
Wall Street Akhirnya Rebound, Mampukah IHSG Ikut Bangkit?

Kondisi serupa juga terjadi di pasar keuangan lain, di mana kemarin rupiah terpuruk melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (28/9/2022).
Melansir data Refinitiv, pada perdagangan kemarin rupiah kembali jeblok hingga 0,93% ke Rp 15.260/US$. Rupiah menjadi yang terburuk kedua di Asia, hanya lebih baik dari won Korea Selatan yang merosot hingga 1,22%.
Isu resesi akibat kenaikan suku bunga yang agresif membuat rupiah dan mata uang Asia lainnya terpuruk. Maklum saja, dolar AS menyandang status safe haven, sehingga menjadi primadona saat isu resesi menyeruak.
Banyak analis dan ekonom yang memprediksi perekonomian dunia akan mengalami resesi, begitu juga dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Resesi ini dipicu oleh inflasi yang tinggi akibat melesatnya harga pangan dan energi di sejumlah negara, khususnya Eropa dan AS. Inflasi tinggi memicu bank sentral di negara maju menaikkan suku bunga dan mengetatkan likuiditas.
Sri Mulyani menegaskan kebijakan tersebut akan berdampak bagi pertumbuhan ekonomi dunia. Bahkan, negara berkembang pun ikut merasakan efeknya.
Terakhir dari pasar obligasi, Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah.
Mayoritas investor melepas SBN pada hari ini, ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield). Namun untuk SBN tenor 5, 25 dan 30 tahun ramai diburu oleh investor, ditandai dengan turunnyayield.
Melansir data dariRefinitiv, SBN tenor 5 tahun merosot 8,9 basis poin (bp) ke posisi 6,843%, sedangkanyieldSBN berjangka waktu 25 tahun turun tipis 0,1 bp ke 7,564%, danyieldSBN bertenor 30 tahun melandai 2 bp menjadi 7,298%
Sementara untukyieldSBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara kembali naik 0,6 bp menjadi 7,406%.
Yieldberlawanan arah dari harga, sehingga naiknyayieldmenunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
(aum/aum)