Newsletter

Sah! The Fed Tak Lagi Agresif, Dunia Tak Jadi Resesi?

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
01 December 2022 05:53
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Margo Yuwono Saat Mengumumkan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan III-2022 dan Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2022.
Foto: Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Margo Yuwono Saat Mengumumkan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan III-2022 dan Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2022. (Tangkapan Layar via Youtube BPS)

Bursa saham acuan dunia, yakni Wall Street perlu dicermati oleh investor. Pasalnya, setelah melemah selama tiga hari beruntun, bursa saham AS akhirnya bangkit kemarin, setelah pidato Ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) Jerome Powell mengindikasikan kenaikan suku bunga acuan yang lebih kecil pada pertemuan selanjutnya.

Namun, Powell memperingatkan bahwa kebijakan moneter kemungkinan akan tetap ketat untuk beberapa waktu, sampai tanda-tanda kemajuan yang nyata muncul pada inflasi. Artinya, suku bunga tinggi akan dipertahankan dalam waktu yang lama, dan resesi masih tetap mengancam dunia. 

"Meskipun ada beberapa perkembangan yang menjanjikan, jalan kita masih panjang untuk memulihkan stabilitas harga," tutur Powell dalam sambutan yang disampaikan di Brookings Institution.

"Dengan demikian, masuk akal untuk memoderasi laju kenaikan suku bunga kami saat kami mendekati tingkat pengekangan yang cukup untuk menurunkan inflasi. Waktu untuk memoderasi laju kenaikan suku bunga mungkin akan datang segera setelah pertemuan Desember" tambahnya.

Berdasarkan data dari CME Group, sebanyak 74,7% peluang bahwa Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps pada pertemuan Desember, setelah empat kali menaikkan sebesar 75 bps dan menjadi kenaikan yang paling agresif sejak awal 1980-an. Posisi tersebut kian menurun dari prediksi sebelumnya.

CME Group
Foto: CME Group

Melesatnya bursa Wall Street menjadi angin segar pasar keuangan pekan ini dan biasanya memiliki efek domino terhadap bursa saham global, tidak terkecuali IHSG.

Sebelum memulai perdagangan hari ini, investor juga perlu mencermati sentimen penggerak pasar, di antaranya:

Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan akan merilis data inflasi per November 2022 pukul 11:00 WIB.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi memperkirakan inflasi November akan menembus 0,20% dibandingkan bulan sebelumnya (mtm).

Kondisi ini berbanding terbalik dengan catatan pada bulan lalu di mana Indonesia mencatatkan deflasi sebesar 0,11%.

Hasil polling juga memperkirakan inflasi secara tahunan (yoy) akan menembus 5,54% pada bulan ini. Inflasi lebih rendah dibandingkan pada Oktober yang tercatat 5,71%. Sementara itu, inflasi inti diperkirakan merangkak naik menjadi 3,45% pada November (yoy) dibandingkan 3,31% pada Oktober.

Kenaikan inflasi inti menjadi perhatian, sebab mencerminkan harga barang-barang yang sulit naik atau turun. Namun, kenaikan inflasi inti bisa memberikan tekanan bagi rupiah.

Polling CNBC juga sejalan dengan proyeksi Bank Indonesia (BI). Berdasarkan Survei Pemantauan Harga pada minggu IV November 2022, BI memperkirakan inflasi November menembus 0,18% (mtm).

Ekonom BNI Sekuritas Damhuri Nasution mengatakan inflasi November lebih didorong faktor musiman. Harga pangan mulai merangkak naik menjelang musim tanam serta persiapan Natal dan Tahun Baru.

Merujuk data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN), mayoritas harga pangan merangkak naik pada November. Rata-rata harga beras pada Selasa (29/11/2022) di banderol Rp 12.300 per kg. Harganya sudah naik 0,82% sebulan.

Harga beras menyentuh Rp 12.000/kg sejak 9 September 2022, level yang tidak pernah terjadi sejak April 2021 atau 17 bulan sebelumnya.

Kemudian, harga daging ayam naik 3,68% sebulan menjadi Rp 35.200 per kg pada Selasa pekan ini.

Harga telur ayam sudah melonjak 5,28% sebulan menjadi Rp 29.900 per kg dan harga minyak goreng menembus Rp 19.150 per kg. Harganya naik 0,52% sebulan.

Kenaikan harga pangan merupakan salah satu kekhawatiran besar Presiden Joko Widodo pada tahun ini. Pasalnya, harga kelompok bahan pangan melonjak sejak awal tahun hingga pertengahan tahun. Inflasi pada kelompok pangan bahkan menembus 2,51% (mtm) pada Juni 2022 atau yang tertinggi sejak Desember 2015.

Untuk menekan inflasi pangan, pemerintah kemudian mengeluarkan sejumlah kebijakan seperti memperbolehkan pemerintah daerah menggunakan APBD untuk operasi pasar.

Sementara, ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan inflasi tahunan pada November akan mencapai 5,50% dan pada Desember akan menyentuh 5,6%. Proyeksi tersebut jauh lebih rendah dibandingkan perkiraan awal yakni 6,27%.

"Kami memperkirakan inflasi (yoy) akan tetap bertahan di kisaran 5-6% hingga semester I-2023," ujarnya.

Selanjutnya, investor juga akan disuguhkan dengan berbagai data Purchasing Manufacturing Index (PMI) dari sejumlah negara, termasuk dari dalam negeri.

S&P Global akan merilis PMI Indonesia. Seperti diketahui, PMI Indonesia pada Oktober 2022, ekspansinya mulai melambat ke 51,8 dari 53,7 pada bulan sebelumnya. Menarik ditunggu apakah PMI akan kembali melambat pada November sebagai sinyal perlambatan penerimaan atau kembali melonjak.

Inflasi seandainya menurun, dibarengi dengan ekspansi PMI manufaktur, plus The Fed yang akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya tentunya menjadi angin segar, RI makin jauh dari resesi.

Selain itu, S&P Global juga akan merilis data PMI untuk benua Asia. Indeks PMI China akan menjadi sorotan utama. Caixin China General Manufacturing PMI sudah berada di bawah 50 atau fase non-ekspansif selama tiga bulan beruntun dari Agustus- Oktober 2022.

Indeks diperkirakan masih akan melambat karena melonjaknya kasus Covid-19 di China pada bulan ini. Perlambatan manufaktur China akan menjadi alarm bagi negara-negara yang menggantungkan ekspornya ke China, seperti Indonesia dan Korea Selatan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Data Ekonomi dan Korporasi

(aaf/aaf)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular