
Inflasi di Amerika Turun, Tapi Bahaya Bagi RI Masih Besar!

Meski Fed berpotensi akan mengendurkan laju kenaikan suku bunga acuannya, tapi potensi resesi masih membayangi.
Negeri Paman Sam merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Seperti diketahui, PDB Amerika Serikat menyumbang 25% dari ekonomi dunia.
Amerika Serikat pun memimpin posisi ekonomi tertinggi sejak tahun 1960, bahkan jauh sebelum perang dunia I dan II. Atas dasar itu, Amerika Serikat dikenal sebagai negara adidaya ekonomi.
Dengan demikian, jika negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini tertekan, maka akan bisa dipastikan mengganggu perekonomian global.
Beberapa waktu yang lalu, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati sempat memperingatkan bahwa jika AS mengalami resesi, tentu Tanah Air juga akan merasakan dampaknya.
Awalnya dampak akan dirasakan melalui pasar keuangan, antara lain munculnya capital outflow, sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah dan saham.
Selanjutnya dampak akan berlanjut ke sektor rill, khususnya ekspor. Diketahui AS adalah mitra dagang utama Indonesia. Sehingga ketika ekonominya melambat, maka permintaan akan negeri paman Sam tersebut akan berkurang.
"Ekspor yang selama ini mencapai surplus juga tidak boleh dianggap terus menerus terjadi," jelasnya.
Melansir data Kementerian Perdagangan, AS merupakan mitra dagang terbesar kedua untuk ekspor non-migas setelah Tiongkok, dengan nominal senilai US$ 24,04 miliar atau setara dengan Rp 376,34 triliun (asumsi kurs Rp 15.655/US$) untuk periode perdagangan Januari-Oktober 2022.
![]() Kemendag |
Dari sisi investasi, AS juga memegang peranan penting dalam penanaman modal asing senilai US$ 1,4 miliar atau setara dengan Rp 21,5 triliun pada semester pertama tahun ini. Dengan nominal tersebut, menempatkan AS berada di peringat kelima dengan investasi terbesar di RI.
Namun, mantan keuangan M.Chatib Basri masih optimis bahwa ekonomi Indonesia tidak akan terperosok hingga membukukan pertumbuhan negatif. Dia meyakini bahwa PDB RI masih akan tetap tumbuh, meski melambat.
"Jadi, misalnya konsumsi growth-nya 5 koma sekian jadi 4 koma. Itu mirip waktu sama tapering-lah," ujar Chatib dalam dialog bersama CNBC Indonesia, dikutip Senin (10/10/2022).
"Waktu taper tantrum kita masih bisa tumbuh 5,8% lho, turun dari 6,5%. Jadi, akan ada slowdown," tambahnya.
Dengan demikian, Chatib percaya ekonomi Indonesia tidak akan sampai krisis ataupun resesi.
"Trennya itu slowdown. Kalau orang beranggapan ada ekonom kita akan krisis, saya mungkin gak beranggapan akan begitu. Tapi slowdown akan iya," tegasnya.