CNBC Indonesia Research

Inflasi di Amerika Turun, Tapi Bahaya Bagi RI Masih Besar!

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
14 December 2022 16:35
Rangkaian bendera Amerika Serikat dipasang di Washington D.C., menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joe Biden dan Kamala Harris. (AP/Alex Brandon)
Foto: Rangkaian bendera Amerika Serikat dipasang di Washington D.C., menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joe Biden dan Kamala Harris. (AP/Alex Brandon)

Jakarta, CNBC Indonesia - Angka inflasi Amerika Serikat (AS) kembali melandai, tapi potensi resesi masih menghantui. Dampaknya pun bisa berimbas pada perekonomian Tanah Air.

Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat (AS) semalam telah merilis angka inflasi yang diukur dari Indeks Harga Konsumen (IHK) per November 2022 yang berada di 7,1% secara tahunan (yoy). Melandai dari bulan sebelumnya di 7,7% yoy. Hasil itu sekaligus menandai penurunan inflasi selama 5 bulan berturut-turut.

Angka inflasi tersebut juga berada di bawah konsensus analis Reuters dan Trading Economics yang memprediksikan angka inflasi akan berada di 7,3% secara tahunan.

Rilis data tersebut kian memperkuat bahwa inflasi AS telah mencapai puncaknya pada Mei 2022 silam di 9,1%. Setelahnya, angka inflasi pun kian melandai seiring dengan keagresifan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga acuannya.

Bahkan di sepanjang tahun ini, The Fed tercatat telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 375 bps dan mengirim tingkat suku bunga The Fed berada di 3,75%-4%.

Di sepanjang tahun ini, Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 bps sebanyak empat kali berturut-turut tahun ini, mendorong biaya pinjaman ke level tertinggi baru sejak 2008. Keagresifan The Fed dalam menaikkan suku bunga acuannya tentu beralasan, guna membawa angka inflasi turun ke target Fed di 2%.

Namun, dalam rilis risalah rapat kebijakan moneter edisi November 2022, para pejabat The Fed sepakat untuk segera mengendurkan laju kenaikan suku bunga.

"Mayoritas partisipan menilai pelambatan laju kenaikan suku bunga akan tepat jika segera dilakukan," tulis risalah tersebut, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (24/11/2022).

Para pejabat Fed akan memperhitungkan pengetatan kumulatif kebijakan moneter, kelambatan yang mempengaruhi kebijakan moneter terhadap aktivitas ekonomi dan inflasi, serta perkembangan ekonomi dan keuangan.

Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa Fed tampaknya akan mulai memperlambat laju kenaikan suku bunga pada bulan ini. Ditambah, angka inflasi AS yang dirilis tadi malam kian meningkatkan peluang Fed akan mulai mengendurkan kebijakan moneternya.

Pada 13-14 Desember 2022, The Fed dijadwalkan akan menggelar pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal atau dikenal dengan FOMC untuk membahas kebijakan moneter terbarunya.

Mengacu pada CME Group, sebanyak 83% analis memprediksikan bahwa Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 50 bps. Lebih rendah dari kenaikan sebelumnya.

Meski, Fed diprediksi akan memperlambat laju kenaikannya, tapi resesi diprediksikan masih dapat terjadi.

Salah satunya David Rubenstein yang merupakan miliarder asal Amerika dan mantan pejabat Gedung Putih. Menurutnya angka inflasi tersebut masih tinggi dan ia memprediksikan bahwa inflasi tidak akan turun secara berarti sebelum angka pengangguran naik secara signifikan.

"Sampai kita mendapatkan angka pengangguran menjadi sekitar 6%, kita tidak akan menurunkan inflasi secara berarti," tuturnya dikutip Market Insiders.

Seperti diketahui, pasar tenaga kerja AS masih kuat meski Fed telah sangat agresif menaikkan suku bunga acuannya. Pada November 2022, angka lowongan pekerjaan mencapai 263.000 pekerjaan baru, lebih tinggi dari ekspektasi pasar yakni 200.000. Sementara, angka pengangguran tetap berada di 3,7%.

Masih ketatnya pasar tenaga kerja AS akan membuat angka inflasi menjadi sulit diturunkan. Pasalnya, ketika angka lowongan pekerjaan lebih banyak daripada orang yang menganggur, maka perusahaan akan menaikkan upah untuk menarik potensial karyawan. Ketika upah tinggi, tentu akan membuat masyarakat akan terus konsumtif. Akibatnya, angka inflasi akan sulit melandai.

Kepala Eksekutif JPMorgan Jamie Dimon mengatakan bahwa inflasi yang tinggi akan menggerogoti daya konsumsi masyarakat.

Menurutnya, konsumen AS telah berhemat lebih dari US$ 1,5 triliun berkat program stimulus pemerintah saat pandemi dan kemungkinan akan habis pada 2023 karena angka inflasi yang tinggi menggerus tabungannya.

US Economic Analysis

Dimon memprediksikan bahwa Fed akan mulai menghentikan pengetatan kebijakan moneternya pada 3-6 bulan setelah suku bunga acuan berada di 5%. Tentunya, ketika suku bunga dinaikkan terlalu tinggi, akan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

"Hal-hal itu mungkin sangat menggagalkan ekonomi dan menyebabkan resesi ringan hingga berat yang dikhawatirkan orang," tuturnya.

Jika AS Resesi, apa dampaknya bagi perekonomian Tanah Air?>>>>

Meski Fed berpotensi akan mengendurkan laju kenaikan suku bunga acuannya, tapi potensi resesi masih membayangi.

Negeri Paman Sam merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Seperti diketahui, PDB Amerika Serikat menyumbang 25% dari ekonomi dunia.

Amerika Serikat pun memimpin posisi ekonomi tertinggi sejak tahun 1960, bahkan jauh sebelum perang dunia I dan II. Atas dasar itu, Amerika Serikat dikenal sebagai negara adidaya ekonomi.

Dengan demikian, jika negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini tertekan, maka akan bisa dipastikan mengganggu perekonomian global.

Beberapa waktu yang lalu, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati sempat memperingatkan bahwa jika AS mengalami resesi, tentu Tanah Air juga akan merasakan dampaknya.

Awalnya dampak akan dirasakan melalui pasar keuangan, antara lain munculnya capital outflow, sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah dan saham.

Selanjutnya dampak akan berlanjut ke sektor rill, khususnya ekspor. Diketahui AS adalah mitra dagang utama Indonesia. Sehingga ketika ekonominya melambat, maka permintaan akan negeri paman Sam tersebut akan berkurang.

"Ekspor yang selama ini mencapai surplus juga tidak boleh dianggap terus menerus terjadi," jelasnya.

Melansir data Kementerian Perdagangan, AS merupakan mitra dagang terbesar kedua untuk ekspor non-migas setelah Tiongkok, dengan nominal senilai US$ 24,04 miliar atau setara dengan Rp 376,34 triliun (asumsi kurs Rp 15.655/US$) untuk periode perdagangan Januari-Oktober 2022.

KemendagFoto: Kemendag
Kemendag

Dari sisi investasi, AS juga memegang peranan penting dalam penanaman modal asing senilai US$ 1,4 miliar atau setara dengan Rp 21,5 triliun pada semester pertama tahun ini. Dengan nominal tersebut, menempatkan AS berada di peringat kelima dengan investasi terbesar di RI.

Namun, mantan keuangan M.Chatib Basri masih optimis bahwa ekonomi Indonesia tidak akan terperosok hingga membukukan pertumbuhan negatif. Dia meyakini bahwa PDB RI masih akan tetap tumbuh, meski melambat.

"Jadi, misalnya konsumsi growth-nya 5 koma sekian jadi 4 koma. Itu mirip waktu sama tapering-lah," ujar Chatib dalam dialog bersama CNBC Indonesia, dikutip Senin (10/10/2022).

"Waktu taper tantrum kita masih bisa tumbuh 5,8% lho, turun dari 6,5%. Jadi, akan ada slowdown," tambahnya.

Dengan demikian, Chatib percaya ekonomi Indonesia tidak akan sampai krisis ataupun resesi.

"Trennya itu slowdown. Kalau orang beranggapan ada ekonom kita akan krisis, saya mungkin gak beranggapan akan begitu. Tapi slowdown akan iya," tegasnya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular