Jakarta, CNBC Indonesia - Aksi jual asing (outflows) di pasar keuangan Tanah Air masih membayangi kinerja harga aset keuangan domestik.
Investor asing kembali membukukan net sell sebesar Rp 201 miliar di pasar saham (reguler). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun ditutup melemah kemarin (12/7/2022).
Setelah bergerak volatil, IHSG melemah tipis 0,06% ke 6.718,29 pada perdagangan Selasa (12/7/2022). IHSG tidak sendirian di zona merah. Mayoritas indeks saham acuan Asia juga melemah.
Indeks saham TAIEX (Taiwan) dan Nikkei225 (Jepang) memberikan performa paling buruk dengan koreksi masing-masing 2,72% dan 1,77% kemarin.
Pelemahan indeks saham Asia di awal pekan juga dipicu oleh tren Covid-19 yang memburuk. Subvarian baru Covid-19 BA.5 dilaporkan sudah ditemukan di Shanghai.
Selain Shanghai, Makau sebagai pusat perjudian di kawasan Asia juga memilih untuk tutup seiring dengan peningkatan kasus Covid-19.
Pandemi Covid-19 memang berasal dari China dan kini kembali merebak di China. Terkait Covid-19, pemerintah China punya langkah tegas dalam menangani wabah lewat kebijakan nol-Covid.
Kebijakan tersebut biasanya dibarengi dengan karantina wilayah. Selama lebih dari 2 tahun pandemi berlangsung, adanya lockdown telah memberikan pukulan ganda bagi perekonomian baik dari sisi supply dan demand.
Sementara itu di pasar Surat Berharga Negara (SBN), imbal hasil (yield) tenor 10 tahunnya mengalami penurunan tipis 2 basis poin (bps).
Penurunan yield mencerminkan bahwa harga SBN sedang naik. Namun yield SBN 10 tahun belum mau turun ke bawah level 7,2% yang seolah mencerminkan bahwa risiko di pasar keuangan masih tinggi.
Di sisi lain, indeks dolar AS yang terus menguat juga menumbalkan rupiah. Di pasar spot rupiah melemah 0,1% terhadap greenback dan ditutup di Rp 14.985/US$.
Dolar AS yang mengganas akibat kebijakan moneter AS yang ketat dan agresif meningkatkan risiko outflows dan depresiasi terhadap mata uang negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Namun yang menjadi tumbal dari kejayaan dolar AS bukan hanya rupiah, mata uang negara maju seperti Eropa juga turut menjadi korban.
Kini dolar AS makin mendekati EUR 1 seiring dengan apresiasi yang terjadi di sepanjang tahun dan menyentuh posisi tertinggi dalam satu dekade.
Beralih ke bursa saham AS, tiga indeks acuan utamanya ditutup kembali terkoreksi pada dini hari tadi. Indeks Dow Jones turun 0,61% sedangkan S&P 500 dan Nasdaq Composite longsor masing-masing 0,92% dan 0,95%.
Fokus utama investor saat ini adalah rilis laporan keuangan emiten-emiten besar di akhir minggu ini. Para pemodal akan menyaksikan bagaimana kenaikan inflasi yang tinggi di AS berdampak pada kinerja keuangan emiten.
PepsiCo melaporkan kinerja keuangan hari ini waktu setempat, di mana pendapatan dan laba bersihnya melampaui ekspektasi.
PepsiCo juga meningkatkan proyeksi pendapatannya pada tahun ini. Delta Air Lines dan JPMorgan juga akan merilis kinerja keuangannya pekan ini.
Selain rilis kinerja keuangan emiten, investor juga terus memantau perkembangan Indeks dolar AS yang mengukur kinerja dolar AS terhadap 6 mata uang dunia lainnya.
Indeks dolar AS naik tajam 13% tahun ini. Beberapa analis telah memperingatkan keperkasaan dolar AS dapat menjadi masalah untuk musim rilis kinerja keuangan ke depannya.
Investor masih akan memperhatikan risiko penurunan pada perkiraan pendapatan karena perusahaan bergulat dengan kenaikan suku bunga dan tekanan inflasi yang lebih besar, serta investor memperdebatkan kemungkinan resesi.
Di tengah risiko tersebut, investor juga menghindari aset berisiko seperti saham demi aset minim risiko seperti obligasi pemerintah.
Adanya aksi beli investor terhadap obligasi pemerintah membuat yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun turun 9 basis poin (bps) menjadi 2,9% yang mengindikasikan bahwa harganya sedang naik.
Namun bukan yield saja yang menjadi pantauan pemodal, melainkan juga kurva imbal hasilnya. Kurva imbal hasil antara obligasi tenor 2 tahun dan 10 tahun yang terbalik kembali terjadi setelah April lalu.
Secara historis, pembalikan kurva imbal hasil menjadi leading indicator bahwa ekonomi AS akan segera memasuki resesi.
Pelemahan harga aset-aset berisiko dan kekhawatiran akan resesi juga turut menekan harga minyak mentah dunia.
Harga minyak mentah Brent yang menjadi acuan global turun ke bawah US$ 100/barel. Risiko perlambatan bahkan kontraksi ekonomi membuat prospek permintaan minyak melemah.
Namun di sisi lain, kebijakan dunia Barat yang memboikot minyak dari Rusia juga menimbulkan risiko dari sisi pasokan. Meski ada risiko resesi, harga minyak masih diramal kuat di kisaran US$ 100/barel.
Sepanjang tahun ini harga minyak mentah yang melesat telah menjadi faktor pemicu kenaikan inflasi terutama di AS.
Soal inflasi, investor juga memantau rilis data Indeks Harga Konsumen (IHK) AS yang akan dipublikasikan pada Rabu ini (13/7/2022) waktu setempat.
Konsensus yang dihimpun oleh Trading Economics memperkirakan bahwa inflasi di AS bulan Juni naik 8,8% secara tahunan dan lebih tinggi dari bulan sebelumnya.
Laju inflasi yang membandel bisa membuat bank sentral AS semakin agresif dalam menaikkan suku bunga acuan yang berakibat pada kenaikan dollar AS dan melemahnya mata uang negara lain.
Di pasar komoditas, harga batu bara masih melanjutkan tren penguatannya. Harga batu bara kian dekati posisi tertingginya tahun ini di US$ 446/ton.
Lonjakan harga batu bara pada perdagangan kemarin juga masih masih dipicu oleh melesatnya harga gas alam Eropa.
Faktor lainnya adalah gangguan cuaca di Australia yang merupakan eksportir terbesar untuk batu bara metalurgi dan terbesar kedua untuk batu bara termal.
Peningkatan harga batu bara tentu saja membawa berkah bagi Indonesia. Dengan harga batu bara yang masih tetap tinggi, kinerja ekspor Indonesia diperkirakan masih tetap solid.
Selain ekspektasi ekspor yang masih solid, kenaikan harga batu bara juga membawa berkah bagi kinerja keuangan emiten tambang batu hitam.
Tren pergerakan harga batu bara global masih akan menjadi salah satu fokus utama pelaku pasar dalam waktu dekat dan menjadi sentimen yang menggerakkan harga saham-saham energi.
Namun tetap saja, risiko eksternal masih patut diwaspadai. Dengan rupiah yang masih berada di dekat Rp 15.000/US$ dan yield SBN 10 tahun di atas 7,2%, IHSG masih rawan mengalami koreksi.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Pengumuman kebijakan suku bunga Bank of Korea (08:00 WIB)
- Rilis data neraca dagang China bulan Juni 2022 (10:00 WIB)
- Rilis data inflasi Jerman bulan Juni 2022 (13:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2022 YoY) | 5,01 % |
Inflasi (Juni 2022, YoY) | 4,35% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juni 2022) | 3,50% |
Surplus/Defisit Anggaran Sementara (APBN 2022) | -4,65% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q1-2022) | 0,1% PDB |
Cadangan Devisa (Juni 2022) | US$ 136,4 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA