Wall Street Jatuh ke Bear Market Lagi, IHSG Siaga 1!
Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja aset keuangan Tanah Air cenderung tak kompak pada perdagangan kemarin (16/6/2022), indeks saham dan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) menguat dan rupiah melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
IHSG berhasil mempertahankan performa ciamiknya di perdagangan Kamis (16/6), di mana IHSG konsisten berada di zona hijau. Pada sesi I, IHSG melesat 1,62%, sebelum akhirnya memangkas keperkasaanya dan berakhir menguat 0,62% ke 7.050,33.
Investor masih rajin 'memarkir' dananya dengan net buy (pembelian bersih) senilai Rp 397,52 miliar di seluruh pasar, dengan rincian senilai Rp 392 miliar di pasar reguler dan Rp 5,38 miliar di pasar tunai dan negosiasi.
Beda nasib, mayoritas indeks saham di Asia justru tertekan. Indeks Hang Seng Hong Kong ambles 2,17% ke 20.845,43 dan menjadi pemimpin penurunan karena beberapa saham teknologi China yang terdaftar di bursa Hong Kong menjadi beban pergerakan indeks Hang Seng kemarin.
Indeks Shanghai ditutup melemah 0,61% ke 3.285,38, Straits Times terkoreksi 0,27% ke 3.097,43, dan ASX 200 turun 0,15%.
Sementara untuk sisanya yakni indeks Nikkei Jepang ditutup menguat 0,4% ke posisi 26.431,199, KOSPI Korea Selatan naik 0,16% ke 2.451,41.
Nasib kurang mujur justru dialami rupiah. Mata uang Tanah Air harus berakhir terkoreksi 0,17% ke Rp 14.765/US$ dan menjadi titik terendah sejak April 2020 atau 18 bulan yang lalu.
Sebenarnya, rupiah sempat menguat hingga di pertengahan perdagangan kemarin, bahkan penguatannya pun signifikan sebesar 0,34% ke Rp 14.690/US$.
Dengan begitu, rupiah telah melemah selama empat hari beruntun di hadapan si greenback.
Di pasar obligasi, harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) berakhir menguat kemarin, di mana investor masih mengevaluasi kebijakan moneter terbaru dari bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Mayoritas investor memburu SBN setelah beberapa hari mereka melepasnya, ditandai dengan turunnya imbal hasil (yield). Hanya SBN berjangka panjang yakni tenor 25 dan 30 tahun yang cenderung dilepas oleh investor ditandai dengan naiknya yield dan harganya yang melemah.
Yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara berbalik turun 2,4 bp ke 7,411% pada perdagangan kemarin.
Namun, di saat bersamaan yield US Treasury 10 tahun juga turun mencapai 3,246%.
Dengan begitu, spread (selisih) suku bunga AS dan Indonesia tidak terlalu jauh di 4,16% atau 416 basis poin. Sehingga, dapat memicu capital outflow dan investor beralih ke pasar obligasi AS, demi mencari keuntungan.
Hal tersebut mungkin saja menjadi biang kerok penurunan rupiah kemarin.
Menurut survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters, menunjukkan pelaku pasar menambah posisi jual (short) rupiah.
Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka positif berarti short mata uang rupiah dan beli (long) dolar AS dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.
Survei terbaru yang dirilis Kamis (16/6) menunjukkan angka untuk rupiah di 1,33. Semakin besar posisi long, maka nilai tukar dolar cenderung menguat, sehingga menjadi kabar kurang baik bagi rupiah.
(aaf/luc)