China hingga Thamrin, Apa Kabar Pasar Keuangan RI Pekan Ini?
Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja pasar keuangan dalam negeri pada pekan lalu cenderung tidak menggembirakan, di mana pasar saham, pasar mata uang, dan pasar obligasi pemerintah RI terpantau melemah.
Di pasar saham atau Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), sepanjang pekan lalu tercatat ambles 3,02% secara point-to-point (ptp). IHSG telah terkoreksi dalam tiga pekan beruntun.
Pada perdagangan Jumat (14/10/2022) pekan lalu, IHSG ditutup merosot 0,96% ke posisi 6.814,53. IHSG kini berada di level psikologisnya di 6.800.
Mengutip data bursa, pada pekan lalu, investor asing tercatat melepas saham-saham di Tanah Air dengan catatan jual bersih (net sell) mencapai Rp 1,17 triliun di pasar reguler.
Sedangkan dari pasar mata uang dalam negeri, yakni rupiah, sepanjang pekan lalu terpantau ambles hingga lebih dari 1%, tepatnya ambles 1,15% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) secara point-to-point (ptp).
Pada perdagangan akhir pekan lalu, mata uang Garuda ditutup di Rp 15.425/US$. Melemah 0,42% dari posisi hari sebelumnya.
Sementara di pasar obligasi pemerintah RI atau surat berharga negara (SBN), imbal hasil (yield) SBN pada pekan lalu kompak menguat, menandakan bahwa investor cenderung melepasnya.
Mengacu pada data Refinitiv, SBN bertenor 5 tahun menjadi yang paling tinggi kenaikan yield-nya pada pekan lalu. Yield SBN tenor 5 tahun menguat 33,1 basis poin (bp) ke 7,21% per akhir pekan lalu, dari akhir pekan sebelumnya di 6,789%.
Sedangkan, SBN tenor 30 tahun menjadi yang paling rendah kenaikan yield-nya sepanjang pekan lalu, yakni naik 2,7 bp ke posisi 7,346%, dari sebelumnya di 7,319%.
Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan obligasi acuan negara menanjak 26,4 bp ke posisi 7,546%, dari sebelumnya pada perdagangan Jumat dua pekan sebelumnya di 7,282%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Kinerja pasar keuangan RI pada pekan lalu yang tidak memuaskan dipicu oleh kekhawatiran pelaku pasar terhadap potensi resesi global karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) diprediksikan akan kembali hawkish untuk menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan selanjutnya untuk meredam inflasi.
Mengacu pada FedWatch, sebanyak 97,2% para pelaku pasar memproyeksikan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bp) dan membawa tingkat suku bunga Fed ke kisaran 3,75%-4%.
Hal tersebut terjadi setelah rilis data inflasi AS pada September 2022 yang menunjukkan bahwa inflasi masih berada di posisi yang tinggi dan belum melandai dengan cepat.
Biro Statistik Tenaga Kerja AS melaporkan IHK utama AS mencapai ke 8,2% (year-on-year/yoy) pada September lalu.
Laju inflasi memang lebih rendah dibandingkan pada Agustus yang tercatat 8,3% (yoy) tetapi masih di atas ekspektasi pasar yakni 8,1% (yoy).
Secara bulanan (month-to-month/mtm), inflasi tercatat 0,4% pada September atau meningkat dibandingkan pada Agustus yang tercatat 0,1%. Inflasi inti menyentuh 6,6 % (yoy) pada September, level tertingginya sejak 1982 atau 40 tahun terakhir.
Keagresifan The Fed diprediksi akan membawa perekonomian Negara Adidaya tersebut masuk ke zona resesi dan tentunya akan berdampak pada negara-negara lain di dunia. AS merupakan perekonomian terbesar di dunia.
PDB AS menyumbang 25% dari ekonomi dunia. AS pun memimpin posisi ekonomi tertinggi sejak tahun 1960, bahkan jauh sebelum perang dunia I dan II. Atas dasar itu, Amerika Serikat dikenal sebagai negara adidaya ekonomi.
Dengan demikian, jika negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini tertekan, maka akan bisa dipastikan mengganggu perekonomian global.
Potensi resesi global turut meningkatkan permintaan akan dolar AS yang termasuk mata uang safe haven, sehingga membebani pasar keuangan Tanah Air.
(chd/chd)