Newsletter

Kabar Baik Menjadi Berita Buruk Itu Datang Lagi, Bersiaplah!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
06 January 2023 06:05
cover topik: robotisasi tenaga kerja thumbnail
Foto: Kristalina Georgieva, IMF (AP/Jens Meyer)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambrol hingga 2,7% ke 6.653,841 pada perdagangan Kamis kemarin. Penurunan tersebut menjadi yang terbesar dalam lebih dari 7 bulan terakhir, tepatnya sejak 12 Mei 2022.

Hal ini menjadi aneh, sebab bursa saham global sedang menguat. Dari Asia misalnya, indeks Jepang dan Kospi Korea Selatan naik 0,4%, Shanghai Composite China dan Hang Seng Hong Kong melesat lebih dari 1%.

Kemudian indeks negara tetangga, FTSE Malaysia naik 0,77%, sementara Straits Times Singapura melesat 1,55%.

Jebloknya sektor energi menjadi pemicu jatuhnya IHSG, dan berisiko berlanjut lagi pada perdagangan Jumat (6/1/2023). Faktor-faktor yang mempengaruhi pasar finansial, termasuk kabar baik yang menjadi berita buruk akan dibahas pada halaman 3.

Sektor energi tercatat merosot hingga 4,8% Kamis kemarin. Harga komoditas energi, termasuk batu bara, yang ambrol menyeret emiten-emiten energi di dalam negeri. Dalam 4 hari perdagangan tahun ini, PT Adaro Energy Tbk. (ADRO) misalnya jeblok hingga 19,5%.

Berikut pergerakan beberapa emiten batu bara sepanjang pekan ini.


Jebloknya IHSG disertai dengan aksi jual asing membuat rupiah kembali melemah tipis (0,06%) melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 15.605/US$. Padahal, obligasi Indonesia sedang banyak diburu. Hal ini terlihat dari penurunan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) tenor 1 sampai 20 tahun mengalami penguatan.

Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika yield turun, artinya harga sedang naik, begitu juga sebaliknya.

Di pasar saham, dalam 4 hari perdagangan pekan ini investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih sekitar Rp 1,7 triliun. Sementara di pasar SBN sekunder dalam dua hari pertama perdagangan tercatat ada inflow sekitar Rp 2,5 triliun, melansir data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan Risiko (DJPPR).

Kondisi ini berbalik ketimbang tahun lalu, di mana inflow terjadi di pasar saham dan outflow yang masif di SBN.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Anjlok Lagi

Bursa saham Amerika Serikat (Wall Street) jeblok lagi pada perdagangan Kamis waktu setempat setelah rilis data tenaga kerja.

Indeks Dow Jones jeblok 1%, S&P 500 1,1% dan Nasdaq paling besar minus 1,5%. 

Data tenaga kerja yang dirilis Automatic Data Processing Inc. (ADP) menunjukkan sektor swasta AS menambah tenaga kerja sebanyak 235.000 orang, jauh di atas estimasi Dow Jones sebesar 153.000 orang. Kenaikan upah juga tercatat cukup tinggi.

Pemerintah AS juga melaporkan klaim tunjangan pengangguran mingguan lebih rendah dari ekspektasi.

Data tersebut cukup mengejutkan mengingat bank sentral AS (The Fed) sangat agresif dalam menaikkan suku bunganya.

Sepanjang 2022, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 425 basis poin menjadi 4,25% - 4,5%, menjadi yang tertinggi dalam 15 tahun terakhir. Kenaikan tersebut juga menjadi yang paling agresif sejak tahun 1980an.

Pada 2023, The Fed berpeluang menaikkan suku bunga dua kali lagi, 50 basis poin pada Februari dan 25 basis poin sebulan berselang hingga menjadi 5% - 5,25%. Itu kan menjadi level puncak suku bunga di Amerika Serikat, tersirat dari Fed dot plot yang dirilis Desember lalu.

Ketika suku bunga semakin tinggi, maka masyarakat akan cenderung melakukan saving ketimbang belanja. Kemudian ekspansi dunia usaha juga akan melambat, kemerosotan ekonomi hingga resesi pun menjadi keniscayaan.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini



Jebloknya Wall Street yang merupakan kiblat bursa saham dunia tentunya memberikan sentimen negatif ke IHSG, dan juga bisa berimbas ke rupiah. Seperti disebutkan sebelumnya, pasar tenaga kerja Amerika Serikat masih kuat dengan jumlah perekrutan tenaga kerja yang masih tinggi serta klaim tunjangan pengangguran rendah.

Dalam kondisi normal, pasar tenaga kerja yang kuat tentunya menjadi kabar bagus, perekonomian menjadi kuat kinerja emiten pun akan moncer. Pasar saham biasanya akan menguat merespon hal tersebut.

Namun, kali ini situasinya berbeda. The Fed (dan bank sentral utama lainnya) justru "mengharapkan" pasar tenaga kerja melemah, bahkan jika perlu resesi segera terjadi.

Hal tersebut diperlukan untuk menurunkan inflasi yang sangat tinggi. Ketika pasar tenaga kerja kuat, maka daya beli masyarakat juga masih akan kuat, hal ini tentunya sulit menurunkan inflasi.

Alhasil, suku bunga bisa semakin tinggi dan ditahan lebih lama lagi sampai inflasi menurun. Jika itu terjadi, maka resesi yang akan dialami Amerika Serikat dan negara maju lainnya bisa jadi akan dalam dan panjang.

Sehingga kabar baik di pasar tenaga kerja AS sebenarnya menjadi kabar buruk bagi pasar finansial saat ini. Terlihat dari Wall Street yang langsung jeblok merespon data tersebut.

IHSG juga berisiko kembali jeblok, tetapi tidak menutup kemungkinan juga balik menguat akibat faktor teknikal. Sebab, dalam 2 hari terakhir IHSG sudah ambrol sekitar 3,5% dan berada di level terendah dalam 6 bulan terakhir.

Sementara itu dari dalam negeri, pelaku pasar menanti rilis cadangan devisa akhir Desember 2022. Seperti diketahui, tirisnya pasokan valuta asing (valas) meski neraca perdagangan surplus 31 bulan beruntun menjadi salah satu faktor yang membuat rupiah sulit menguat.

Cadangan devisa Indonesia sebelumnya mengalami penurunan dalam 7 bulan beruntun sebelum naik pada November lalu. Hal ini sudah bisa memberikan gambaran tirisnya pasokan valas di dalam negeri, padahal seharusnya bisa meningkat sebab neraca perdagangan terus mencetak surplus.

Ditengarai para eksportir menempatkan dolar AS mereka di Singapura. Sebabnya, suku bunga deposito valas di Singapura lebih tinggi ketimbang di Indonesia.

Jika cadangan devisa kembali naik pada Desember, tentunya akan memberikan sentimen positif. Upaya Bank Indonesia (BI) untuk bisa menarik kembali valas tersebut mulai terlihat, dan bisa memperkuat posisi rupiah.

Selain itu perhatian tertuju pada pergerakan harga komoditas energi. Harga batu bara yang jeblok menyusul gas alam dan minyak mentah membuat emiten sektor energi merosot dan membebani IHSG. Tetapi, pada perdagangan Rabu, harga komoditas tersebut mulai stabil. Batu bara tercatat naik 2,3% ke US$ 272/ton, berdasarkan data Barchart.

Kenaikan harga batu bara lebih ditopang penguatan harga batu bara metalurgi/kokas. Pasokan batu bara yang memiliki kalori tinggi tersebut diperkirakan akan semakin ketat setelah China sepakat untuk kembali mengimpor batu bara dari Australia.

"Batu bara kokas premium adalah jenis batu bara yang paling dicari di China. Tanpa permintaan dari China, pasokan batu bara tersebut sudah sangat ketat dan nyaris nol," tutur salah satu trader Australia kepada Fastmarkets.

Menurutnya, permintaan sudah penuh hingga kuartal I-2023. Masuknya China akan semakin memperketat persaingan.

Sementara itu minyak mentah naik lebih dari 1% baik itu jenis West Texas Intermediate (WTI) dan Brent, tetapi gas alam masih jeblok 10%, sehingga pergerakan semuanya patut dicermati.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Neraca perdagangan China (tentative)
  • Cadangan Devisa Indonesia (10:00 WIB)
  • Inflasi zona euro (17:00 WIB)
  • Data tenaga kerja AS versi pemerintah (20:30 WIB)
  • PMI sektor jasa (20:00 WIB)


Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

Listing: BEER, ELIT, SOUL, CBPE
RUPS: INTA, TCPI, NIRO

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2022 YoY)

5,72%

Inflasi (November 2022 YoY)

5,51%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (November 2022)

5,50%

Surplus Anggaran (APBN 2022)

3,92% PDB

Surplus Transaksi Berjalan (Q3-2022 YoY)

1,3% PDB

Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q3-2022 YoY)

US$ 1,3 miliar

Cadangan Devisa (November 2022)

US$ 134 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap) Next Article Ada Hikmah Dibalik Kolapsnya SVB & Krisis Perbankan AS-Eropa

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular