yang akan mengalami resesi tersebut.

Perekonomian Indonesia akan mampu bergerak semakin cepat di tahun 2023, sebagaimana mampu menghadapi pandemi dan turbulensi di tahun 2022.

Optimisme pemulihan ekonomi didukung dengan arsitektur APBN 2023 yang telah disiapkan sebagai motor penggerak pemulihan. Diantaranya, dengan merancang belanja negara yang diharapkan mampu menjaga Indonesia dari guncangan perekonomian global.

(aum/aum)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular