Newsletter

Berita Baik di Amerika, Kabar Buruk Bagi Dunia! RI Siap?

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
02 December 2022 05:59
Rangkaian bendera Amerika Serikat dipasang di Washington D.C., menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joe Biden dan Kamala Harris. (AP/Alex Brandon)
Foto: Rangkaian bendera Amerika Serikat dipasang di Washington D.C., menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joe Biden dan Kamala Harris. (AP/Alex Brandon)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak beragam pada perdagangan Kamis (01/12/2022), ditandai dengan terkoreksinya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), sementara nilai tukar rupiah dan pasar obligasi ditutup sukses menguat.

Pada perdagangan Jumat (2/11/2022) pelaku pasar menanti rilis data tenaga kerja Amerika Serikat (AS). Yang menarik, jika pasar tenaga kerja AS membaik, maka akan menjadi kabar buruk bagi dunia, hal ini dan beberapa faktor yang menggerakkan pasar akan di bahas pada halaman 3. 

Sementara itu IHSG kemarin ditutup melemah 0.85% ke level 7020.80 di zona merah. Kurva pergerakan IHSG hari ini tak mampu bergerak ke wilayah positif dan bahkan hampir menyentuh level psikologis 7000. Pelemahan IHSG diiringi oleh penjualan bersih atau net sell investor asing total Rp 1,12 triliun di seluruh pasar.

Total volume perdagangan 35,41 miliar saham dengan nilai transaksi mencapai Rp 17,314 triliun.

IHSG terbebani oleh enam indeks sektoral, di mana pelemahan tertajam terjadi pada sektor teknologi dan sektor keuangan yang masing-masing anjlok 1,47%.

Dari sektor finansial khususnya perbankan, tercatat mayoritas saham bank BUKU 4 mengalami kemunduran. PT Bank Central Indonesia Tbk (BBCA) turun 3.23% menjadi saham yang berdampak besar terhadap pergerakan IHSG.Koreksi saham BBCA sepertinya terjadi karena investor mulai melakukan aksi ambil untung (profit taking).

Saham PT Bank Negara Indonesia Persero (BBNI) anjlok 2.02%. PT Bank Mandiri Persero (BMRI) turun sebesar 1.19% serta PT Bank Rakyat Indonesia Persero (BBRI) melemah 0.80%.

Dinamika IHSG tidak searah dengan pergerakan bursa saham Asia yang ditutup cerah. Indeks Nikkei 225 Jepang ditutup melesat 0,92% ke posisi 28.226,08, Hang Seng Hong Kong menguat 0,75% ke 18.736,44, Shanghai Composite China bertambah 0,45% ke 3.165,47, Straits Times Singapura naik tipis 0,07% ke 3.292,73, ASX 200 Australia melonjak 0,96% ke 7.354,4, dan KOSPI Korea Selatan terapresiasi 0,3% menjadi 2.479,84.

Berbeda halnya dengan IHSG, nilai tukar rupiah justru berhasil menguat terhadap dolar AS kemarin, dengan begitu Mata Uang Garuda telah terapresiasi selama dua hari beruntun.

Sepanjang perdagangan, Mata Uang Garuda tidak pernah mengalami pelemahan, bahkan sempat menguat hingga 1,24% ke Rp 15.535/US$. Di penutupan perdagangan posisi rupiah sedikit terpangkas, berada di Rp 15.560/US$, menguat 1,08% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Penguatan rupiah terjadi seiring dengan diburunya Surat Berharga Negara (SBN) yang ditandai dengan turunnya imbal hasil (yield) di seluruh tenor SBN acuan.

Melansir data dari Refinitiv, SBN tenor 5 tahun kembali menjadi yang paling besar penurunannya pada hari ini yakni merosot 20,2 basis poin (bp) ke posisi 6,116%.

Sedangkan, SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) menjadi yang paling rendah penurunannya pada hari ini, yakni turun 3,7 bp menjadi 6,872%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Sentimen yang datang dari dalam negeri, salah satunya rilis data inflasi per November 2022 yang melandai.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka inflasi per November 2022, melandai ke 5,42% secara tahunan (yoy) ketimbang bulan sebelumnya di 5,71%.

Secara tahun kalender inflasi mencapai 4,82% dan dibandingkan dengan bulan sebelumnya 0,09%. Pendorong terjadinya inflasi adalah bahan bakar minyak (BBM), transportasi dan pangan.

"Komoditas penyumbang inflasi tertinggi ada seperti bensin, BBM, tarif angkutan udara, rokok, beras, telur ayam ras, tarif angkutan dalam kota," ungkap Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa (Disjas) BPS, Setianto dalam konferensi pers, Kamis (1/11/2022).

Sementara itu, inflasi inti diperkirakan merangkak naik menjadi 3,45% pada November (yoy) dibandingkan 3,31% pada Oktober.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi memperkirakan inflasi November akan menembus 0,20% dibandingkan bulan sebelumnya (mtm).

Kondisi ini berbanding terbalik dengan catatan pada bulan lalu di mana Indonesia mencatatkan deflasi sebesar 0,11%.

Hasil polling juga memperkirakan inflasi secara tahunan (yoy) akan menembus 5,54% pada bulan ini.

Namun, S&P Global pagi ini melaporkan aktivitas sektor manufaktur yang dilihat dari purchasing managers' index (PMI) mengalami pelambatan ekspansi yang cukup tajam. Pada November, PMI manufaktur dilaporkan sebesar 50,3, turun dari bulan sebelumnya 51.8.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atas 50 adalah ekspansi. Ketika kontraksi terjadi, maka pemutusan hubungan kerja (PHK) massal berisiko semakin meluas.

S&P Global melaporkan penyebab penurunan tersebut terjadi akibat rendahnya demand, yang menjadi indikasi pelambatan ekonomi global, bahkan menuju resesi di tahun depan.

Akibat rendahnya demand, output juga rendah, dan tingkat perekrutan karyawan mulai melambat. Satu lagi indikasi PHK massal berisiko meluas.

"Keyakinan bisnis secara keseluruhan menurun pada November, menunjukkan sektor manufaktur berisiko mengalami kontraksi kecuali ada peningkatan demand yang signifikan," kata Jingyi Pan, economic associate director di S&P Global Market Intelligence.

Selain itu, sentimen global juga ditopang oleh pidato Ketua Fed Jerome Powell yang mengindikasikan bahwa Fed akan mulai menurunkan besaran kenaikan suku bunga acuan pada 13-14 Desember 2022.

"Dengan demikian, masuk akal untuk memoderasi laju kenaikan suku bunga kami saat kami mendekati tingkat pengekangan yang cukup untuk menurunkan inflasi. Waktu untuk memoderasi laju kenaikan suku bunga mungkin akan datang segera setelah pertemuan Desember" tuturnya dikutip CNBC International.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Tertekan Jelang Rilis Data Tenaga Kerja AS

Aksi jual saham di bursa saham AS terjadi kemarin, di mana investor menunggu rilis data pekerjaan yang dijadwalkan hari ini

Indeks Dow Jones ditutup turun 0,56% ke 34.395 dan S&P 500 jatuh 0,09% ke 4.076,57. Sementara Nasdaq naik 0,13% ke 11.482,45.

"Tampaknya lebih teknis dan terlihat seperti dorongan besar kemarin," tutur Direktur Pelaksana Strategi Investasi dan Penelitian di Aspiriant David Grecsek dikutip CNBC International.

Saham Salesforce anjlok sekitar 8,3% turut membebani indeks Dow Jones, setelah perusahaan perangkat lunak tersebut mengatakan bahwa co-CEO nya akan segera mengundurkan diri. Indeks turun sebanyak 460 poin di awal sesi, berbalik dari kenaikan lebih dari 700 poin pada perdagangan Rabu (30/11). Setelah Ketua Fed Jerome Powell mengkonfirmasi akan memperlambat jalur pengetatannya.

Saham Costco turun sekitar 6,6% setelah penjualan November melambat menjadi 5,7% dari kenaikan 7,7% pada Oktober, pertanda buruk selama puncak musim penjualan liburan. Pengecer grosir juga melaporkan penurunan penjualan e-commerce sebesar 10,1% selama periode tersebut.

Investor masih menantikan rilis data pekerjaan non-pertanian, tingkat pengangguran dan upah per jam yang dijadwalkan dirilis pada Jumat (2/12) untuk mengetahui situasi pasar tenaga kerja. Ekonom yang disurvei Dow Jones memperkirakan akan ada sebanyak 200.000 pekerjaan pada November 2022, turun dari bulan sebelumnya di 261.000 pekerjaan.

HALAMAN SELANJUTNYA>>> Data Tenaga Kerja AS Jadi Fokus, IHSG Siaga!

Bursa acuan dunia yakni Wall Street telah berakhir di zona merah kemarin menjelang rilis data tenaga kerja AS, yang kerap dijadikan data masukan Fed sebelum memutuskan kebijakan moneternya.

Terkoreksinya Wall Street dapat menjadi katalis negatif untuk laju bursa saham global, sebab biasanya akan ada efek domino, sehingga investor harus lebih waspada pada perdagangan hari ini. Ditambah, pada hari Jumat biasanya menjadi hari untuk aksi profit taking.

Rilis data ekonomi dari dalam negeri pada hari ini cukup sepi, sehingga investor patut mencermati berbagai sentimen penggerak pasar dari luar negeri.

Dari Negeri Paman Sam, investor global akan disuguhkan dengan rilis angka pengangguran AS per November 2022. Rilis data ekonomi tersebut akan menjadi salah satu data masukkan untuk Fed sebelum memutuskan kebijakan moneter selanjutnya pada 13-14 Desember 2022.

Konsensus analis Trading Economics memprediksikan angka pengangguran masih akan bertahan pada 3,7%, posisi yang sama pada bulan sebelumnya.

Sebagai informasi, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan angka pengangguran pada Oktober 2022 berada di 3,7%, naik dari bulan September 2022 di 3,5%. Level tersebut menyamai angka Agustus (3,7%) dan menjadi yang tertinggi sejak Februari 2022 (3,8%).

Angka pengangguran Oktober juga di atas ekspektasi pasar yang hanya memperkirakan 3,6%.

Jumlah lapangan kerja baru juga menurun drastis. Pada Oktober 2022, penambahan jumlah tenaga kerja hanya mencapai 261.000. Jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan yang tercatat pada September yakni 315.000.

Penambahan tenaga kerja pada Oktober juga menjadi yang terendah sejak Desember 2020 atau dalam 22 bulan terakhir.

Ian Shepherdson, ekonom Pantheon Macroeconomics,mengatakan meningkatnya pengangguran di AS akan menjadi pertimbangan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) dalam menaikkan suku bunga ke depan.

"Data tenaga kerja memang belum menurun ke level yang mengkhawatirkan. Namun, jika tren ini berlanjut maka ini akan menjadi alasan pelaku pasar untuk menekan The Fed untuk memikirkan kembali mengenai kebijakan ketat mereka," tutur Shepherdson, dikutip dari CNN.

Jika angka pengangguran stagnan, kemungkinan dampak terhadap pergerakan bursa saham tidak terlalu signifikan. Namun, jika angka pengangguran turun, maka akan menjadi sentimen negatif. Meskipun, hal tersebut merupakan berita baik.

Pada situasi saat ini, berita baik pada data ekonomi AS akan menjadi berita buruk karena mencerminkan bahwa pasar tenaga masih ketat, sehingga meningkatkan potensi Fed untuk kembali agresif untuk meredam inflasi.

Pasar tenaga kerja yang ketat karena angka lowongan kerja lebih banyak dari angka pengangguran akan membuat para pelaku bisnis untuk menaikkan upah guna mendapatkan calon karyawan yang potensial. Sehingga, masyarakat akan tetap konsumtif, di tengah angka inflasi yang tinggi.

Padahal, Fed sudah bertindak agresif dengan menaikkan suku bunga hingga 375 bps di sepanjang tahun ini untuk memperlambat konsumsi. Pasar tenaga kerja yang ketat akan membuat angka inflasi sulit melandai. Bahkan, dapat menahan inflasi bertahan di posisi yang tinggi untuk waktu yang lama.

Meskipun, pada perdagangan kemarin, Ketua Fed Jerome Powell telah mengindikasikan adanya perlambatan pada kenaikan suku bunga acuan pada bulan ini.

"Masuk akal untuk memoderasi laju kenaikan suku bunga kami saat kami mendekati tingkat pengekangan yang cukup untuk menurunkan inflasi. Waktu untuk memoderasi laju kenaikan suku bunga mungkin akan datang segera setelah pertemuan Desember" tuturnya dikutip CNBC International.

Namun, Powell memperingatkan bahwa The Fed kemungkinan tetap memberlakukan kebijakan yang restriktif untuk waktu yang lama sebelum mengakhiri perang inflasi.

"Meskipun ada beberapa perkembangan yang menjanjikan, jalan kita masih panjang untuk memulihkan stabilitas harga," tambahnya.

Selain itu, Departemen Ketenagakerjaan AS juga akan merilis data lapangan kerja non-pertanian (non-farm payroll/NFP) pada November 2022. Konsensus pasar yang dihimpun Trading Economics memprediksikan bahwa angka NFP akan melandai menjadi 200.000 pekerjaan dari bulan sebelumnya di 261.000 pekerjaan.

Senada, konsensus analis yang dihimpun Dow Jones memprediksikan pasar tenaga kerja AS pada November akan menunjukkan perlambatan sedikit, tercermin dari fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) pada perusahaan besar.

Jumlah lapangan kerja baru diprediksikan akan bertambah 200.000 pekerjaan, melandai dari bulan sebelumnya di 261.000 pekerjaan. Data pengangguran juga diprediksikan masih akan berada di 3,7% dengan rata-rata pertumbuhan upah naik 0,3% secara bulanan, melandai dari bulan sebelumnya di 0,4%.

Perusahaan ternama seperti Meta, induk Facebook dan HP beberapa waktu lalu telah menghebohkan publik dengan melakukan perampingan karyawan. Disusul oleh Alphabet yang membukukan perekrutan karyawan baru. Namun, para ekonom menilai fenomena tersebut masih belum mempengaruhi data tenaga kerja secara signifikan.

"Permintaan yang terpendam dalam ekonomi AS terus menyalurkan beberapa pekerja tersebut ke bidang ekonomi lainnya," tutur Kepala Penelitian Ekonomi Makro di AXA Investment Managers David Page.

"Akibatnya, pertumbuhan lapangan kerja secara keseluruhan telah solid. Ritel seharusnya baik-baik saja, tapi saya pikir ada pertanyaan besar tentang bagaimana kinerja ritel setelah masa liburan," tambahnya.

HALAMAN SELANJUTNYA>>> Data Ekonomi dan Korporasi

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Pidato Ketua bank central Eropa (ECB) (09:40 WIB)
  • Indeks Harga Produsen (IHP) Eropa per November 2022 (17:00 WIB)
  • Data Pengangguran AS per November 2022 (20:30 WIB)
  • Upah Non-pertanian AS per November 2022 (20:30 WIB)
  • FAO Food Price Index November 2022

Berikut beberapa agenda korporasi:

  • Right Issue PT Bank Amar Indonesia Tbk (AMAR)
  • RUPSLB PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk (BEKS) (09:00 WIB)
  • RUPSLB PT Guna Timur Raya Tbk (TRUK) (11:00 WIB)
  • RUPSLB PT Adhi Commuter Properti Tbk (ADCP) (14:00 WIB)

Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q III-2022 YoY)

5,72%

Inflasi (November 2022 YoY)

5.42%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2022)

4,75%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022)

(3,92% PDB)

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q III-2022)

1,3% PDB

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q II-2022)

(US$ 1,3 miliar)

Cadangan Devisa (Oktober 2022)

US$ 130,2 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aaf/aaf) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular