Pasar saham AS secara mengejutkan ditutup menguat pada perdagangan perdana pekan ini dalam sesi yang bergejolak menjelang pertemuan kebijakan dua hari Federal Reserve yang dijadwalkan akan dimulai Selasa.
Dow Jones Industrial Average melonjak 197,26 poin, atau 0,64%. Sedangkan S&P 500 dan NASDAQ ditutup naik masing-masing 0,69% dan 0,76%.
Sebelumnya, tiga indeks utama Wall Street tersebut kompak dibuka jatuh awal perdagangan. Dow Jones Industrial Average turun sempat melemah 0,6% pada awal pembukaan. Sedangkan S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing diperdagangkan turun 0,7% di sesi awal.
Indeks acuan Wall Street hari ini mengalami tarik ulur di zona merah dan hijau, di mana pada posisi terendah sesi perdagangan, S&P dan Nasdaq masing-masing sempat turun lebih dari 0,9%.
Fokus utama investor masih tertuju pada keputusan suku bunga acuan dengan bank sentral AS diperkirakan akan menaikkan suku bunga tiga perempat poin lagi. Selain itu, investor juga tetap mengamati panduan tentang pendapatan perusahaan sebelum musim pelaporan berikutnya dimulai pada bulan Oktober.
"Saat kami menerawang ke akhir tahun 2022, kami terus mengantisipasi kondisi berombak di pasar ekuitas AS, yang kami pandang terjebak dalam tarik ulur antara sentimen bearish yang dalam (sinyal kontrarian/bullish) dan kekhawatiran berkelanjutan pengetatan moneter The Fed lebih lanjut dan konsekuensi ekonomi jangka panjangnya, [termasuk] revisi pendapatan perusahaan [yang turun]," tulis Lori Calvasina dari RBC Capital Markets dalam sebuah catatan kepada klien Senin, dilansir CNBC Internasional.
Sebagian besar sektor S&P 500 naik atau diperdagangkan flat, dengan sektor konsumen, industri dan material memimpin penguatan. Keuangan juga bergerak lebih tinggi karena beberapa investor bertaruh bahwa suku bunga yang lebih tinggi dapat meningkatkan profitabilitas perusahaan. Perawatan kesehatan menjadi pemberat utama, dan jatuh setelah komentar dari Presiden Joe Biden mengindikasikan pandemi telah berakhir.
Pekan lalu Wall Street ambles karena investor bereaksi terhadap laporan inflasi yang lebih panas dari perkiraan dan peringatan suram dari FedEx tentang ekonomi global yang "memburuk secara signifikan".
Di luar pertemuan Fed, hanya ada beberapa rilis data ekonomi minggu ini, termasuk data perumahan Agustus pada hari Selasa dan klaim pengangguran awal pada hari Kamis.
Hari ini sentimen utama yang berpotensi menggerakkan IHSG masih akan didominasi oleh keputusan hasil rapat pejabat bank sentral untuk menentukan kebijakan moneter suku bunga, termasuk dari dalam negeri oleh Bank Indonesia.
Bank sentral utama dunia lain yang ikut mengumumkan suku bunga acuannya termasuk The Fed AS, Bank of England, Swiss National Bank dan Bank of Japan. Data ekonomi global lain yang juga patut menjadi perhatian investor termasuk tingkat inflasi untuk Jepang dan Kanada, iklim bisnis Ifo untuk Jerman. Investor juga patut menyimak pembacaan awal angka PMI manufaktur untuk AS, Inggris, Area Euro, Prancis, Jerman, Australia, dan Jepang.
Selanjutnya investor perlu menyimak pergerakan harga komoditas yang sering kali ikut mendikte pergerakan pasar saham domestik. Sejumlah emiten di sektor energi, pertambangan hingga perkebunan pergerakannya nyaris secara eksklusif ditopang oleh naik turunnya harga komoditas di pasar global.
Harga minyak mentah dunia menguat pada perdagangan hari ini setelah longsor sepanjang pekan kemarin. Meski demikian harga bulan September masih berada di level terendah sejak perang pecah di Ukraina.
Selanjutnya harga gas berjangka Belanda bulan depan turun ke level terendah dalam dua bulan, setelah pekan lalu juga turun 9%. Sementara itu, persediaan gas Eropa jelang musim dingin telah 86% penuh, dan untuk Jerman mencapai 90%, mengutip data Gas Infrastructure Europe.
Dari benua Ameria, AS mencatatkan rekor output gas alam yang mencapai lebih dari 100 kaki kubik per hari. Meskipun produksi meningkat dari tahun lalu, harga gas alam masih 50% lebih tinggi dari tahun lalu akibat permintaan yang tak melambung.
Kondisi tersebut tentu akan berpengaruh pada harga komoditas ekspor unggulan RI, meskipun permintaan batu bara diperkirakan akan tetap naik jelang musim dingin.
Selanjutnya Imbal hasil Treasury 10-tahun AS mencapai 3,51% pada hari Senin, level tertinggi dalam 11 tahun. Kenaikan imbal hasil juga terjadi pada instrumen obligasi lain dan merupakan bagian dari antisipasi menjelang keputusan Fed yang kemungkinan akan menaikkan suku bunga acuannya
Ketika suku bunga berada di titik terendah, seperti setelah krisis keuangan 2008 atau saat pandemi, investor secara gampang dapat memutuskan untuk menempatkan uang di pasar saham yang relatif berisiko.
Dalam kondisi tersebut, pengembalian yang akan didapatkan dari saham hampir selalu mengalahkan apa yang bisa diperoleh dari obligasi pemerintah yang hampir tidak menghasilkan apa-apa.
Dinamika tersebut telah terbalik tahun ini. Setelah beberapa kenaikan kali siklus kenaikan suku bunga Fed, imbal hasil di pasar Treasury AS kini diperdagangkan pada level tertinggi multi-tahun.
Sekarang, kurang dari 16% saham S&P 500 memiliki hasil dividen yang lebih besar daripada imbal hasil surat utang AS dua tahun, yang mendekati 4%. Kurang dari 20% saham S&P 500 memiliki hasil dividen lebih besar dari imbal hasil obligasi 10-tahun, menurut data Strategas. Angka-angka yang dicatatkan saham S&P 500 tersebut merupakan yang terendah sejak 2006.
Menguatnya imbal hasil surat berharga AS juga akan berdampak bagi pasar keuangan RI, yang mana karena spread yang menyempit tersebut, kemenarikan pasar keuangan domestik sedikit berkurang. Data terbaru Bank Indonesia (BI) melaporkan outflow sejak awal tahun mencapai Rp 143,14 triliun (year to date) pada pasar obligasi atau surat berharga negara (SBN).
Sementara itu di pasar ekuitas kondisinya jauh lebih baik, dengan asing mencatatkan rekor beli bersih Rp 72 triliun sejak awal tahun. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa bursa domestik menjadi salah satu pasar ekuitas dengan kinerja terbaik di dunia tahun ini, sehingga wajar jika dana asing ikut parkir di dalam negeri. Meski demikian dalam sepekan terakhir asing mencatatkan jual bersih.
Selanjutnya dolar juga masih kuat dan diperkirakan akan semakin perkasa pasca pertemuan FOMC. Saat ini dollar index (yang mengukur Greenback dengan enam mata uang utama) masih berfluktuasi di sekitar puncak tertinggi dalam 20 tahun.
Penguatan dolar dapat menghantam rupiah dan menjadi sentimen negatif bagi sejumlah emiten tanah air. Baik itu yang kinerjanya tergerus karena harus mengimpor barang mentah dan dibayarkan dengan dolar, atau likuiditas yang tertekan bagi sejumlah emiten yang harus membayarkan utang dalam denominasi dolar AS.
Pertemuan The Fed yang dijadwalkan akan digelar pada 21-22 September 2022 untuk mendiskusikan kebijakan moneter terbarunya.
Jika mengacu pada alat ukur FedWatch, pasar memprediksi peluang The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin (bps) menjadi 3%-3,25% sebesar 80%. Sementara sisanya memproyeksikan The Fed akan lebih agresif lagi dengan menaikkan suku bunga sebesar 100 bps menjadi 3,25%-3,5%.
Pandangan hawkish tersebut terjadi setelah rilis Indeks Harga Konsumen (IHK) AS per Agustus 2022 berada di 8,3% secara tahunan (yoy). Meskipun melandai dari bulan sebelumnya di 8,5%, tapi posisi tersebut masih berada di atas prediksi analis.
Lebih ekstrem lagi, analis Goldman Sachs Group memprediksikan bahwa The Fed akan terus menaikkan suku bunga acuannya dan membawa tingkat suku bunga menjadi 4%-4,25% pada akhir tahun ini. Mereka juga memproyeksikan tingkat pengangguran di AS akan naik menjadi 3,7% pada akhir 2022. Pandangan serupa juga diutarakan Analis Global S&P.
"Sikap agresif The Fed diperkirakan akan berlanjut dengan penetapan harga pasar dalam kenaikan 75 bp ketiga berturut-turut, meskipun kenaikan 100 poin juga ada di meja. Suku bunga diperkirakan akan mencapai 4,25% pada akhir 2022," kata Intelijen Pasar Global S&P dikutip Reuters.
Dari dalam negeri, investor juga akan disibukkan dengan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang akan digelar pada 21-22 September 2022. Konsensus analis Trading Economics memprediksikan bahwa BI akan mengekor The Fed untuk menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bps, melanjutkan pengetatan kebijakan moneternya dari bulan sebelumnya.
Seperti diketahui, pada 23 Agustus 2022, BI sempat memberikan kejutan dengan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bps menjadi 3,75%, ketika pasar bertaruh bahwa BI akan tetap menahan suku bunga acuannya. Kenaikan tersebut menjadi yang pertama kalinya sejak 18 bulan lalu.
Dalam konferensi persnya, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa kenaikan tersebut menjadi langkah preemptive dan forward looking untuk menjangkar ekspektasi inflasi inti akibat kenaikan bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi dan volatile food. Selain itu, keputusan ini dilakukan dalam rangka memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai fundamental dengan tingginya ketidakpastian global yang semakin kuat.
Padahal, inflasi RI per Agustus 2022 mengalami deflasi sebesar 0,1% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Jika dibandingkan dengan Agustus 2021, inflasi berada di 4,69%, melandai dibandingkan bulan sebelumnya di 4,94%. Meski begitu, Perry Warjiyo menilai bahwa inflasi tersebut masih cukup tinggi.
Kenaikan suku bunga bulan ini tampak tidak akan mengejutkan analis dan pasar, mengingat pada awal bulan ini, pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM jenis Petralite, Solar dan Pertamax, yang merupakan fondasi utama roda ekonomi dan pada akhirnya dapat mendorong inflasi ke tingkat yang lebih tinggi.
DBS Group Research, dalam risetnya yang dikutip CNBC Indonesia, Jumat (9/9/2022), memperkirakan inflasi utama pada akhir 2022 mengarah ke angka 6,5-7% secara tahunan dan menaikkan rata-rata setahun penuh ke 5,0%. Sementara 2023 menjadi 3,8%.
Selanjutnya, ekonom Bank Mandiri Faisal Rahman menyatakan kenaikan harga BBM, baik Solar, Pertalite dan Pertamax, berisiko dapat memangkas pertumbuhan ekonomi sampai dengan 0,33%.
Suku bunga global yang meningkat tajam berpotensi menyebabkan resesi, dengan sejumlah organisasi besar dunia seperti Bank Dunia telah mewanti-wanti.
Berikut beberapa pidato dan data ekonomi penting yang akan dirilis hari ini:
Tingkat inflasi Jepang Agustus (06.30)
Risalah rapat bank sentral Australia/RBA (08.30)
Inflasi Harga Produsen (PPI) Jerman Agustus (13.00)
Keputusan suku bunga bank sentral Swedia (14.30)
Tingkat inflasi Kanada Agustus (19.30)
Data perumahan AS (19.30)
Pidato pejabat bank sentral Eropa/ECB (22.45)
Dengan berakhirnya musim laporan keuangan dan RUPST, hari ini hanya terdapat satu agenda korporasi yakni Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Astrindo Nusantara Infrastruktur (BIPI) pada pukul 14.00 WIB.
Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA