
China Effect Bikin Wall Street Ambruk, IHSG Ekstra Siaga!

Ambruknya bursa Wall Street pada penutupan perdagangan Senin (28/11/2022), perlu dicermati oleh pelaku pasar. Ketiga indeks utama berakhir di zona merah. Terkoreksinya bursa acuan dunia dikhawatirkan akan menular ke bursa saham global, tidak terkecuali pasar ekuitas di Indonesia.
Selain itu, investor perlu mencermati beberapa sentimen penggerak pasar lainnya dari dalam negeri dan luar negeri.
Pertama, rilis kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) pada 2023, yang telah dirilis oleh masing-masing provinsi.
Perhitungan UMP 2023 yang sedianya menggunakan PP Nomor 36 Tahun 2021 sesuai UU Cipta Kerja diganti dengan Permenaker No 18/2022. Berdasarkan formula baru, telah ditetapkan kenaikan maksimal 10% dengan perhitungan mencakup variabel inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan variabel α (alfa).
Dengan alfa yang ditetapkan bervariasi oleh masing-masing provinsi, besaran kenaikan UMP juga beragam antara 5-9%.
Kepala Disnakertrans provinsi DKI Jakarta Andri Yansyah mengungkapkan kenaikan UMP 2023 DKI Jakarta sebesar 5,6% ke Rp 4.901.798.
Sementara, Gubernur Banten Al Muktabar menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) Banten Tahun 2023 sebesar Rp2.661.280,11. Naik 6,4% dibandingkan UMP tahun 2022 yang sebesar Rp 2.501.203,11
Sedangkan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memutuskan, UMP tahun 2023 sebesar Rp.1.958.169,69. Naik 8,01% dibandingkan UMP tahun 2022 sebesar Rp 1.812.935.
Untuk sementara, Sumatera Barat menetapkan kenaikan UMP 2023 terbesar yakni 9,15%. Angka itu mendekati batas maksimal kenaikan yang ditetapkan Menaker Ida Fauziyah, yaitu 10%.
Sejatinya, kenaikan UMP tersebut sebagai langkah pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah potensi kenaikan angka inflasi.
Bank Indonesia (BI) memproyeksikan inflasi di tahun ini akan berada di bawah 6%.
"Consensus Forecast bulan November 2022 menunjukkan ekspektasi inflasi pada akhir 2022 masih tinggi yaitu 5,9% (year-on-year/yoy) meskipun lebih rendah dari bulan sebelumnya 6,7% (yoy)," jelas Gubernur BI Perry Warjiyo, saat mengumumkan kenaikan suku bunga Kamis (17/11/2022).
Tentu, sentimen tersebut dapat menjadi katalis positif sebab jika daya beli masyarakat terjaga, maka pertumbuhan ekonomi Tanah Air pun akan terus tumbuh di tengah inflasi yang tinggi. Seperti diketahui, konsumsi masyarakat berkontribusi sebesar 50% terhadap PDB Indonesia.
Namun, jika (amit-amit) inflasi lebih tinggi daripada kenaikan UMP, maka daya beli masyarakat dapat tergerus.
Kedua, sentimen yang perlu diamati yakni terkait aksi protes besar-besaran di China terkait kebijakan zero Covid.
Awal mula, terjadinya kebakaran yang mematikan pada Kamis pekan lalu di Urumqi yang menewaskan 10 orang. Sehingga banyak warga yang menyalahkan penguncian Covid-19 karena telah menghambat upaya penyelamatan meski pihak berwenang menyangkal klaim tersebut.
Kemudian, hal tersebut memicu aksi protes yang mulai digelar pada Minggu (27/11/2022), di mana ratusan orang turun ke jalan-jalan di kota-kota besar negara Panda tersebut. Bahkan, Wall Street Journal pun melaporkan bahwa para pendemo juga menuntut Sang Penguasa, Xi Jinping turun.
