Newsletter

Masih Syok Suku Bunga Naik, Bagaimana Daya Tahan IHSG?

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
26 September 2022 06:10
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Pada pekan ini, minimnya sentimen berpotensi tak dapat mendongkrak kinerja IHSG. Lagi-lagi pelaku pasar masih menganalisis implikasi keputusan kebijakan moneter suku bunga oleh bank sentral The Fed yang kemudian mempengaruhi bank sentral dunia lain termasuk Indonesia, yang kemudian diukur seberapa berdampaknya bagi ekonomi yang lebih luas termasuk pasar modal.

Kendati demikian, masih ada agenda-agenda rilis data indikator ekonomi maupun aksi bank sentral dunia lain yang tentunya merespon kebijakan The Fed di pekan ini.

Pertama, pekan ini akan ada beberapa respon suku bunga The Fed dari bank dunia lain, baik itu rilis kebijakannya maupun sinyal kenaikan yang akan disampaikan melalui pidato bank sentral negara masing-masing di antaranya bank sentral Eropa (ECB), bank sentral Jepang (BoJ), serta bank sentral Inggris (BoE).

Terlebih lagi, The Fed telah mengindikasikan bahwa pihaknya akan tetap hawkish sehingga membuat investor makin waswas dan sudah khawatir akan terjadinya resesi.

Selain suku bunga, hal kedua yang perlu dicermati yakni terkait rilis data indikator ekonomi beberapa negara yang bisa mewarnai pasar pekan ini. Termasuk data inflasi di antaranya inflasi zona Eropa, Jerman dan Prancis.

Pagi ini, akan ada rilis data Purchasing Managers Index (PMI) dari Jepang untuk periode September 2022. PMI merupakan indikator kinerja manufaktur suatu negara.

PMI Jepang untuk Agustus 2022 direvisi lebih tinggi menjadi 49,5 dibandingkan dengan pembacaan awal 49,2, dan setelah 50,3 akhir sebulan sebelumnya karena lonjakan infeksi Covid-19. Sementara pada Agustus 2022, PMI Manufaktur Japan direvisi lebih tinggi menjadi 51,5 dibandingkan dengan angka awal 51. Ini terjadi di tengah meningkatnya tantangan ekonomi serta output yang menyusut selama 2 bulan berturut-turut.

Ketiga, pelaku pasar juga patut mencermati kondisi ekonomi Zona Eropa yang tengah cemas akan krisis mata uang di Eropa. Isu resesi dunia di tahun 2023 pun semakin menguat. Apalagi bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) mengatakan perekonomian Inggris sudah mengalami resesi ini justru menambah buruk sentimen pelaku pasar.

Nilai tukar poundsterling Inggris ambrol hingga 3,5% melawan dolar AS ke US$ 1.0856/GBP pada perdagangan Jumat pekan lalu. Level tersebut merupakan yang terlemah dalam 37 tahun terakhir.

Kurs euro sudah lebih dulu berada di bawah level paritas. Mata uang 19 negara ini berada di level terlemah dalam 20 tahun terakhir.

Jebloknya mata uang tersebut bisa berdampak buruk, inflasi bisa bertahan di level tinggi dalam waktu yang lama, sehingga memberikan masalah dalam jangka panjang.

Di sisi lain, investor perlu mencermati pembacaan terakhir PDB untuk kuartal II-2022 dari Negeri Paman Sam dan Inggris di mana akan ada akan menjadi sentimen keempat yang ikut mewarnai kondisi pasar.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Trading Economics PDB AS diperkirakan mengalami kontraksi 0,6% pada pembacaan terakhir Kamis mendatang. Angka ini lebih kecil dari pembacaan pertama yakni terkontraksi 0,9% pada kuartal II-2022.

Secara teknis AS telah masuk ke jurang resesi setelah mencetak pertumbuhan negatif alias kontraksi sebesar 1,6% pada kuartal I-2022. Adapun, secara umum resesi dintandai dengan kontraksi dalam PDB dalam dua kuartal berturut-turut.

Pembacaan terakhir PDB AS ini tentunya dinantikan oleh pasar, apalagi suku bunga yang kian agresif akan membebani ekonomi negeri Paman Sam tersebut. Diketahui, Saat ini memerangi inflasi merupakan tugas utama The Fed. Para pejabat yakin dapat mencapai soft landing yang mengekang inflasi tanpa menyebabkan resesi.

Pertumbuhan ekonomi negatif yang terjadi pada paruh pertama 2022 menjadi pukulan telak bagi Amerika Serikat (AS). 'Mimpi buruk' pun diprediksi masih berlanjut.

Kelima, investor juga patut memperhatikan perkembangan perang saat ini. Perang yang kembali memanas dapat pergerakan harga komoditas kembali liar yang mana perubahan harga tersebut sering kali ikut mendikte pergerakan pasar saham domestik.

Sejumlah emiten di sektor energi, pertambangan hingga perkebunan pergerakannya nyaris secara eksklusif ditopang oleh naik turunnya harga komoditas di pasar global. Sejumlah komoditas yang harganya dapat terdampak, baik secara langsung maupun tidak langsung termasuk minyak mentah, gas alam dan batu bara, serta minyak nabati hingga gandum.

(aum/luc)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular