Sementara itu, dari pasar keuangan lainnya, mata uang rupiah juga ikut terkoreksi sepanjang pekan lalu. Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS), bahkan telah menyentuh di atas level Rp 15.000/US$.
Melansir dari Refinitiv, pekan lalu rupiah melemah 0,57% secara point-to-point di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Pada perdagangan Jumat (23/9/2022) pekan lalu, rupiah berada di Rp 15.035/US$, melemah 0,13% di pasar spot, sekaligus menjadi penutupan terlemah dalam 2 tahun terakhir.
Melemahnya rupiah tak lepas pula dari keperkasaan indeks dolar AS. Hal ini dibuktikan dengan Indeks dolar AS (DXY), yang mengukur kinerja greenbackt erhadap enam mata uang dunia lainnya pada pekan ini melesat 3,12%. Ini adalah rekor tertinggi sejak 20 tahun terakhir.
Kebijakan moneter terbaru dari bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mendorong dolar untuk melaju kencang. Bahkan, pejabat The Fed kembali mengisyaratkan kenaikan suku bunga hingga tingkat dana mencapai 'tingkat terminal' atau titik akhir sebesar 4,6% pada 2023. Ini menyiratkan kenaikan suku bunga seperempat poin tahun depan tetapi tidak ada penurunan.
Sementara itu, seperti yang telah diketahui bahwa BI telah memberikan 'suntikan' bagi rupiah untuk menjaga stabilisasi nilai tukar dengan menaikkan suku bunga. Meski demikian, rupiah belum mampu menguat merespon kejutan dari BI. Sebab, Perry menegaskan kenaikan suku bunga tidak akan agresif.
Selain rupiah, keputusan BI membuat investor melepas SBN pada akhir pekan lalu yang ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield) di seluruh tenor. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah.
Hingga hari ini, investor masing menimbang dampak yang akan ditimbulkan setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dan Bank Indonesia (BI) menaikkan kembali suku bunga acuannya.
SBN tenor 1 tahun menjadi yang paling besar kenaikan yield-nya pada akhir pekan lalu, yakni melonjak 21,6 basis poin (bp) ke posisi 5,201%. Sedangkan, untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara menanjak 4,6 bp menjadi 7,274% dan SBN tenor 30 tahun menjadi yang paling rendah kenaikanyield-nya, yakni naik 1 bp menjadi 7,281%.
Akhir pekan lalu, Wall Street mengakhiri perdagangan berdarah-darah karena karena melonjaknya suku bunga dan gejolak mata uang asing yang kemudian meningkatkan kekhawatiran akan resesi global. Saat ini, pelaku pasar masih mengevaluasi langkah The Fed terhadap ekonomi secara luas dan pasar keuangan secara spesifik.
Ketiga indeks utama Wall Street menyelesaikan sesi perdagangan Jumat pekan lalu di zona merah. S&P 500 turun 1,72% ke 3.693,23, sedangkan indeks padat teknologi Nasdaq ambles 1,8% ke 10.867,93. Terakhir, indeks perusahaan blue chip Dow Jones Industrial Average ditutup melemah 1,62% ke 29.590,41.
Dow Jones Industrial mencatat level terendah baru untuk tahun ini dan ditutup di bawah 30.000 untuk pertama kalinya sejak 17 Juni. Indeks 30-saham mengakhiri hari 19,9% di bawah rekor intraday.
Keputusan The Fed untuk menaikkan suku bunga menandai sisi negatif pada pasar saham AS. The Fed resmi menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 75 bps dalam kali ketiga beruntun. Keputusan yang diperoleh dengan suara bulat 12 anggota komite tersebut akan menaikkan suku bunga acuan AS atau federal-funds rate (FFR) ke kisaran antara 3% dan 3,25%, level yang terakhir terlihat pada awal 2008.
Meskipun kenaikan siklus ini sejatinya sesuai dengan ekspektasi pasar, akan tetapi komentar The Fed mengindikasikan akan tetap hawkish pada pertemuan November mendatang yang semakin membuat investor waswas.
"Pasar telah bertransisi dengan jelas dan cepat dari kekhawatiran atas inflasi ke kekhawatiran atas kampanye Federal Reserve yang agresif," kata Quincy Krosby dari LPL Financial dikutip dari CNBC International
Sementara itu, imbal hasil (yield) obligasi bergerak naik, di mana tenor 2 tahun dan 10 tahun menyentuh level tertinggi lebih dari satu dekade.
Sementara sektor industri konsumer diskresi, teknologi, dan semikonduktor terpukul karena kekhawatiran akan perlambatan ekonomi global.
"Anda melihat imbal hasil obligasi naik ke level yang belum pernah kita lihat selama bertahun-tahun ini mengubah pola pikir tentang bagaimana Fed mencapai stabilitas harga tanpa ada yang melanggar." Tambahnya.
Goldman Sachs memangkas target S&P 500 akhir tahun karena kenaikan suku bunga, memprediksi setidaknya penurunan 4% dari sini.
Saham yang diposisikan paling menderita dalam resesi memimpin kerugian minggu ini dengan sektor konsumen S&P 500 turun 7%. Energi merosot 9% karena harga minyak turun. Sementara itu, saham pertumbuhan termasuk nama-nama teknologi besar Apple, Amazon, Microsoft dan Meta Platforms masih jatuh pada perdagangan Jumat.
"Berdasarkan diskusi klien kami, mayoritas investor ekuitas telah mengadopsi pandangan bahwa skenario hard landing tidak dapat dihindari dan fokus mereka adalah pada waktu, besarnya, dan durasi potensi resesi dan strategi investasi untuk prospek itu," tulis Goldman Sachs. ' David Kostin dalam sebuah catatan kepada klien.
Pada pekan ini, minimnya sentimen berpotensi tak dapat mendongkrak kinerja IHSG. Lagi-lagi pelaku pasar masih menganalisis implikasi keputusan kebijakan moneter suku bunga oleh bank sentral The Fed yang kemudian mempengaruhi bank sentral dunia lain termasuk Indonesia, yang kemudian diukur seberapa berdampaknya bagi ekonomi yang lebih luas termasuk pasar modal.
Kendati demikian, masih ada agenda-agenda rilis data indikator ekonomi maupun aksi bank sentral dunia lain yang tentunya merespon kebijakan The Fed di pekan ini.
Pertama, pekan ini akan ada beberapa respon suku bunga The Fed dari bank dunia lain, baik itu rilis kebijakannya maupun sinyal kenaikan yang akan disampaikan melalui pidato bank sentral negara masing-masing di antaranya bank sentral Eropa (ECB), bank sentral Jepang (BoJ), serta bank sentral Inggris (BoE).
Terlebih lagi, The Fed telah mengindikasikan bahwa pihaknya akan tetap hawkish sehingga membuat investor makin waswas dan sudah khawatir akan terjadinya resesi.
Selain suku bunga, hal kedua yang perlu dicermati yakni terkait rilis data indikator ekonomi beberapa negara yang bisa mewarnai pasar pekan ini. Termasuk data inflasi di antaranya inflasi zona Eropa, Jerman dan Prancis.
Pagi ini, akan ada rilis data Purchasing Managers Index (PMI) dari Jepang untuk periode September 2022. PMI merupakan indikator kinerja manufaktur suatu negara.
PMI Jepang untuk Agustus 2022 direvisi lebih tinggi menjadi 49,5 dibandingkan dengan pembacaan awal 49,2, dan setelah 50,3 akhir sebulan sebelumnya karena lonjakan infeksi Covid-19. Sementara pada Agustus 2022, PMI Manufaktur Japan direvisi lebih tinggi menjadi 51,5 dibandingkan dengan angka awal 51. Ini terjadi di tengah meningkatnya tantangan ekonomi serta output yang menyusut selama 2 bulan berturut-turut.
Ketiga, pelaku pasar juga patut mencermati kondisi ekonomi Zona Eropa yang tengah cemas akan krisis mata uang di Eropa. Isu resesi dunia di tahun 2023 pun semakin menguat. Apalagi bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) mengatakan perekonomian Inggris sudah mengalami resesi ini justru menambah buruk sentimen pelaku pasar.
Nilai tukar poundsterling Inggris ambrol hingga 3,5% melawan dolar AS ke US$ 1.0856/GBP pada perdagangan Jumat pekan lalu. Level tersebut merupakan yang terlemah dalam 37 tahun terakhir.
Kurs euro sudah lebih dulu berada di bawah level paritas. Mata uang 19 negara ini berada di level terlemah dalam 20 tahun terakhir.
Jebloknya mata uang tersebut bisa berdampak buruk, inflasi bisa bertahan di level tinggi dalam waktu yang lama, sehingga memberikan masalah dalam jangka panjang.
Di sisi lain, investor perlu mencermati pembacaan terakhir PDB untuk kuartal II-2022 dari Negeri Paman Sam dan Inggris di mana akan ada akan menjadi sentimen keempat yang ikut mewarnai kondisi pasar.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Trading Economics PDB AS diperkirakan mengalami kontraksi 0,6% pada pembacaan terakhir Kamis mendatang. Angka ini lebih kecil dari pembacaan pertama yakni terkontraksi 0,9% pada kuartal II-2022.
Secara teknis AS telah masuk ke jurang resesi setelah mencetak pertumbuhan negatif alias kontraksi sebesar 1,6% pada kuartal I-2022. Adapun, secara umum resesi dintandai dengan kontraksi dalam PDB dalam dua kuartal berturut-turut.
Pembacaan terakhir PDB AS ini tentunya dinantikan oleh pasar, apalagi suku bunga yang kian agresif akan membebani ekonomi negeri Paman Sam tersebut. Diketahui, Saat ini memerangi inflasi merupakan tugas utama The Fed. Para pejabat yakin dapat mencapai soft landing yang mengekang inflasi tanpa menyebabkan resesi.
Pertumbuhan ekonomi negatif yang terjadi pada paruh pertama 2022 menjadi pukulan telak bagi Amerika Serikat (AS). 'Mimpi buruk' pun diprediksi masih berlanjut.
Kelima, investor juga patut memperhatikan perkembangan perang saat ini. Perang yang kembali memanas dapat pergerakan harga komoditas kembali liar yang mana perubahan harga tersebut sering kali ikut mendikte pergerakan pasar saham domestik.
Sejumlah emiten di sektor energi, pertambangan hingga perkebunan pergerakannya nyaris secara eksklusif ditopang oleh naik turunnya harga komoditas di pasar global. Sejumlah komoditas yang harganya dapat terdampak, baik secara langsung maupun tidak langsung termasuk minyak mentah, gas alam dan batu bara, serta minyak nabati hingga gandum.
Berikut beberapa pidato dan data ekonomi penting yang akan dirilis hari ini:
- Rilis Data PMI serta PMI Manufaktur Jepang (07:30 WIB)
- Rilis Data Investasi asing secara langsung (Foreign Direct Investment/FDI) Kuartal III-2022 (11:30 WIB)
- Pidato Pejabat bank sentral Jepang (BoJ) (12:30 WIB)
- Pidato tiga Pejabat bank sentral Eropa (ECB) (14:00, 14:30, 20:00 WIB)
- Pidato Pejabat The Fed (21:00 WIB)
- Rilis data iklim bisnis ifo Jerman (15:00 WIB)
- Lelang Obligasi Uni Eropa (16:45 WIB)
- Indeks Manufaktur Amerika Serikat (AS) September (21:30 WIB)
Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA