Jakarta, CNBC Indonesia -Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak menguat tajam pekan lalu setelah terkoreksi dalam sepekan sebelumnya. Penguatan IHSG ini sejalan dengan pergerakan bursa saham global.
Akhir pekan lalu, IHSG menutup perdagangan dengan menguat tipis sebanyak 0,33% ke posisi 6.886,962.
Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), selama perdagangan periode 18-22 Juli 2022 atau sepanjang pekan lalu, IHSG bergerak menguat 3,53% secara point-to-point, setelah pada pekan sebelumnya terkoreksi 1,31%.
Sepanjang pekan lalu, investor asing mencatatkan aksi beli bersih (net buy) senilai Rp 420,06 miliar di pasar saham domestik. Masuknya dana asing, meski dalam jumlah kecil, merupakan berita gembira mengingat dalam sebulan terakhir asing telah melepas kepemilikan saham di bursa domestik hingga Rp 7,72 triliun di seluruh pasar.
Meski sempat waswas, investor menyambut baik keputusan Bank Indonesia untuk mempertahankan suku bunga acuan di level terendah sepanjang masa. Pekan lalu bank sentral Tanah Air kembali menetapkan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di angka 3,50% dan telah bertahan selama 18 bulan.
Inflasi per Juni yang melonjak ke 4,35% secara tahunan, dinilai masih relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lain di dunia. Tidak hanya itu, inflasi inti yang berada di 2,63% masih berada di kisaran target BI di 2-4%. Sehingga, BI menilai belum ada urgensi untuk menaikkan suku bunga acuannya.
Di level Asia, IHSG rupanya tidak sendirian, mayoritas bursa saham juga menguat. Sementara itu di level dunia, bursa global juga ramai-ramai menguat, termasuk tiga indeks utama Wall Street dan bursa Eropa.
Dari pasar keuangan lainnya, kurs rupiah terkoreksi tipis terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pekan lalu, meskipun indeks dolar AS malah tercatat melemah tajam di pasar spot.
Melansir Refinitiv, pekan lalu rupiah membukukan pelemahan sebesar 25 poin atau terkoreksi 0,17% di hadapan dolar AS. Sementara indeks dolar AS yang mengukur kinerja greenback terhadap enam mata uang utama dunia lainnya, juga terkoreksi 1,2% ke posisi 106,73.
Namun, Kepala Strategi FX CIBC Capital Markets Toronto Bipan Rai mengatakan bahwa pelemahan dolar AS hanya sementara. Rai juga menyebut pelemahan ekonomi yang terjadi di kawasan lain mencerminkan kondisi keuangan yang ketat, sehingga potensi permintaan akan dolar AS masih ada di kemudian hari.
Pelemahan rupiah sebenarnya sudah terlihat pada bulan Juni yang mana rupiah melemah 2,1% pada medio tersebut, sedangkan secara year to date rupiah tertekan lebih dalam yakni 5,2%. Hal tersebut dipicu sikap hawkish bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang secara ajgresif menaikkan suku bunga acuannya.
Langkah tersebut berbeda 180 derajat dengan keputusan BI yang memilih untuk menjadi 'merpati' di saat bank sentral dunia lainnya berlomba-lomba untuk menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi yang kian menggigit. Setidaknya 75 bank sentral dunia telah menaikkan suku bunga acuannya tahun ini, dan di antara negara anggota G-20, selain Indonesia hanya Jepang dan China yang belum menaikkan suku bunga acuan sejak pandemi dua tahun lalu.
Pasar ekuitas global ditutup semringah pekan lalu, setelah sempat bergerak volatil beberapa pekan sebelumnya. Dari benua Biru, indeks saham acuan Inggris FTSE menguat 1,34%, DAX Jerman naik 3,02%, dan CAC Prancis terapresiasi 3%.
Penguatan ini terjadi meskipun Bank Sentral Eropa (ECB) akhirnya memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya hingga 50 basis poin (bps). Langkah ini merupakan yang pertama kalinya sejak 11 tahun yang dipicu oleh inflasi yang kian meroket. Meski menimbulkan kekhawatiran akan perlambatan pada pertumbuhan ekonomi, investor sudah lebih dulu mengantisipasi kenaikan ini.
Sementara itu dari pasar saham terbesar dunia yakni bursa saham Amerika Serikat (AS), Dow Jones Industrial Average berhasil menguat 2%, S&P 500 melejit 2,55%, dan Nasdaq 100 naik tajam 3,45%.
Penguatan pada bursa saham AS pekan lalu sebagian ditopang oleh musim rilis kinerja keuangan yang cukup memuaskan. Meski demikian, investor global masih menantikan keputusan kebijakan moneter oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan dirilis pekan ini pada 26-27 Juli 2022 waktu setempat.
Pasar memprediksikan bahwa The Fed akan kembali agresif untuk menaikkan suku bunga acuannya hingga 75-100 basis poin (bps) untuk meredam angka inflasi yang kembali melonjak. Inflasi per Juni 2022 melesat ke 9,1% dan menjadi angka inflasi terbesar sejak 4 dekade lalu.
Jika The Fed sungguh-sungguh menaikkan suku bunga acuannya pekan ini, peluang untuk terkoreksinya bursa saham AS terbuka lebar. Ditambah dengan potensi resesi karena perang Rusia-Ukraina belum usai, kian menambah tekanan terhadap aset berisiko.
Pelemahan pada bursa saham AS tentunya dapat mengerek turun kinerja bursa saham di kawasan lainnya seperti di Asia dan Eropa.
Saat ini, suku bunga AS berada di 1,5-1,75%, jika The Fed kembali menaikkan suku bunga di bulan ini sebesar 75 bps maka suku bunga AS akan berada di kisaran 2,25-2,5%. Padahal, suku bunga acuan Indonesia berada di 3,5%. Hal tersebut kian membuat pasar keuangan Indonesia menjadi kurang menarik di mata investor, terutama Surbat Berharga Negara (SBN) karena spread yang kian menyempit serta rupiah yang berpotensi untuk terkoreksi semakin dalam.
Menyadari ancaman tersebut, BI sejatinya tidak tinggal diam dan mengatakan rencananya untuk menjaga kinerja rupiah dengan melakukan intervensi di pasar SBN.
Beberapa kabar penting yang akan muncul dan mempengaruhi sentimen pasar secara dominan berasal dari AS, di mana suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR) dan pertumbuhan ekonomi akan dirilis pada pekan ini.
Akan tetapi, investor perlu menyimak sentimen utama dalam negeri yang berpotensi menggerakkan pasar yakni laporan kinerja keuangan bank raksasa Tanah Air. Mulai tengah pekan ini sejumlah bank raksasa RI sudah antre melaporkan kinerjanya dalam enam bulan pertama tahun ini. Bank Centra Asia (BBCA) diperkirakan akan melaporkan pada Rabu, Bank Mandiri (BMRI) Kamis dan Bank Negara Indonesia (BBNI) Jumat pekan ini.
Kinerja keuangan dari sektor perbankan sering kali digunakan sebagai proksi kondisi ekonomi secara luas. Selain itu, empat emiten perbankan utama - ketiga di atas dan Bank Rakyat Indonesia (BBRI) - berkontribusi nyaris seperempat dari total kapitalisasi pasar bursa domestik.
Dari ranah global, kabar ekonomi penting awal pekan ini yang patut dicermati berasal dari Korea Selatan (Korsel) yang akan merilis pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022. Konsensus tradingeconomics memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi Negeri Ginseng akan melambat menjadi 2,5% dari pertumbuhan kuartal II tahun sebelumnya sebesar 3%.
Pada hari yang sama, AS akan merilis indeks keyakinan konsumen per Juli yang diprediksi melemah menjadi 97,3 dari bulan sebelumnya 98,7. Penurunan ini menunjukkan sejauh mana minat belanja warga AS kian tertekan, sehingga berpeluang menekan prospek perekonomian AS.
Sentimen selanjutnya muncul dari AS dengan data stok minyak mentah dan BBM versi Energy Information Administration (EIA), diikuti data produksi industri China per Maret dan diprediksi memburuk dengan tumbuh 4,5% atau melambat dari pertumbuhan bulan sebelumnya (7,5%).
Jelang akhir pekan, sentimen yang mungkin paling penting pekan ini adalah pengumuman suku bunga acuan AS yang diprediksi naik menjadi 2,5%, dari sebelumnya 1,75%. Pengumuman yang tersebut akan dilakukan pada Kamis dini hari (WIB) akan mempengaruhi pasar saham domestik pada hari yang sama.
Pekan ini AS juga akan kembali menjadi perhatian dengan merilis pertumbuhan ekonomi AS kuartal II-2022 yang diprediksi tumbuh sebesar 0,6% secara kuartalan, atau membaik dari kuartal sebelumnya yang terkontraksi 1,6%.
Kemudian AS juga akan merilis klaim tunjangan pengangguran yang diprediksi bertambah 255.000 dalam sepekan terakhir, atau memburuk dari sepekan sebelumnya yang telah bertambah 251.000 klaim.
Lalu ada juga data inflasi perorangan (Personal Consumption Expenditure/PCE) AS yang diprediksi tumbuh 6% pada kuartal II-2022, atau melandai dari kuartal sebelumnya yang melompat 7,1%
Kemudian investor juga perlu menyimak indeks keyakinan konsumen (IKK) Uni Eropa per Juli yang diprediksi memburuk ke -27, dari bulan Juni yang sebesar -23,8.
Sentimen global terakhir bakal bermuara di Uni Eropa yang juga merilis pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022 yang diprediksi tumbuh sebesar 2,8% secara tahunan, atau melandai dari pertumbuhan kuartal sebelumnya yang sebesar 5,4% Di sisi lain, inflasi Juli Uni Eropa diprediksi melambung sebesar 9% dari bulan Juni yang 8,6%.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Indeks iklim ekonomi (Ifo) Jerman Juli (03.00)
- Indeks optimisme bisnis The Confederation of British Industry (CBI) Kuartal III (05.00)
- Chicago Fed National Activity Indeks Juli (19.30)
- Dallas Fed Manufacturing Indeks Juli (21.30)
Hari ini setidaknya terdapat 30 agenda korporasi yakni:
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) 13 perusahaan yakni: TRUE; SINI; RICY; PLAN; PGLI; MOLI; LAND; INPC; HOMi; HELI; BKSL; BAPI; dan AMAN.
- Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) YELO
- RUPST & RUPSLB secara simultan oleh 11 perusahaan yakni: WEHA; TARA; SQMI; CENT; CASS; BRNA; BKDP; BHAT; BBSS; BACA; dan APEX.
- Cum date dividen tunai tiga perusahaan yakni Integra Indocabinet (WOOD), Trimegah Karya Pratama (UVCR) dan Sumber Tani Agung Resources (STAA).
- Kemudian terdapat pula aksi korporasi berupa penerbitan saham IPO dan waran dari Bangun Karya Perkasa Jaya (KRYA)
Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA