Newsletter

Sambut Semester II-2022, Semoga Ada Kabar Baik

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
01 July 2022 06:00
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia pada perdagangan Kamis (30/6/2022) secara mayoritas mengalami pelemahan, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah ditutup di zona merah, sedangkan pasar obligasi pemerintah ditutup positif.

Menurut data PT Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG ditutup melemah 0,44% ke posisi 6.911,58. Padahal di sesi I kemarin, IHSG masih berada di zona hijau dan sempat menguat 0,37%.

Pada awal perdagangan sesi I kemarin, IHSG dibuka di zona hijau dan sempat menyentuh level tertinggi intraday-nya di 6.990,86.

Namun pada pembukaan perdagangan sesi II kemarin, penguatan IHSG cenderung terpangkas dan pada akhirnya berbalik arah ke zona merah hingga akhir perdagangan kemarin.

Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai sekitaran Rp 13 triliun dengan melibatkan 20 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,1 juta kali. Sebanyak 156 saham naik, 374 saham turun, dan 153 saham mendatar.

Investor asing kembali melakukan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 306,95 miliar di pasar reguler. Tetapi di pasar tunai dan negosiasi, asing justru melakukan pembelian bersih (net buy) sebesar Rp 233,32 miliar, sehingga secara keseluruhan, asing mencatatkan net sell sebesar Rp 73,64 miliar.

Di Asia-Pasifik, hampir seluruh bursa utamanya mengalami koreksi. Hanya indeks Shanghai Composite China yang ditutup cerah kemarin, di mana indeks saham Negeri Panda tersebut ditutup melesat 1,1%.

Sedangkan dari indeks Asia-Pasifik yang mengalami koreksi, indeks TAIEX Taiwan menjadi yang paling parah koreksinya kemarin, yakni mencapai 2,72%. Kemudian disusul indeks saham Filipina yang ambruk 2,34% dan ASX 200 Australia yang anjlok 1,97%.

Sementara untuk IHSG berada di posisi kedua dari bursa Asia-Pasifik yang koreksinya cenderung lebih rendah. Indeks BSE Sensex India menjadi yang paling rendah koreksinya kemarin yakni turun tipis 0,08%.

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Kamis kemarin.

Sedangkan untuk mata uang rupiah, pada perdagangan Kamis kemarin kembali ditutup melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), sehingga rupiah mencatat pelemahan selama 3 hari beruntun.

Bahkan, rupiah nyaris menyentuh Rp 14.900/US$ dan berada di level terlemah dalam 19 bulan terakhir.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan kemarin dengan melemah tipis saja 0,01%. Sempat menguat 0,2%, rupiah kemudian berbalik melemah hingga 0,31% ke Rp 14.895/US$ yang merupakan level terlemah sejak 29 September 2020. Di penutupan perdagangan kemarin, rupiah juga berada di level tersebut.

Sementara untuk mata uang Asia-Pasifik lainnya, secara mayoritas juga kembali mengalami pelemahan. Hanya dolar Australia, yuan China, yen Jepang, won Korea Selatan, dan dolar Singapura yang menguat dihadapan sang greenback kemarin.

Sedangkan rupiah menjadi yang terburuk kedua, di mana mata uang terburuk pertama jatuh pada baht Thailand yang melemah 0,31% di hadapan sang greenback kemarin.

Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia-Pasifik melawan dolar AS pada Kamis kemarin.

Sementara di pasar surat berharga negara (SBN) pada perdagangan kemarin, secara mayoritas mengalami penguatan harga dan penurunan imbal hasil (yield), menandakan bahwa investor kembali memburunya kemarin. Hampir seluruh tenor SBN mengalami penurunan yield.

Hanya SBN tenor 25 tahun yang cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan kenaikan yield dan pelemahan harga.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 25 tahun meningkat sebesar 1,9 basis poin (bp) ke posisi 7,575% pada perdagangan Kamis kemarin.

Sementara itu, yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara menurun 3,9 bp ke posisi 7,249% pada perdagangan kemarin.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Kamis kemarin.

Kekhawatiran investor akan kondisi makroekonomi global saat ini masih cenderung besar, sehingga mereka cenderung kembali melepas aset berisiko dan beralih memburu aset safe haven seperti obligasi pemerintah.

Kekhawatiran pasar juga dapat dilihat dari turunnya yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) pada perdagangan kemarin, di mana yield Treasury tenor 10 tahun turun menjadi 3,059%, dari sebelumnya pada perdagangan Rabu lalu di 3,093%.

Penurunan yield obligasi pemerintah AS mencerminkan bahwa pelaku pasar mulai mengkhawatirkan potensi resesi yang semakin meningkat, sehingga mereka cenderung memburunya.

Asal tahu saja, pada pembacaan terakhir angka pertumbuhan ekonomi AS, produk domestik bruto (PDB) Negeri Paman Sam terkontraksi 1,6% pada kuartal I-2022.

Angka aktual tersebut menunjukkan kontraksi yang lebih besar dari pembacaan kedua yang menunjukkan kontraksi 1,5%.

Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street kembali memburuk pada perdagangan Kamis kemarin, yang juga merupakan perdagangan terakhir di semester I tahun ini, di mana indeks S&P 500 menutup paruh pertama terburuknya dalam lebih dari 50 tahun terakhir.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melemah 0,82% ke posisi 30.775,43, S&P 500 merosot 0,88% ke 3.785,38, dan Nasdaq Composite ambruk 1,33% ke 11.028,74.

Perdagangan kemarin juga merupakan perdagangan terakhir di kuartal II-2022. Indeks Dow Jones dan S&P 500 berada di jalur terburuknya selama 3 bulan sejak kuartal I-2020 akibat Covid-19. Sementara itu, indeks berbasis teknologi Nasdaq anjlok lebih dari 20% selama tiga bulan terakhir dan menjadi penurunan terburuk sejak 2008.

Indeks S&P 500 membukukan paruh pertama tahun ini yang terburuk sejak 1970, terdampak oleh kekhawatiran terkait inflasi yang meninggi, kenaikan suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), perang Rusia-Ukraina yang masih berlanjut, dan pengetatan pembatasan wilayah (lockdown) di China karena pandemi Covid-19.

"Kami mengalami pandemi yang belum pernah terjadi sebelumnya yang menutup dunia dan respons yang belum pernah terjadi sebelumnya, baik fiskal maupun moneter," kata Stephanie Lang, kepala investasi di Homrich Berg, mengatakan kepada CNBC International.

"Ini menciptakan badai yang sempurna sehubungan dengan lonjakan permintaan dan gangguan rantai pasokan, dan sekarang ada inflasi yang belum pernah kita lihat dalam beberapa dekade terakhir. Kini, pasar dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan baru ini di mana The Fed berusaha mengejar ketinggalan dan memperlambat pertumbuhan," tambah Berg.

Sementara itu, indeks belanja konsumsi perorangan (Personal Consumption Expenditures/PCE) naik 4,7% pada Mei atau melambat 0,2 persen poin secara bulanan dan lebih moderat dari ekspektasi pasar dalam polling Dow Jones yang memprediksi angka 4,8%. Indeks PCE dijadikan tolak ukur The Fed untuk mengukur inflasi.

The Fed telah mengambil langkah yang agresif untuk meredam inflasi yang menyentuh level tertinggi sejak 40 tahun. Kebijakan ini memicu kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 10 tahun, di mana yield Treasury tenor 10 tahun saat ini berada di kisaran 3%.

Presiden The Fed, Cleveland Loretta Mester mengatakan menyetujui kenaikan 75 basis poin (bp) pada suku bunga acuan di pertemuan Juli jika kondisi ekonomi saat ini bisa bertahan. Pada awal Juni, The Fed menaikkan suku bunga menjadi 3,5% dan menjadi kenaikan terbesar sejak 1994.

Investor cemas terhadap keagresifan The Fed akan membawa ekonomi AS ke jurang resesi. "Kami tidak percaya pasar saham telah menyentuh level terendahnya dan kami melihat penurunan akan berlanjut. Investor sebaiknya memegang uang tunai yang banyak sekarang," kata Ketua Sanders Morris Harris George Ball dikutip CNBC International.

Dia juga menambahkan bahwa indeks S&P 500 mencapai titik terendah di sekitar 3.100 karena tindakan agresif The Fed, tapi diperlukan untuk memerangi inflasi yang dapat menekan pendapatan perusahaan dan mendorong saham-saham lebih rendah.

Sementara itu dari data ketenagakerjaan, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan klaim untuk tunjangan pengangguran turun menjadi 231.000 yang disesuaikan secara musiman untuk pekan yang berakhir 25 Juni 2022, dari sebelumnya pada pekan lalu sebesar 233.000.

Di lain sisi, melonjaknya yield Treasury di awal tahun ini dan valuasi ekuitas yang secara historis makin mahal membuat saham teknologi cenderung berkinerja buruk pada semester I tahun ini, karena investor keluar dari area pasar yang berorientasi pada pertumbuhan.

Kenaikan suku bunga The Fed membuat keuntungan masa depan, seperti yang dijanjikan oleh perusahaan yang sedang berkembang, menjadi kurang menarik.

Indeks Nasdaq yang sarat teknologi sangat terpukul tahun ini. Nasdaq telah terkoreksi lebih dari 31%, dan kini di bawah level tertinggi sepanjang masanya yang terbentuk pada 22 November 2021.

Beberapa saham teknologi besar telah mencatat penurunan yang cukup besar tahun ini, dengan Netflix yang ambruk 71%. Sedangkan saham Apple dan Alphabet masing-masing ambles 23% dan 24,8%, dan saham induk Facebook yakni Meta Platform anjlok 52%.

Pada hari ini, investor akan memantau beberapa sentimen, di mana salah satunya yakni pergerakan bursa saham Wall Street yang kembali memburuk pada perdagangan terakhir di semester pertama tahun ini sekaligus perdagangan terakhir di kuartal kedua tahun ini.

Memburuknya kembali Wall Street terjadi di tengah sedikit melambatnya indeks belanja konsumsi perorangan (PCE) AS. Indeks PCE naik 4,7% pada Mei atau melambat 0,2 persen poin secara bulanan dan lebih moderat dari ekspektasi pasar dalam polling Dow Jones yang memprediksi angka 4,8%.

Indeks PCE dijadikan tolak ukur oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) untuk mengukur tingkat inflasi.

The Fed telah mengambil langkah yang agresif untuk meredam inflasi yang menyentuh level tertinggi sejak 40 tahun. Kebijakan ini memicu kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 10 tahun, di mana yield Treasury tenor 10 tahun saat ini berada di kisaran 3%.

Presiden The Fed, Cleveland Loretta Mester mengatakan menyetujui kenaikan 75 basis poin (bp) pada suku bunga acuan di pertemuan Juli jika kondisi ekonomi saat ini bisa bertahan. Pada awal Juni, The Fed menaikkan suku bunga menjadi 3,5% dan menjadi kenaikan terbesar sejak 1994.

Investor cemas terhadap keagresifan The Fed akan membawa ekonomi AS ke jurang resesi. "Kami tidak percaya pasar saham telah menyentuh level terendahnya dan kami melihat penurunan akan berlanjut. Investor sebaiknya memegang uang tunai yang banyak sekarang," kata Ketua Sanders Morris Harris George Ball dikutip CNBC International.

Sementara itu dari data ketenagakerjaan, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan klaim untuk tunjangan pengangguran turun menjadi 231.000 yang disesuaikan secara musiman untuk pekan yang berakhir 25 Juni 2022, dari sebelumnya pada pekan lalu sebesar 233.000.

Pada hari ini, pelaku pasar akan kembali memantau rilis data ekonomi yang cukup penting, di mana salah satunya yakni rilis data aktivitas manufaktur yang berlanjut pada hari ini.

Di AS, data aktivitas manufaktur yang tergambarkan pada purchasing manager's index (PMI) per Juni 2022 versi ISM akan dirilis pada hari ini dan diprediksi masih ekspansif di angka 55, meski sedikit tertekan dari bulan sebelumnya di angka 56,1.

Sedangkan dari China, setelah kemarin dirilis PMI manufaktur versi pemerintah atau NBS, pada hari ini giliran versi Caixin, di mana PMI manufaktur China pada Juni 2022 versi Caixin diprediksi tumbuh 50,5 atau membaik dari posisi Mei yang masih terkontraksi 48,1.

Tak hanya di China dan AS, di Indonesia juga akan dirilis PMI manufaktur S&P Global  periode Juni 2022 yang diprediksi masih ekspansif di 50,5 dari angka sebelumnya 50,8.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawah 50 artinya kontraksi, sementara di atasnya ekspansi.

Masih dari Indonesia, data inflasi dari sektor konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) per Juni 2022 juga akan dirilis pada hari ini.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 14 institusi memperkirakan inflasi Indonesia diperkirakan mencapai 0,44% secara bulanan (month-to-month/mtm) pada Juni tahun ini, meningkat dibandingkan 0,4% pada Mei lalu. Sedangkan, inflasi secara tahunan (year-on-year/yoy) juga diperkirakan melonjak.

Inflasi secara tahunan diperkirakan menembus 4,15%. Level tersebut akan menjadi yang tertinggi sejak Juni 2017 atau dalam lima tahun terakhir di mana pada saat itu inflasi tercatat 4,37%.

Rilis data inflasi inti juga akan mempengaruhi outlook suku bunga Bank Indonesia (BI).

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data tingkat pengangguran Jepang periode Mei 2022 (06:30 WIB),
  2. Rilis data indeks manufaktur Tankan Jepang periode kuartal II-2022 (06:50 WIB),
  3. Rilis data neraca perdagangan Korea Selatan periode Juni 2022 (07:00 WIB),
  4. Rilis data PMI manufaktur Indonesia periode Juni 2022 (07:30 WIB),
  5. Rilis data final PMI manufaktur Jepang periode Juni 2022 (07:30 WIB),
  6. Rilis data PMI manufaktur Korea Selatan periode Juni 2022 (07:30 WIB),
  7. Rilis data PMI manufaktur China versi Caixin periode Juni 2022 (08:45 WIB),
  8. Rilis data inflasi Indonesia periode Juni 2022 (11:00 WIB),
  9. Rilis data awal inflasi Uni Eropa periode Juni 2022 (16:00 WIB),
  10. Rilis data PMI manufaktur ISM Amerika Serikat periode Juni 2022 (21:00 WIB).

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  1. RUPS Tahunan PT Bintang Mitra Semestaraya Tbk (10:00 WIB),
  2. RUPS Tahunan PT Modernland Reality Tbk (10:00 WIB),
  3. RUPS Tahunan PT Saranacentral Bajatama Tbk (10:00 WIB),
  4. RUPS Tahunan PT Siantar Top Tbk (10:00 WIB),
  5. RUPS Tahunan PT Leyand International Tbk (10:30 WIB),
  6. RUPS Tahunan PT Bali Towerindo Sentra Tbk (14:00 WIB),
  7. RUPS Tahunan PT Metropolitan Land Tbk (14:00 WIB),
  8. RUPS Tahunan PT Panca Anugrah Wisesa Tbk (14:00 WIB),
  9. Pembayaran dividen tunai PT Rukun Raharja Tbk,
  10. Pembayaran dividen tunai PT Metropolitan Kentjana Tbk,
  11. Pembayaran dividen tunai PT KMI Wire and Cable Tbk,
  12. Pembayaran dividen tunai PT Jaya Real Property Tbk,
  13. Pembayaran dividen tunai PT Jasa Armada Indonesia Tbk,
  14. Pembayaran dividen tunai PT Ever Shine Textile Industry Tbk,
  15. Pembayaran dividen tunai PT Erajaya Swasembada Tbk,
  16. Pembayaran dividen tunai PT Blue Bird Tbk,
  17. Pembayaran dividen tunai PT Asuransi Ramayana Tbk,
  18. Pembayaran dividen tunai PT Argha Karya Prima Industry Tbk.

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2021 YoY)

5,01%

Inflasi (Mei 2022 YoY)

3,55%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Juni 2022)

3,5%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022)

4,85% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q1-2022 YoY)

0,07% PDB

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q1-2022 YoY)

US$ 1,82 miliar

Cadangan Devisa (Mei 2022)

US$ 135,6 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular