CNBC Indonesia Research
Jreng, Ini Dia Penyebab Dapen & Asuransi RI Sering Bermasalah

Jakarta, CNBC Indonesia - Sering dianggap sebagai indeks saham andalan para fund manager, dana pensiun (dapen), hingga perusahaan asuransi, LQ45 ternyata punya tingkat pengembalian investasi (return) yang kurang mentereng.
Bahkan, aset investasi rendah risiko seperti obligasi pemerintah RI tenor 10 tahun juga mampu mengungguli rerata return LQ45 selama 10 tahun belakangan (2013-2022).
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI) yang diolah Tim Riset CNBC Indonesia, rerata return indeks saham unggulan (blue chip) LQ45 dalam satu dasawarsa terakhir hanya sebesar 3,16% per tahun, sedangkan rerata imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun mencapai 7,39% per tahun.
Sejatinya, kinerja indeks LQ45 tidak selalu biasa saja. Contoh saja, pada 2014, return indeks ini mencapai 26,36% (tertinggi dalam 10 tahun terakhir) dan pada 2017 sebesar 22,02%.
Namun, seakan memuncak pada 2017, return tahunan LQ45 tidak seciamik sebelumnya. Bahkan, pada 2018 minus 8,96%.
Secara global, sentimen negatif global soal aksi kerek suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, sebanyak empat kali pada tahun itu turun memberi tekanan pada konstituen indeks tersebut.
Walaupun memang, kinerja LQ45 pada 2018 lebih buruk ketimbang Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang 'hanya' minus 2,54%.
Sedangkan, apabila ingin menunjuk hidung saham pemberat pada 2018, anjloknya konstruksi pelat merah, migas, hingga dua saham bank besar menekan kinerja LQ45 pada tahun itu.
Saham PT Adhi Karya Tbk (ADHI) anjlok lebih dari 18-an persen pada 2018. Sedangkan saham PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) minus 22% dan 24% pada periode yang sama.
Kemudian, di situasi pandemi, pada 2020, return LQ45 juga turun tajam 7.84% dan minus 0,37% setahun berikutnya. (Lihat tabel di bawah ini.)
Kinerja LQ45 selama 2013-2022
Tahun | Return (%) |
2013 | -3.25 |
2014 | 26.36 |
2015 | -11.86 |
2016 | 11.69 |
2017 | 22.02 |
2018 | -8.96 |
2019 | 3.23 |
2020 | -7.84 |
2021 | -0.37 |
2022 | 0.62 |
Rerata | 3.16 |
Tertinggi | 26.36 |
Terendah | -11.86 |
Kinerja LQ45 sepanjang tahun lalu juga kurang greget, hanya naik 0,62%. Angka ini kalah dengan kenaikan IHSG (+4,09%) selama 2022.
Ini akibat penurunan tajam sejumlah saham kakap (big cap) yang menjadi laggard (pemberat) baik IHSG dan terutama LQ45.
Nama-nama yang dimaksud adalah saham dengan kapitalisasi pasar (market cap) Rp108 triliun PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) yang anjlok 76% sepanjang 2022.
Saham GOTO terkena tekanan baik ekonomi global maupun internal perusahaan sejak melantai di bursa pada 11 April 2022.
Kemudian, bank digital yang sempat menjadi bintang di 2021, PT Bank Jago Tbk (ARTO) yang terjun bebas 76,7% pada tahun lalu.
Turunnya saham emiten telekomunikasi PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) sebesar 7,2% dan Grup Emtek PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) sebesar 54% turun menjadi pemberat IHSG dan LQ45.
Lebih lanjut, apabila meneropong masa yang lebih panjang, setidaknya ada belasan saham baik penghuni maupun eks konstituen LQ45 yang mengalami penurunan harga secara tajam sejak 2013 hingga akhir 2022.
Dari daftar di bawah ini, ada dua saham yang pernah meramaikan LQ45 yang membawa kita kembali mengingat skandal Jiwasraya dan Asabri. (Lihat tabel di bawah ini.)
Dari tabel tersebut, nama-nama seperti raksasa rokok, GGRM dan HMSP, hingga duo semen, INTP dan SMGR, menjadi pemberat LQ45 dengan penurunan luar biasa dalam 10 tahun terakhir.
Seperti disinggung singkat di muka, GOTO, BUKA hingga ARTO juga menjadi pemberat LQ45 (dan juga IHSG) selama 2022. Ini karena ketiga saham tersebut longsor setelah menjadi konstituen anyar LQ45.
Kisah TRAM dan MYRX di Indeks Elite
Nama teratas dari daftar di muka, TRAM dan MYRX, berkaitan dengan dua sosok terdakwa kasus korupsi PT Asabri dan PT Jiwasraya, yakni Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro (Bentjok).
Heru, yang menjabat sebagai Presiden Komisaris TRAM, divonis penjara seumur hidup di Jawasraya dan vonis nihildi Asabri.
Sedangkan, Bentjok sang pemilik MYRX ditutut hukuman mati di kasus Asabri.
Benny Tjokro dinilai terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam skandal kasus PT ASABRI.
Sementara itu, Benny Tjokro sendiri telah divonis seumur hidup dalam kasus korupsi PT Jiwasraya.
Untuk Asabri total nilai kerugian negara diprediksi mencapai Rp 22,7 triliun, sementara Jiwasraya sebesar Rp 16,8 triliun.
Singkatnya, keduanya divonis bersalah lantaran kongkalikong dalam aksi 'menggoreng' saham dengan fundamental buruk demi memoles portofolio Jiwasraya dan Asabri. Walaupun, pada akhirnya merugikan perusahaan.
Bentjok dan Heru melakukan korupsi investasi saham dan reksa dana di Jiwasraya selama periode 2008 sampai 2018. Di Asabri, Bentjok dan Heru melakukan korupsi pada 2012 hingga 2019.
Sebelum terjun bebas pada 2019 hingga saat ini, saham TRAM dan MYRX pernah menjadi penghuni LQ45 pada medio 2016 hingga pertengahan 2018.
Selama periode itu pula, kinerja kedua saham yang menjadi porto Asabri dan Jiwasraya tersebut sempat cemerlang.
Pada 2016, kinerja tahunan MYRX mencapai 34% dan pada 2018 sebesar 6%. Ini sebelum 'terjun bebas' 50-an persen pada 2019.
Saham TRAM bahkan sempat meroket 180-an persen pada 2016 dan melejit 45% pada 2017. Kejayaan tersebut rontok setelah harga saham turun 14% pada 2018 dan anjlok 70% pada 2019.
Usai skandal Jiwasraya terendus, saham TRAM dan MYRX disuspensi (dikenakan penghentian perdagangan sementara) oleh bursa sejak 2020 hingga saat ini. Lebih tragis, keduanya juga sudah 'nyender' di level gocap alias Rp50/saham.
Teranyar, sebagian porsi saham TRAM dan MYRX juga sudah 'disita' oleh Kejaksaan Agung bersama deretan saham lainnya.
Melihat data di atas, loyonya LQ45 yang kontras dengan pergerakan liar saham berkapitalisasi kecil yang volatil seringkali menjadi jalan pintas bagi pelaku pasar, dan tidak menutup kemungkinan perusahaan asuransi dan dapen, untuk meraup cuan dalam waktu singkat.
Walaupun, harga yang harus dibayar acapkali sangat mahal: entah 'nyangkut' dalam atau bahkan bangkrut.
Godaan 'cuan' gede di saham-sahamĀ small cap itulah yang sempat menjerumuskan perusahaan asuransi. Contohnya paling anyar, duo pelat merah PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero) yang masuk ke pusaran skandal besar keuangan RI beberapa tahun lalu.
Informasi saja, perusahaan asuransi tergolong gemar berinvestasi di saham demi 'memutar' dana premi nasabah.
Mengacu pada data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perusahaan asuransi jiwa konvensional RI punya portofolio investasi sebesar RP526,18 triliun hingga November 2022.
Dari total investasi itu, sebesar 29,43% atau setara dengan Rp154,84 triliun merupakan investasi di aset saham.
(RCI)[Gambas:Video CNBC]