Newsletter

Ambruk Pekan Lalu, Mampukah IHSG Bangkit pada Pekan Ini?

Maesaroh, CNBC Indonesia
Senin, 20/06/2022 06:10 WIB
Foto: Layar monitor menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan saham. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri pada pekan lalu ambruk. Baik bursa saham, rupiah, hingga obligasi jatuh karena kencangnya aksi jual yang dilakukan investor asing.

Kenaikan suku bunga acuan The Fed sebesar 75 bps pada Kamis (16/6/2021), tingginya inflasi Amerika Serikat (AS), perkasanya dolar AS, serta melesatnya yield surat utang pemerintah AS membuat asing ramai-ramai kabur dari pasar keuangan domestik.

Pada perdagangan terakhir pekan lalu, Jumat (17/6/2022), Indeks harga saham gabungan (IHSG) ditutup pada level 6.936,967, anjlok 1,61%. Posisi tersebut menjadi yang terendah sejak 25 Mei 2022.

Pelemahan pada Jumat pekan lalu juga membawa IHSG ke level 6.900 setelah terus berada di kisaran 7.000 sepanjang 14-16 Juni 2022.


Anjloknya IHSG dipicu oleh kaburnya investor asing dari pasar domestik. Data perdagangan mencatat asing net sell Rp 1,29 triliun di pasar regular.
Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), selama perdagangan periode 13-17 Juni 2022 atau sepanjang pekan ini, IHSG bergerak melemah 2,11% secara point-to-point. Sementara itu, net sell dari investor asing menembus Rp 2,03 triliun.

Nilai transaksi selama pekan lalu menyentuh Rp 86,182 triliun, lebih banyak dari Rp 85,928 triliun pada pekan sebelumnya.

Setali tiga uang, pasar mata uang dalam negeri juga rontok. Pada perdagangan Jumat (17/6/2022), rupiah ditutup di posisi Rp14.821/US$, melemah 0,38%. Posisi tersebut adalah yang terendah sejak awal 2 Oktober 2020 atau 20 bulan terakhir.
Pada saat itu, posisi rupiah menyentuh Rp 14.830/US$.

Dalam sepekan, rupiah merosot sekitar 1,86%, yang menjadi pelemahan mingguan terbesar sejak 3 Juli 2020 di mana pada saat itu rupiah ambals 2,12%.


Rupiah menjadi mata uang di Asia dengan pelemahan terbesar sepekan ini. Disusul oleh baht Thailand yang juga terkoreksi 1,38% terhadap dolar AS.

"Pembukaan pasar di pasar Asia sangat dipengaruhi apa yang terjadi di pasar New York, dimana sentimen yang mendominasi adalah kekhawatiran terjadinya resesi ekonomi pasca kenaikan 75 bps Fed Fund rate (FFR)," kata Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI), Edi Susianto kepada CNBC Indonesia, Jumat (17/6/2022).


Aksi jual juga terjadi di pasar obligasi sehingga membuat sebagian besar imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) merangkak naik.
Yield SBN tenor 1,5,10,15, dan 30 tahun merangkak naik sementara yield SBN untuk tenor 3,20,1dan 25 tahun melandai.

Yield SBN untuk seri benchmark 5 tahun FR0090 meningkat 2,7 bps ke 6,62%, sementara yield untuk seri benchmark 10 tahun FR0091 naik 5,5 bps menjadi 7,47%.

Yield untuk dua seri benchmark tersebut juga jauh lebih tinggi dibandingkan pada penutupan pekan sebelumnya yang masing-masing tercatat 6,29% dan 7,22%.

Yieldberlawanan arah dari harga, sehingga naiknyayieldmenunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Bank Indonesia mencatat net sell yang dilakukan investor asing di pasar SBN pada 13-16 Juni 2022 mencapai Rp 6,75 triliun. Jumlah tersebut jauh lebih besar dibandingkan net sell pada periode 6-9 Juni 2022 yakni Rp 0,99 triliun.

Kenaikan yield diperkirakan masih akan terjadi karena banyaknya investor asing yang memilih meninggalkan Indonesia. Reny Eka Putri, Senior Quantitative Analyst (Senior Analis) Bank Mandiri, mengatakan pasar SBN dibayangi risiko kenaikan suku bunga The Fed. Pasar berekspektasi The Fed kembali akan menaikkan suku bunga acuan bulan mendatang bahkan hingga September inflasi AS belum juga terkendali.

Sebagai catatan, inflasi AS menembus 8,6% (year on year/yoy) pada Mei tahun ini, yang menjadi rekor tertinggi sejak Desember 1981.

"Ini akan berdampak pada kenaikan indikator-indikator yang dapat membawa yield obligasi lebih tinggi. Kami memperkirakan ke depan terdapat potensi yield yang akan meningkat seiring masih tingginya risiko eksternal," tutur Reny kepada CNBC Indonesia.




(mae/luc)
Pages