Suramnya kondisi global diperparah dengan guncangan di pasar obligasi Inggris. Tingkat imbal hasil atau yield surat utang pemerintah acuan 10 tahun meroket ke 4,439% pada perdagangan Selasa (11/10/September). Level tertinggi yang pernah dijumpai hanya pada tsunami krisis suprime mortgage Amerika Serikat, September 2008 dan memporakporandakan finansial global.
Buruknya situasi global inilah yang disebut Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, sebagai badai. Jokowi menyebut, badai besar akibat situasi ekonomi dan geopolitik yang terjadi di dunia kini telah datang, lebih cepat dari yang dibayangkan.
"Artinya badai itu sudah datang," kata Jokowi saat memberikan pengarahan dalam Sidang Kabinet Paripurna yang digelar di Istana Negara, seperti dikutip dalam video yang diunggah di Youtube Sekretariat Presiden, Rabu (12/10/2022).
Jokoi menginstruksikan jajarannya untuk menyiapkan antisipasi apabila situasi global makin buruk dan berdampak pada perekonomian nasional. Menurutnya, perlu ada mitigasi agar dampak dari ancaman global bisa diminimalisir ke depan.
"Semuanya harus kita tes betul sampai plan A, plan B, plan C, plan D, semuanya harus ada, plan E, semuanya. Yang paling buruk, semuanya harus kita hitung semuanya, sehingga sekali lagi, situasi makin memburuk dan antisipasi dampak di domestik ini harus betul-betul disiapkan," kata Jokowi.
Mayoritas bursa Asia juga masih berkutat di zona merah. Indeks Nikkei 225 Jepang melemah tipis 0,02%, Hang Seng Hong Kong menyusut 0,78, dan Straits Times Singapura turun 0,33%,
Sebaliknya, indeks Shanghai Composite China menanjak 1,53% dan KOSPI Korea Selatan menguat 0,47%.
Di pasar currency, nilai tukar rupiah ditutup stagnan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan kemarin.
Mengacu pada data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan, selang 2 menit kemudian mata uang Garuda langsung melemah 0,1% ke Rp 15.370/US$. Pada pukul 11:00 WIB rupiah sempat terkoreksi nyaris mendekati level 15.400/US$, yakni sebanyak 0,16% ke Rp 15.380/US$.
Di penutupan perdagangan rupiah berada di Rp 15.355/US$ sama seperti penutupan perdagangan hari sebelumnya di pasar spot, posisi ini masih terlemah dalam 2,5 tahun terakhir, tepatnya sejak 30 April 2020.
Rupiah terpuruk selama tiga hari sejak Jumat pekan lalu hingga Selasa pekan ini. Dalam sepekan rupiah ambles 1,07%.
Pelemahan rupiah masih dipicu oleh ekspektasi inflasi AS pada September serta kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed).
Di pasar SBN, mayoritas investor mulai kembaki memburu SBN pada perdagangan kemarin. Hal ini ditandai dengan menguatnya harga dan turunnya imbal hasil (yield). Namun untuk SBN tenor 20 dan 30 tahun cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan naiknya yield.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 20 tahun naik 2,2 basis poin (bp) ke posisi 7,356%. Sedangkan untuk yield SBN berjangkat waktu 30 tahun melonjak 11,5 bp menjadi 7,41%.
Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara berbalik melandai 4 bp menjadi 7,36%.
Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa Wall Street masih berkutat di zona merah. Tiga bursa AS ditutup melemah meskipun sempat menguat di awal perdagangan.
Indeks Dow Jones turun 28,34 poin atau 0,1% ke posisi 29.210,85. Indeks S&P 500 melemah 11,81 poin atau 0,33% ke 3.577,03 sementara Nasdaq melandai 9,09 poin atai 0,09% ke posisi 10.417,1.
Dengan demikian, indeks S&P 500 dan Nasdaq telah mengakhiri perdagangan di zona merah selama enam hari beruntun atau sepekan terakhir. Indeks Dow Jones melemah selama lima hari beruntun dari Rabu pekan lalu hingga Senin pekan ini. Indeks sempat bangkit pada Selasa sebelum melandai kembali kemarin.
Indeks langsung terkoreksi merespon data indeks harga produsen (IPP). IPP September dilaporkan menguat 0,4% (month to month/mtm) dan naik 8,5% (year-on-year/yoy). Kenaikan jauh di atas ekspektasi pasar.
Secara bulanan, indeks menguat untuk pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir. Secara tahunan, indeks sebenarnya lebih rendah dibandingkan yang tercatat pada Agustus yakni 8,7% (yoy).
Namun, Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq sempat menghijau di awal perdagangan. Kenaikan S&P terutama ditopang oleh saham PepsiCo Inc yang melonjak 4,2% dan Alcoa Corp yang melesat 5,3%.
Indeks kemudian melemah dan tidak mampu mengembalikan arah ke zona hijau, terutama setelah The Fed mengeluarkan risalah pertemuan Federal Open Market Coommittee (FOMC) pada 20-21 September lalu.
Risalah tersebut semakin menegaskan jika the Fed masih akan melanjutkan kebijakan hawkish ke depan demi memerangi inflasi.
"Partisipan melihat jika inflasi masih terlalu tinggi dan jauh di atas target 2% yang ditetankan Committee. Partisipan menekankan tindakan yang terlalu sedikit dalam menurunkan inflasi bisa memakan ongkos yang jauh lebih besar," tulis risalah FOMC, dikutip dari website The Fed
The Fed melihat jika penurunan inflasi lebih lambat dari ekspektasi mereka. Inflasi AS mencapai 8,3% (yoy) pada Agustus, sedikit melanda dari 8,5% (yoy) pada Juli.
"Sejumlah partisipan menggarisbawahi pentingnya stance tegas selama mungkin yang diperlukan. Pengalaman sejarah menunjukkan bahayanya mengakhiri kebijakan ketat secara prematur," tulis risalah tersebut.
Dengan kenaikan IPP dan sikap hawkish The Fed, pelaku pasar pun kemudian berekspektasi jika The Fed masih akan menaikkan suku bunga secara agresif pada November mendatang.
"Risalah yang keluar hari ini menekankan jika The Fed masih akan hawkish. The Fed menginginkan kondisi keuangan domestik leih ketat untuk menekan inflasi. Pelaku pasar sebenarnya sudah menyesuaikan realitas ini," tutur head of Americas Fundamental Fixed Income dari Blackrock Bob Miller, seperti dikutip dari Reuters.
Analis dari Morgan Stanley Global Investment Office, Mike Loewengart, mengatakan kelanjutan kebijakan hawkish The Fed sudah diprediksi.
Terlebih, IPP juga masih naik. Kenaikan IPP pada September menjadi sinyal jika inflasi kemungkinan masih akan tinggi ke depan. Bagaimanapun inflasi AS masih mencapai 8,3% pada Agustus 2022 atau empat kali lipat lebih tinggi dari target The Fed di kisaran 2%.
"Harga barang masih naik jadi tidak heran jika indeks produsen dan jasa akan meningkat. Namun, yang perlu dicatat jika kenaikan masih di bawah rata-rata periode sebelumnya," tutur Loewengart, dikutip dari CNBC International.
Sejumlah kabar penting ditunggu pelaku pasar pada hari ini mulai dari inflasi AS hingga Survei Kegiatan Dunia Usaha Triwulan III 2022. Data terpenting yang ditunggu adalah inflasi Amerika Serikat pada September 2022.
Biro Statistik Tenaga Kerja AS akan mengumumkan data inflasi September Kamis malam nanti (13/10/2022) pukul 19: 30 WIB. Data inflasi AS akan menjadi pertimbangan The Fed dalam menentukan kebijakan moneter pada 1-2 November mendatang.
Data inflasi AS juga menjadi pegangan pelaku pasar untuk membaca arah kebijakan The Fed ke depan. Ekspektasi pasar menunjukkan inflasi AS akan melandai 8,1% (yoy) pada September dari 8,3 (yoy) pada Agustus.
Berkaca pada data indeks harga produsen (IPP), inflas AS diproyeksi masih tinggi. IPP September yang mash menguat 0,4% (mtm) dan naik 8,5% (yoy). Kenaikan jauh di atas ekspektasi pasar. Jika dilihat dari pergerakan per bulan, IPP bahkan menguat untuk pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir.
"Jika inflasi September masih tinggi maka jangan heran jika investor akan menghitung butuh berapa lama inflasi akan melandai dan dampaknya seperti apa " tutur analis dari Morgan Stanley Global Investment Office Mike Loewengart, dikutip dari CNBC International.
Risalah FOMC untuk September yang keluar Kamis dini hari tadi menunjukkan The Fed masih melihat inflasi belum melandai seperti yang diharapkan. Karena itulah, The Fed menegaskan sikapnya untuk melanjutkan kebijakan hawkish demi mencegah ongkos yang lebih besar akibat terlambat menangani inflasi.
"Masih ada risiko yang menekan inflasi ke depan, partisipan menggarisbawahi stance kebijakan yang membatasi dalam jangka pendek sudah konsisten dengan pertimbangan manajemen risiko. Committee sangat berkomitmen menurunkan inflasi ke kisaran 2%," tulis risalah The Fed.
Chief global strategist LPL Financial, Quincy Krosby, mengingatkan kebijakan ketat The Fed bisa membawa ekonomi AS ke jurang resesi. Kondisi tersebut tentu saja dihindari pelaku pasar karena ekonomi yang melambat bisa menggerus keuntungan perusahaan.
"Pasar khawatir jika kebijakan moneter terlalu ketat maka bisa mengakibatkan pasar keuangan tergelincir yang membuat likuditas kering dan membahayakan perekonomian global," tutur Krosby, dikutip dari CNBC International.
Sentimen negatif lain yang bisa mempengaruhi pergerakan IHSG hari ini adalah masih kencangnya isu resesi. Presiden Jokowi dalam dua hari terakhir bahkan terus mengingatkan banyaknya ketidakpastian yang mengancam ekonomi dunia. Jokowi menyebut resesi, perang, hingga perubahan iklim sebagai risiko yang harus diwaspadai semua orang.
Kebijakan ketat China dalam menekan penyebaran Covid-19 juga bisa menjadi sentimen negatif. Kasus Covid-19 di China tengah meningkat. Negara Tirai Bambu juga tengah menyiapkan hajatan besar yakni Kongres Partai Komunis akhir pekan nanti.
Dua faktor tersebut membuat China memperketat pembatasan sehingga aktivitas ekonomi terganggu.
China adalah mitra dagang terbesar Indonesia. Apapun yang terjadi dengan negara tersebut akan sangat mempengaruhi ekonomi Indonesia.
Dari dalam negeri, hari ini Bank Indonesia akan mengeluarkan Survei Kegiatan Dunia Usaha Triwulan III 2022. Menarik ditunggu apakah kegiatan dunia usaha sudah terdampak oleh kenaikan harga BBM Subsidi pada awal September lalu.
CEO PT Indosurya Bersinar Sekuritas, William Surya Wijaya, memperkirakan IHSG masih akan terkonsolidasi dan bergerak di kisaran 6872 - 7137.
"Pola pergerakan IHSG terlihat masih dibayangi oleh pola tekanan minor, sedangkan support level terdekat kembali diuji kekuatannya," tutur William dalam analisanya.
Dia menambahkan investor bisa memanfaatkan momentum tertekannya IHSG untuk melakukan akumulasi pembelian dengan target investasi jangka panjang.
Agenda ekonomi:
• Presiden Joko Widodo akan meninjau perkembangan Kereta Cepat Jakarta Bandung di Tegalluar, Jawa Barat (pukul 06:00 WIB)
• Tech Conference "Financial Technology" dengan narasumber antara lain Menteri BUMN Erick Thohor dan Vice President Data Solutions Telkomsel Andreuw Th A.F (pukul 10:00 WIB)
• Bank Indonesia akan mengumumkan Survei Kegiatan Dunia Usaha Triwulan III 2022 (pukul 11:00 WIB)
• Biro Statistik Tenaga Kerja AS akan mengumumkan data inflasi September (19: 30 WIB)
• Departemen Tenaga Kerja AS akan mengumumkan data klaim pengangguran (19:30)
• Administrasi Informasi Energi AS (EIA) akan mengumumkan data pasokan minyak dan energi lain (22:00 WIB)
Agenda Perusahaan:
- Tanggal DPS Dividen Tunai Interim Astra Agro Lestari Tbk (AALI)
- Tanggal DPS Dividen Tunai Interim Astra International Tbk (ASII)
- Tanggal cum Dividen Tunai Interim Astra Otoparts Tbk (AUTO)
- Tanggal cum HMETD PT Bank Oke Indonesia Tbk (DNAR)
- Tanggal DPS Dividen Tunai Interim PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS)
- RUPS Star Pacific Tbk (LPLI) pukul 09: 30 WIB
- RUPS PT Bank BTPN Syariah Tbk (BTPS) pukul 10: 00 WIB
Di bawah ini adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q II-2022 YoY) | 5,44% |
Inflasi (September 2022 YoY) | 5,95% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (September 2022) | 4,25% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022) | (3,92% PDB) |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q II-2022) | (1,1%) PDB |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q II-2022) | US$ 2,4 miliar |
Cadangan Devisa (September 2022) | US$ 130,8 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA