
Kabar Baik Menjadi Berita Buruk Itu Datang Lagi, Bersiaplah!

Jebloknya Wall Street yang merupakan kiblat bursa saham dunia tentunya memberikan sentimen negatif ke IHSG, dan juga bisa berimbas ke rupiah. Seperti disebutkan sebelumnya, pasar tenaga kerja Amerika Serikat masih kuat dengan jumlah perekrutan tenaga kerja yang masih tinggi serta klaim tunjangan pengangguran rendah.
Dalam kondisi normal, pasar tenaga kerja yang kuat tentunya menjadi kabar bagus, perekonomian menjadi kuat kinerja emiten pun akan moncer. Pasar saham biasanya akan menguat merespon hal tersebut.
Namun, kali ini situasinya berbeda. The Fed (dan bank sentral utama lainnya) justru "mengharapkan" pasar tenaga kerja melemah, bahkan jika perlu resesi segera terjadi.
Hal tersebut diperlukan untuk menurunkan inflasi yang sangat tinggi. Ketika pasar tenaga kerja kuat, maka daya beli masyarakat juga masih akan kuat, hal ini tentunya sulit menurunkan inflasi.
Alhasil, suku bunga bisa semakin tinggi dan ditahan lebih lama lagi sampai inflasi menurun. Jika itu terjadi, maka resesi yang akan dialami Amerika Serikat dan negara maju lainnya bisa jadi akan dalam dan panjang.
Sehingga kabar baik di pasar tenaga kerja AS sebenarnya menjadi kabar buruk bagi pasar finansial saat ini. Terlihat dari Wall Street yang langsung jeblok merespon data tersebut.
IHSG juga berisiko kembali jeblok, tetapi tidak menutup kemungkinan juga balik menguat akibat faktor teknikal. Sebab, dalam 2 hari terakhir IHSG sudah ambrol sekitar 3,5% dan berada di level terendah dalam 6 bulan terakhir.
Sementara itu dari dalam negeri, pelaku pasar menanti rilis cadangan devisa akhir Desember 2022. Seperti diketahui, tirisnya pasokan valuta asing (valas) meski neraca perdagangan surplus 31 bulan beruntun menjadi salah satu faktor yang membuat rupiah sulit menguat.
Cadangan devisa Indonesia sebelumnya mengalami penurunan dalam 7 bulan beruntun sebelum naik pada November lalu. Hal ini sudah bisa memberikan gambaran tirisnya pasokan valas di dalam negeri, padahal seharusnya bisa meningkat sebab neraca perdagangan terus mencetak surplus.
Ditengarai para eksportir menempatkan dolar AS mereka di Singapura. Sebabnya, suku bunga deposito valas di Singapura lebih tinggi ketimbang di Indonesia.
Jika cadangan devisa kembali naik pada Desember, tentunya akan memberikan sentimen positif. Upaya Bank Indonesia (BI) untuk bisa menarik kembali valas tersebut mulai terlihat, dan bisa memperkuat posisi rupiah.
Selain itu perhatian tertuju pada pergerakan harga komoditas energi. Harga batu bara yang jeblok menyusul gas alam dan minyak mentah membuat emiten sektor energi merosot dan membebani IHSG. Tetapi, pada perdagangan Rabu, harga komoditas tersebut mulai stabil. Batu bara tercatat naik 2,3% ke US$ 272/ton, berdasarkan data Barchart.
Kenaikan harga batu bara lebih ditopang penguatan harga batu bara metalurgi/kokas. Pasokan batu bara yang memiliki kalori tinggi tersebut diperkirakan akan semakin ketat setelah China sepakat untuk kembali mengimpor batu bara dari Australia.
"Batu bara kokas premium adalah jenis batu bara yang paling dicari di China. Tanpa permintaan dari China, pasokan batu bara tersebut sudah sangat ketat dan nyaris nol," tutur salah satu trader Australia kepada Fastmarkets.
Menurutnya, permintaan sudah penuh hingga kuartal I-2023. Masuknya China akan semakin memperketat persaingan.
Sementara itu minyak mentah naik lebih dari 1% baik itu jenis West Texas Intermediate (WTI) dan Brent, tetapi gas alam masih jeblok 10%, sehingga pergerakan semuanya patut dicermati.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini
