
Dikepung Sentimen Negatif, Batu Bara Jadi Obat Galau IHSG?

Pelemahan harga aset-aset berisiko dan kekhawatiran akan resesi juga turut menekan harga minyak mentah dunia.
Harga minyak mentah Brent yang menjadi acuan global turun ke bawah US$ 100/barel. Risiko perlambatan bahkan kontraksi ekonomi membuat prospek permintaan minyak melemah.
Namun di sisi lain, kebijakan dunia Barat yang memboikot minyak dari Rusia juga menimbulkan risiko dari sisi pasokan. Meski ada risiko resesi, harga minyak masih diramal kuat di kisaran US$ 100/barel.
Sepanjang tahun ini harga minyak mentah yang melesat telah menjadi faktor pemicu kenaikan inflasi terutama di AS.
Soal inflasi, investor juga memantau rilis data Indeks Harga Konsumen (IHK) AS yang akan dipublikasikan pada Rabu ini (13/7/2022) waktu setempat.
Konsensus yang dihimpun oleh Trading Economics memperkirakan bahwa inflasi di AS bulan Juni naik 8,8% secara tahunan dan lebih tinggi dari bulan sebelumnya.
Laju inflasi yang membandel bisa membuat bank sentral AS semakin agresif dalam menaikkan suku bunga acuan yang berakibat pada kenaikan dollar AS dan melemahnya mata uang negara lain.
Di pasar komoditas, harga batu bara masih melanjutkan tren penguatannya. Harga batu bara kian dekati posisi tertingginya tahun ini di US$ 446/ton.
Lonjakan harga batu bara pada perdagangan kemarin juga masih masih dipicu oleh melesatnya harga gas alam Eropa.
Faktor lainnya adalah gangguan cuaca di Australia yang merupakan eksportir terbesar untuk batu bara metalurgi dan terbesar kedua untuk batu bara termal.
Peningkatan harga batu bara tentu saja membawa berkah bagi Indonesia. Dengan harga batu bara yang masih tetap tinggi, kinerja ekspor Indonesia diperkirakan masih tetap solid.
Selain ekspektasi ekspor yang masih solid, kenaikan harga batu bara juga membawa berkah bagi kinerja keuangan emiten tambang batu hitam.
Tren pergerakan harga batu bara global masih akan menjadi salah satu fokus utama pelaku pasar dalam waktu dekat dan menjadi sentimen yang menggerakkan harga saham-saham energi.
Namun tetap saja, risiko eksternal masih patut diwaspadai. Dengan rupiah yang masih berada di dekat Rp 15.000/US$ dan yield SBN 10 tahun di atas 7,2%, IHSG masih rawan mengalami koreksi.
(trp/luc)