CNBC Indonesia Research
Divonis Mati, Nyatanya Laba Emiten Batu Bara Rekor Tertinggi!

Jakarta, CNCB Indonesia - Prospek industri pertambangan batu bara oleh banyak pihak dianggap telah mencapai senja kala, dengan otoritas di berbagai negara memberikan injeksi 'suntikan mati' lewat sejumlah aturan krusial demi mencapai transisi energi menuju yang lebih ramah lingkungan. Akan tetapi kondisi tersebut berbalik arah baru-baru ini dengan emiten batu bara RI secara kolektif mencatatkan kenaikan laba bersih hingga 300%.
Capaian fantastis di tengah vonis mati itu terjadi salah satunya karena krisis energi di Eropa, buntut dari konflik antara Rusia dan Ukraina. Sanksi serta sejumlah intrik perang lainnya pada akhirnya membuat akses Eropa akan impor gas alam Rusia menjadi terbatas.
Dalam pencarian solusi untuk memberikan jaminan kehangatan kala musim dingin kepada 746 juta penduduk, Eropa kembali menoleh ke belakang dan merangkul batu bara. Kondisi genting masa perang akhirnya membuat Eropa kembali menghamba pada batu bara, karena harganya yang lebih murah dari alternatif lain - gas alam - dan di saat bersamaan juga dapat diandalkan - lebih baik dari beberapa sumber listrik EBT.
Alhasil sepanjang tahun lalu, harga komoditas fosil tersebut beberapa kali mencatatkan rekor tertinggi dan pada awal September harganya sempat menembus US$ 464/ton.
Kondisi tersebut membuat pada pengusaha dan penambang batu bara sumringah.
Catatkan Rekor Laba Bersih
Sejumlah emiten batu bara RI tahun lalu mengumumkan catatan rekor pendapatan dan laba bersih, meski laporan kinerja yang diungkapkan baru untuk sembilan bulan pertama operasi.
Booming batu bara kali ini membuat dua raksasa tambang, Bayan Resources (BYAN) dan Adaro Energy Indonesia (ADRO), mencatatkan laba bersih miliar dolar bahkan sebelum perusahaan resmi tutup buku di akhir tahun.
Sebelumnya, hanya BYAN yang mampu membukukan laba bersih di atas US$ 1 miliar dalam setahun kalender yang dibukukan oleh perusahaan tahun lalu. Emiten tambang Grup Bakrie yang sempat berjaya pada dekade 2000-an, Bumi Resources (BUMI), juga tidak mampu melewati angka keramat tersebut. Menurut data Refinitiv, catatan laba bersih terbaik BUMI terjadi pada tahun 2007.
Selain ADRO dan BYAN, sejumlah emiten batu bara lain juga berpotensi mencatatkan raihan laba bersih di atas US$ 1 miliar untuk setahun penuh. Kandidat utama tersebut termasuk Indo Tambangraya Megah (ITMG) dan perusahaan pelat merah Bukit Asam (PTBA).
Secara kolektif, laba bersih 12 bulan terakhir (last twelve months/LTM) dari 24 emiten tambang batu barai RI tercatat naik 300% dibandingkan catatan setahun sebelumnya (LTM-1 tahun).
Berdasarkan analisis dan perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia menggunakan data yang dihimpun Refinitiv, selama empat kuartal terakhir, laba bersih emiten batu bara RI mencapai Rp 187,19 triliun, naik dari semula hanya Rp 46,85 triliun.
Kondisi serupa nyatanya tidak hanya terjadi di Indonesia yang merupakan eksportir batu bara terbesar dunia, secara global gambaran ini juga terlihat relatif sama.
Berdasarkan riset Financial Times dan data dari S&P Capital IQ, total laba dari 20 penambang batu bara terbesar di dunia mencapai US$ 97,7 miliar selama periode 12 bulan terakhir saat informasi keuangan tersedia, naik 246% dari semula hanya US$ 28,2 miliar selama periode yang sama setahun sebelumnya.
Berkah batu bara juga akhirnya ikut dirasakan oleh pemerintah, yang mana penerimaan bukan pajak ikut menggelembung. Dari total Rp 173,51 triliun setoran PNBP sektor pertambangan mineral dan batu bara tahun lalu, subsektor pertambangan batu bara meberikan kontribusi 75%-80%. Raihan PNBP tersebut juga jauh melampaui target atau 170,38% dari rencana 2022 sebesar Rp 101,84 triliun.
Batu Bara Gak Jadi Kiamat?
Hanya setahun setelah pemimpin dunia berjanji untuk mulai menghentikan (phase down) penggunaan batu bara - KTT iklim COP26 Glasgow, permintaan bahan bakar fosil malah meningkat. Secara global asupan batu bara global naik 1,2% mencapai rekor tertinggi pada 2022, menurut Badan Energi Internasional (IEA).
Akibatnya, perusahaan pertambangan batu bara mengalami peningkatan besar dan tak terduga dari sisi pendapatan dan laba bersih mereka. Meski demikian, torehan ini lebih layak disebut sebagai anomali dari pada tren jangka panjang.
Para pemimpin dunia beserta pemegang kepentingan lain sampai saat ini masih teguh pada komitmennya untuk berpaling dari sumber energi kotor dan berharap krisis energi di Eropa dan belahan dunia lainnya dapat segera terselesaikan demi percepatan transisi menuju energi yang lebih bersih.
IEA memprediksi penggunaan batu bara akan mencapai puncaknya tahun ini atau pada tahun 2023, kemudian stabil hingga tahun 2025, lalu kembali turun.
Artinya, jika semua berjalan sesuai rencana, tampaknya emiten batu bara akan kesusahan untuk mencatatkan rekor pendapatan dan laba baru di tahun-tahun mendatang, dengan harga batu bara juga mulai turun perlahan.
Dari sisi lain, emiten tambang batu bara juga tidak mengalihkan pandangan dan masih fokus untuk mengamankan bisnisnya setalah demam batu bara turun. Sejumlah perusahaan batu bara tercatat mulai melakukan manuver ke banyak sektor, mulai dari yang terdekat seperti tambang mineral hingga ada yang mulai fokus menerobos bisnis kendaraan listrik.
Booming kali ini bisa jadi merupakan nafas panjang terakhir bisnis batu bara terbantu oleh napas buatan dari perang di Eropa Timur. Ke depan, meski tidak dalam waktu dekat, senja kala industri tambang batu bara tampaknya tidak dapat terelakkan lagi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Sanggahan: Berita ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli atau menjual saham terkait. Keputusan investasi sepenuhnya ada pada diri anda, dan CNBC Indonesia tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(fsd)[Gambas:Video CNBC]