Newsletter

Kartu Kuning! Resesi dan PHK Massal di Depan Mata

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
19 December 2022 05:55
PHK
Foto: cover topik/ PHK / Aristya rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Volatilitas pasar finansial global termasuk Indonesia akan meningkat di penghujung 2022. Maklum saja, resesi dunia sudah di depan mata, dan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal akan menjadi sorotan. Hal ini, tentunya akan mempengaruhi sentimen pelaku pasar global, begitu juga di Indonesia.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar pada perdagangan Senin (19/12/2022) akan dibahas pada halaman 3.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sukses mencatat penguatan mingguan pertama setelah sebelumnya merosot dalam 4 pekan beruntun. Kenaikannya juga lumayan, 1,45% ke 6.812,193.

Meski demikian, dalam sepekan investor asing tercatat melakukan jual bersih senilai Rp 4,74 triliun di pasar reguler.

Sementara itu rupiah mencatat pelemah kurang dari 0,1% dalam sepekan melawan dolar AS di Rp 15.595/US$. Dari pasar obligasi, Surat Berharga Negara (SBN) bervariasi. SBN tenor 1 tahun, 5,10, 15 dan 30 tahun mengalami penguatan terlihat dari imbal hasilnya (yield) yang turun, sementara tenor lainnya melemah.

Tekanan bagi besar bagi pasar finansial datang dari eksternal, di mana beberapa bank sentral utama mengumumkan kenaikan suku bunga pada Kamis (15/12/2022).

Ada bank sentral AS (The Fed), Eropa (ECB), Inggris (BoE) dan Swiss (SNB) yang kompak menaikkan 50 basis poin.

The Fed tentunya menjadi yang paling berpengaruh. Sebagai bank sentral paling powerful di dunia, kebijakan moneter The Fed memicu volatilitas di pasar finansial.

The Fed memang menaikkan suku bunga lebih rendah dari sebelumnya yakni 75 basis poin 4 kali berturut-turut, tetapi memproyeksikan suku bunga ke depannya berada di kisaran 5% - 5,25% dan akan dipertahankan hingga 2024.

Artinya, higher for longer. Bank sentral lainnya pun sama, tetap berkomitmen menaikkan suku bunga sampai inflasi menurun.

Alhasil, ancaman dunia resesi tahun depan kian nyata dan semakin dekat. Sentimen pelaku pasar pun memburuk, Wall Street (bursa saham AS) pun terus merosot setelah pengumuman tersebut.

Sebagai kiblat bursa saham dunia, kemerosotan Wall Street tentunya menjadi indikasi memburuknya sentimen pelaku pasar.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Merosot 2 Pekan Beruntun

"Data inflasi yang kita lihat pada Oktober dan November menunjukkan penurunan kenaikan harga secara bulanan. Tetapi masih diperlukan bukti yang substansial agar yakin inflasi berada pada jalur penurunan," kata ketua The Fed, Jerome Powell dalam konferensi pers Kamis pekan lalu.

Pernyataan Powell tersebut mengindikasikan kampanye The Fed menurunkan inflasi masih jauh dari kata selesai, suku bunga meski sudah berada di level tertinggi dalam 15 tahun terakhir akan kembali dinaikkan dan ditahan pada level tinggi dalam waktu yang lama.

Alhasil, Wall Street rontok dua pekan beruntun.

Indeks S&P 500 merosot 2% dalam sepekan. Sepanjang Desember, S&P 500 jeblok 5,6%. Indeks Dow Jones dan Nasdaq juga turun 1,7% dan 2,7% dalam sepekan.

"Pada awal pekan kita memiliki harapan, melihat rilis data inflasi, kita akan berharap The Fed, dan beberapa bank sentral lainnya di dunia akan menjadi kurang hawkish, kata founder Bokeh Capital, Kim Forrest, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat pekan lalu.

Sebagai catatan, inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) Amerika Serikat sudah mengalami penurunan 5 bulan beruntun, pada November tumbuh 7,1% year-on-year (yoy). Angka itu turun jauh dari puncaknya 9,1% pada Juni lalu yang merupakan level tertinggi dalam lebih dari 40 tahun terakhir.

"Tetapi nyatanya tidak dan mereka dengan tegas memberikan pesan ke investor maupun konsumen jika bank sentral fokus untuk menurunkan inflasi secepatnya. Harapan jika perekonomian akan mengalami soft landing (pelambatan ekonomi yang tidak tajam) menjadi sirna," kata Forrest.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Isu resesi dunia tetap akan menjadi penggerak utama pasar finansial dalam negeri, dan IHSG tentunya masih akan tertekan.

Amerika Serikat dan Eropa diperkirakan akan mengalami resesi di kuartal I-2023 yang tentunya tinggal menghitung hari.

Median hasil survei dari Reuters menunjukkan kemungkinan resesi terjadi di zona euro sebesar 78%, naik dari survei Oktober lalu sebesar 70%.

Sementara itu ekonom Bank of America memprediksi Negeri Paman Sam akan mengalami resesi di juga di kuartal I-2023, saat PDB-nya mengalami kontraksi 0,4%.

"Kabar buruknya di 2023, proses pengetatan moneter akan menunjukkan dampaknya ke ekonomi," kata ekonom Bank of America, Savita Subramanian, sebagaimana dilansir Business Insider, akhir November lalu.

Sementara itu investor ternama, Michael Burry, memprediksi Amerika Serikat akan mengalami resesi selama beberapa tahun.

"Strategi apa yang bisa mengeluarkan kita dari resesi? Kekuatan apa yang bisa membawa kita keluar? Tidak ada. Kita akan mengalami resesi bertahun-tahun," kata Burry dalam cuitannya di Twitter, sebagaimana dilansir Business Insider.

Tanda-tanda resesi akan terjadi pun sudah terlihat dari PHK yang dilakukan beberapa perusahaan besar di Amerika Serikat. Raksasa teknologi seperti Meta, Microsoft, Twitter hingga Amazon sudah melakukan PHK.

Bahkan, PHK yang terjadi tahun ini lebih parah ketimbang krisis finansial global 2008-2009, berdasarkan data dari perusahaan Challenger, Gray & Christmas yang dikutip Business Insider India.

Pada 2008, PHK di sektor teknologi AS mencapai 65.000 orang, di 2009 angkanya juga kurang lebih sama. Sementara sepanjang tahun ini sudah ada PHK lebih dari 150.000 orang di sektor teknologi AS.

PHK tersebut, tidak hanya di sektor teknologi, diperkirakan masih akan berlanjut di awal 2023. Terbukti, raksasa finansial AS, Goldman Sachs berencana memangkas 8% karyawannya pada Januari 2023.

CNBC Internasional yang mengutip sumber terkait melaporkan PHK akan terjadi dilakukan di semua divisi.

Perusahaan-perusahaan lain pun diperkirakan akan menyusul.

"Banyak perusahaan harus kembali menyesuaikan organisasi mereka, tidak hanya Goldman. Perusahaan merekrut terlalu banyak karyawan, dan sekarang mereka mem-PHK dengan jumlah yang banyak juga," kata Mike Karp, CEO Option Group, sebagaimana dilansir CNBC International, Minggu (18/12/2022)

Resesi dan PHK tersebut membuat sentimen pelaku pasar memburuk, tidak hanya IHSG, rupiah dan SBN juga berisiko tertekan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> PHK Juga Melanda Tanah Air

PHK juga melanda Indonesia, pelambatan ekonomi hingga resesi dunia membuat perusahaan-perusahaan yang berorientasi ekspor menjadi rentan menyusut. Begitu juga dengan era suku bunga tinggi yang menekan sektor teknologi hingga startup.

"Sektor yang paling berdampak itu manufaktur, kedua mungkin di startup tapi sektor teknologi, informasi dan komunikasi yang perusahaannya masih di level startup," ungkapnya dalam Indef School of Political Economy Jurnalisme Ekonomi, Selasa (14/12/2022).

Ekspansi sektor manufaktur yang mulai melambat menjadi indikasi peningkatan risiko PHK massal.

S&P Global awal bulan ini melaporkan aktivitas sektor manufaktur yang dilihat dari purchasing managers' index (PMI) mengalami pelambatan ekspansi yang cukup tajam. Pada November, PMI manufaktur dilaporkan sebesar 50,3, turun dari bulan sebelumnya 51.8.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atas 50 adalah ekspansi. Ketika kontraksi terjadi, maka PHK massal berisiko semakin meluas.

S&P Global melaporkan penyebab penurunan tersebut terjadi akibat rendahnya demand, yang menjadi indikasi pelambatan ekonomi global, bahkan menuju resesi di tahun depan.

Akibat rendahnya demand, output juga rendah, dan tingkat perekrutan karyawan mulai melambat. Satu lagi indikasi PHK massal berisiko meluas.

"Keyakinan bisnis secara keseluruhan menurun pada November, menunjukkan sektor manufaktur berisiko mengalami kontraksi kecuali ada peningkatan demand yang signifikan," kata Jingyi Pan, economic associate director di S&P Global Market Intelligence.

Sementara itu Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengungkapkan, kini sudah ada lebih 100 ribu buruh tekstil yang terkena pemangkasan oleh perusahaan. Angka itu, ujarnya, bisa lebih besar lagi jika memperhitungkan tenaga penjahit industri kecil dan skala mikro.

"Kalau kondisi ini tidak segera diantisipasi pemerintah, bisa sampai 500 ribu orang di kuartal pertama tahun 2023 yang kena pengurangan. Tapi pemerintah nggak percaya," kata Redma kepada CNBC Indonesia dikutip Rabu (14/12/2022).


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

1. Iklim bisnis Jerman (16:00 WIB)
2. Penanaman modal asing China (tentative)

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

Cash deviden cum date: XAFA, BYAN
Cash deviden ex date: TSPC
Cash deviden rocording date: DOID
Public expose: PNIN, PNLF, DGIK, PBRX, UFOE, BTEL
RUPS: MDRN, JAWA, ARTA, BRAM, CCSI

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2022 YoY)

5,72%

Inflasi (November 2022 YoY)

5,42%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (November 2022)

5,25%

Surplus Anggaran (APBN 2022)

3,92% PDB

Surplus Transaksi Berjalan (Q3-2022 YoY)

1,3% PDB

Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q3-2022 YoY)

US$ 1,3 miliar

Cadangan Devisa (November 2022)

US$ 134 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular