CNBC Indonesia Research

Krisis Dunia Ada Baiknya Bagi Umat Manusia, Ini Buktinya!

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
12 January 2023 09:40
Pelancong yang terdampar di Chilca, dekat Machu Picchu, Peru
Foto: Turis yang mengunjungi benteng Inca di Machu Picchu terdampar menunggu transportasi ke Cusco setelah dievakuasi dengan kereta api ke Ollantaytambo, Peru, Sabtu (17/12/2022). Ratusan turis terlantar di Kota Machu Picchu karena akses kereta dihentikan usai Peru mendeklarasikan status darurat menyusul pemakzulan dan penahanan mantan presiden Pedro Castillo pada tengah pekan ini. Kedaruratan ini dipicu krisis politik dan kerusuhan berdarah yang hingga kini sudah menewaskan setidaknya 20 orang dan 340 lainnya luka-luka. (Photo by MARTIN BERNETTI/AFP via Getty Images)

Krisis 1980: Pembubaran Uni Soviet

Emisi karbon juga terpantau menurun ketika krisis minyak pada 1980-an dan pembubaran Uni Soviet pada akhir 1991.

Uni Soviet merupakan salah satu negara adikuasa pemenang Perang Dunia II. Pada 1947-1991, Uni Soviet menjadi pusat dari aliansi negara komunis Blok Timur selama Perang Dingin.

Hingga awal tahun 1991, Uni Soviet adalah negara dengan wilayah kekuasaan terbesar di dunia. Masa kejayaan Uni Soviet tidak mampu bertahan lama. Setelah 69 taun berdiri, Uni Soviet mengalami keruntuhan pada Desember 1991.

Keruntuhan Uni Soviet bermula dari kemerosotan ekonomi pada sekitar tahun 1980. Kemerosotan ekonomi tersebut berdampak negatif pada seluruh aspek kehidupan Uni Soviet.

Keruntuhan Uni Soviet memberikan dampak yang masif bagi aspek sosial, ekonomi dan politik dunia. Terlebih, menimbulkan krisis ekonomi di kawasan Eropa Timur.


Krisis Keuangan 2008-2009

Penurunan emisi karbon juga terjadi ketika krisis keuangan pada 2008-2009. Ini merupakan krisis finansial terburuk dalam 80 tahun terakhir, bahkan para ekonom dunia menyebutnya sebagai the mother of all crise.

Krisis keuangan pada periode ini diawali dengan terjadinya subprime mortgage di Amerika Serikat (AS) yang berimbas ke krisis sektor finansial lebih dalam. Masalah ini terjadi karena industri hipotek memberikan dana kepada para peminjam yang sebenarnya tidak mampu membayar. Sehingga terjadi peningkatan kebangkrutan yang memicu ambruknya sejumlah lembaga peminjaman.

Kondisi ini ternyata semakin memburuk, meluas, dan berkepanjangan serta tidak hanya dirasakan oleh perekonomian AS tetapi dirasakan berbagai negara termasuk Indonesia.

Bagi dunia, hal ini menandakan berakhirnya pertumbuhan. Setelah enam tahun terjadi pertumbuhan tinggi, ekonomi berkembang melambat di tahun 2009 ke tingkat pertumbuhan yang lebih menengah, 2,8% per tahun, menurut Dana Moneter Internasional (IMF) - sementara negara industri menciut menjadi -3,4%.

Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 nyatanya turut berkontribusi pada penurunan emisi karbon di Indonesia hingga 59 juta ton CO2 sepanjang 2020. Pada tahun itu, ketika dunia tiba-tiba lockdown dampaknya memang langsung terasa pada emisi karbon.

Sebagian besar dunia melakukan pembatasan sosial, pabrik-pabrik berhenti beroperasi, mobil mematikan mesinnya dan pesawat dilarang terbang.

Menurut tim Global Carbon Project, emisi karbon tahun ini turun 2,4 miliar ton. Angka itu jauh melampaui tingkat penurunan yang tercatat pada tahun 2009 akibat resesi ekonomi global dengan hanya setengah miliar ton, maupun pada akhir Perang Dunia Kedua yang menyebabkan emisi turun sebesar satu miliar ton.

Di seluruh Eropa dan Amerika Serikat, tercatat penurunan sekitar 12 persen sepanjang tahun, dan beberapa negara bahkan mencatat angka yang lebih besar. Perancis mengalami penurunan sebesar 15% dan Inggris turun 13%.


Namun, pada kenyataannya pandemi tidak akan terlalu berdampak pada upaya penanggulangan perubahan iklim dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Terbukti, pasca pandemi, emisi karbon kembali menunjukkan tren peningkatan.

Banyak janji-janji nasional yang telah diperbarui dan diperkuat selama setahun terakhir, tetapi masih belum cukup untuk menghindari perubahan iklim yang berbahaya.

Meskipun pada tahun 2020 terjadi penurunan lebih dari dua miliar ton CO2, para ilmuwan mengatakan bahwa untuk memenuhi tujuan Perjanjian Iklim Paris akan membutuhkan pemotongan hingga dua miliar ton setiap tahun untuk satu dekade ke depan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aum/aum)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular