
Resesi Ada Jenisnya, Yang Paling Ngeri Bakal Terjadi di 2023?

Jika melihat kondisi global saat ini, yang akan terjadi di 2023 adalah supply-side shock recession. Inflasi tinggi yang melanda di berbagai negara diawali oleh tingginya harga energi.
Bank sentral di berbagai negara pun sangat agresif menaikkan suku bunga.
Bank sentral AS (The Fed) misalnya, sepanjang tahun ini kenaikannya sebesar 300 basis poin, menjadi 3% - 3,25% dan masih akan terus berlanjut.
Pada November nanti, bank sentral paling powerful di dunia ini diperkirakan akan menaikkan lagi sebesar 75 basis poin menjadi 3,75% - 4%. Tidak cukup sampai di situ, kenaikan masih akan terus dilakukan hingga awal tahun depan.
Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat suku bunga The Fed berada di level 4,75% - 5% pada Februari 2023.
Langkah agresif tersebut dilakukan guna menurunkan inflasi yang saat ini masih berada di dekat level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Jika inflasi tidak juga turun, maka stagflasi yang akan terjadi, dan ini lebih buruk ketimbang resesi.
Tidak seperti resesi yang sering terjadi, stagflasi cukup langka. Istilah stagflasi pertama kali muncul pada 1970an di Amerika Serikat (AS), dan belum lagi pernah terjadi.
Stagflasi merupakan periode pelambatan atau stagnannya perekonomian disertai dengan inflasi yang tinggi. Sementara resesi merupakan kontraksi pertumbuhan ekonomi setidaknya dalam dua kuartal beruntun.
Efek keduanya sama-sama buruk bagi perekonomian maupun masyarakat, tetapi stagflasi bisa lebih parah.
Ketika inflasi tinggi dan produk domestik bruto (PDB) melambat atau stagnan, maka perlahan-lahan kondisi ekonomi akan semakin memburuk atau 'mati pelan-pelan'.
Saat kondisi perekonomian memburuk, pemutusan hubungan kerja (PHK) akan terjadi secara masif, dan tingkat pengangguran akan meroket. Inflasi dan tingkat pengangguran yang tinggi bisa menjadi ciri khas dari stagflasi. Sebab, keduanya biasanya berkebalikan.
Ekonom Nouriel Roubini, atau yang dikenal dengan Dr. Doom, ketika sukses memprediksi krisis finansial 2008, kini memproyeksikan resesi akan menghantam Amerika Serikat di akhir 2022 sebelum menyebar secara global tahun depan.
"Ini tidak akan menjadi resesi yang singkat dan dangkal, ini akan menjadi resesi yang parah, panjang dan buruk," kata Roubini, sebagaimana dilansir Fortune, Rabu (21/9/2022).
Ia melihat kondisi ekonomi saat ini mirip dengan 2007/2008, dilihat dari tingginya utang negara dan korporasi. Menurut Roubini angka rasio jumlah utang swasta dan publik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) global yang telah melonjak dari 200% pada 1999 menjadi 350% tahun ini.
Artinya ada risiko resesi yang terjadi gabungan antara 1970an dan 2008, dan ini bisa sangat mengerikan.
Dalam artikel Majalah Time yang terbit Kamis (13/10/2022), Dr. Doom mengatakan dunia akan menuju kebangkrutan besar-besaran dan krisis finansial yang berlarut-larut.
(pap/pap)