Strategi China menekan kasus Covid-19 saat ini memicu frustrasi publik. AFP menulis, bagaimana banyak warga lelah dengan penguncian cepat, karantina yang lama, dan kampanye pengujian massal.
Dari jalan-jalan di beberapa kota China hingga lusinan kampus universitas, pengunjuk rasa menunjukkan ketidaktaatan sipil yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak pemimpin Xi Jinping mengambil alih kekuasaan satu dekade lalu.
Kondisi pandemi Covid-19 yang kembali mengkhawatirkan membuat pemerintah China terus memberlakukan kebijakanZero Covid. Per Sabtu lalu, China melaporkan 39.791 infeksi Covid-19 baru, di mana 3.709 di antaranya bergejala dan 36.082 tidak menunjukkan gejala.
Rekor tersebut bahkan belum termasuk angka infeksi impor, dimana China melaporkan 39.506 kasus lokal baru, 3.648 di antaranya bergejala dan 35.858 tidak bergejala, naik dari 34.909 sehari sebelumnya.
Aksi tersebut memicu kekhawatiran bahwa ketegangan akan berdampak kepada ekonomi China. Maklum saja, China merupakan mesin utama pertumbuhan ekonomi dunia dengan kontribusi mencapai 18,6% terhadap produk domestik bruto (PDB) global pada 2021 yang sebesar USD 96,3 triliun-mengalahkan Amerika Serikat.Ini membuat kesehatan ekonomi negeri Tirai Bambu itu menjadi penting bagi seluruh negara di dunia.
Dengan ukuranporsi PDB segitu, tak heran perlambatan ekonominya akan memperlambat perekonomian seluruh negara. Salah satunya, perlambatan ekonomi China akan memiliki dampak yang signifikan terhadap perekonomian partner dagang utama mereka yakni AS.
Potensi permintaan ekspor di AS akan melambat dan sebaliknya. Ini memukul permintaan industri utama AS seperti, pesawat terbang, otomotif, hingga makanan, sehingga dapat menjadikan defisit perdagangan AS semakin besar.
Selain sektor riil, perlambatan ekonomi China juga mempengaruhi pasar obligasi AS, dimana ini mengurangi peluang pemerintah AS untuk dapat menerbitkan utang baru. China adalah investor kedua terbesar pada surat utang pemerintah AS, dimana perlambatan ekonominya membuat kemampuan atau permintaan terhadap surat utang AS juga turun.
Dampak Pelambatan China dan AS ke Indonesia
Kombinasi perang Rusia dan Ukraina serta pandemi Covid-19 telah membuat perekonomian dua raksasa ekonomi dunia ini sakit. Ini menjadi masalah besar, bagi negara seperti Indonesia yang bergantung cukup erat dengan keduanya.
China adalah pasar ekspor utama Indonesia dengan nilai pada Oktober 2022 mencapai US$ 6,25 miliar atau setara dengan Rp 98,2 triliun (asumsi kurs Rp 15.720/US$) terhadap ekspor non migas. Sementara AS pasar ketiga dengan US$2 miliar atau setara dengan Rp 31,4 triliun. Perlambatan ekonomi China dan AS akan sangat berdampak kepada kinerja ekspor Indonesia, karena keduanya adalah sepertiga lebih pasar ekspor Indonesia.
Sementara itu kenaikan tingkat imbal hasil atau yield obligasi pemerintah AS juga akan menambah biaya bunga di Indonesia. Inikarena pasar obligasi dalam negeri selalu mengikuti pergerakan yield di sana, di mana semakin tinggi yield di AS maka semakin tinggi pula yield obligasi di Indonesia.
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan dia lebih khawatir dampak perlambatan China dari pada AS, mengingat besarnya keterkaitan ekonomi Indonesia dengan Negeri Tirai Bambu Ini.
Tetapi dengan fakta kedua negara ini mengalami masalah ekonomi dapat memperberat situasi ekonomi Indonesia.
(aaf/luc)