Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi 2023 dibayangi dengan ketidakpastian. International Monetary Fund (IMF) mengungkapkan 3 raksasa dunia, Amerika Serikat, China, dan Eropa saat ini berada di ujung jurang resesi.
Bagi Indonesia, ketiga negara tersebut berperan besar terhadap ekonomi Indonesia, terlebih China. Negara Tirai Bambu ini cukup menguntungkan untuk ekonomi Indonesia, baik dari sisi investasi dan perdagangan. Jika China resesi, maka Indonesia harus bersiap diri.
China menjadi salah satu investor terbesar untuk Indonesia. Investasi China pada Januari-September 2022 tercatat US$ 5,2 miliar, hanya kalah dari Singapura di tempat teratas.
Nilai perdagangan non migas Indonesia dan China, pada Januari-Oktober 2022 pun telah menembus US$ 106,97 miliar. Nilai tersebut sudah melewati pencapaian pada seluruh tahun 2021.
Kendati demikian, ekspor Indonesia dikhawatirkan melandai. Sebab purchasing managers' index (PMI) manufaktur China telah mengalami kontraksi dalam 3 bulan beruntun, terakhir pada Desember 2022 47, turun dari bulan sebelumnya 48.
IMF memperkirakan pertumbuhan China pada 2022 akan berada di bawah pertumbuhan global - yang diperkirakan hanya tumbuh 3,2% (yoy).
Artinya, ekonomi China diramal tidak akan sampai 4% pada 2022. Dengan demikian, pertumbuhan PDB China anjlok dari 8,1% pada 2021.
"Untuk pertama kalinya dalam 40 tahun, pertumbuhan China pada 2022 kemungkinan berada di bawah atau di bawah pertumbuhan global," kata Georgieva kepada CBS, dikutip Reuters, Kamis (5/1/2023).
Cara yang bisa ditempuh pemerintah dan otoritas di saat China mengalami resesi adalah dengan memperluas akses pasar dan meningkatkan ekonomi domestik.
Peneliti Senior Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan menjelaskan, karena demand yang turun dari China, Indonesia perlu lebih giat mencari atau meningkatkan ekspor ke negara-negara lain.
"Bagaimana caranya, ya lewat perbaikan iklim usaha dan kepastian hukum. Salah satunya lewat kepastian tentang Omnibus Law Ketenagakerjaan atau Perppu Cipta Kerja," jelas Deni kepada CNBC Indonesia, Kamis (5/1/2022).
Tidak kalah penting, kata Deni adalah harus menjaga keamanan dan stabilitas politik, serta kebijakan makro ekonomi yang baik untuk menjamin stabilitas perekonomian.
"Inflasi dan nilai tukar rupiah harus tetap terjaga, agar konsumsi masyarakat bisa tetap tumbuh dan para pengusaha mau berinvestasi," kata Deni lagi.
Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah. Indonesia kata dia, tidak punya banyak pilihan kebijakan untuk menghadapi permasalahan global, termasuk resesi China.
Menurut Piter, pemerintah sebaiknya fokus saja pada upaya menjaga permintaan domestik.
Ekonom Universitas Indonesia Teuku Riefky mengungkapkan, pemerintah harus memperluas akses pasar, tatkala China mengalami resesi ekonomi.
Perluasan akses pasar harus dilakukan untuk membentengi perekonomian ke depan. Sehingga, Indonesia tidak perlu bergantung pada satu partner dagang utama.
"Karena kemudian kalau partner dagang tersebut mengalami perlambatan ekonomi, kita akan cukup terdampak," jelas Riefky
Indonesia dengan ekonomi domestik yang besar, perlu ditingkatkan ketahanannya. Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal
"Jadi, pengalihan ke pasar dalam negeri yang relatif lebih kuat daripada pasar global," ujar Faisal kepada CNBC Indonesia, Kamis (5/1/2022).