Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu menjadi pekan berdarah bagi pasar saham Indonesia. Pasalnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) amblas dan rupiah terdepresiasi, bahkan lumayan tajam. Lantas, bagaimana pekan ini?
Sepanjang pekan lalu, IHSG anjlok 1,34% secara point-to-point (ptp). Tren penguatan selama tiga pekan beruntun, sayangnya harus terhenti pekan lalu.
Pada perdagangan akhir pekan, IHSG berakhir di posisi 7.086,65, terkoreksi 1,34% dan menyentuh titik terendah sejak 30 Mei.
Meski begitu, perdagangan pekan lalu berlangsung lebih semarak ketimbang pekan sebelumnya. Volume perdagangan saham melibatkan 138,6 miliar unit, berbanding 110,85 miliar unit. Sementara frekuensi perdagangan saham tercatat 7,74 juta kali, berbanding 6,19 juta kali.
Namun, nilai perdagangan terpantau senilai Rp 85,92 triliun, lebih rendah ketimbang pekan lalu senilai Rp 89,58 triliun.
Sepanjang minggu lalu, investor asing masih melakukan pembelian bersih (net buy) senilai Rp 1,3 triliun di seluruh pasar, dengan rincian sebesar Rp 478,42 miliar di pasar reguler dan senilai Rp 826,63 miliar di pasar tunai dan negosisasi. Tetapi, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan pekan sebelumnya yaitu net buy Rp 4,75 triliun.
Nampaknya, IHSG tidak sendirian, indeks saham Asia lainnya pun merah. Secara mingguan, Sensex (India) ambles 2,63%, Straits Times (Singapura) anjlok 1,55%, dan PSEI (Filipina) jatuh 3,14%.
Bursa saham Eropa juga ikut anjlok. Dalam sepekan, FTSE 100 (Inggris) ambrol 3,82%, DAX (Jerman) rontok 4,83%, dan CAC (Prancis) merosot 4,6%.
Rupiah juga bernasib sama. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah sepanjang pekan lalu. Mata uang Tanah Air menembus level Rp 14.500/US$.
Pada Jumat (10/6), rupiah menutup perdagangan pasar spot di posisi Rp 14.550/US$. Jadi dalam sepekan, mata uang Ibu Pertiwi terdepresiasi 0,8% di hadapan greenback.
Selain itu, mayoritas yield Surat Berharga Negara (SBN) mengalami kenaikan.
Yield berlawanan arah dari harga obligasi, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, harga obligasi yang melemah mengindikasikan adanya aksi jual. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Hanya yield SBN tenor 15 tahun, 25 dan 30 tahun yang mengalami penurunan, sementara yang lainnya naik.
Tenor | Yield (%) | Perubahan (Poin) |
ID 1Y T-BOND | 3,978 | 0,86 |
ID 3Y T-BOND | 5,674 | 12,7 |
ID 5Y T-BOND | 6,288 | 22,1 |
ID 10Y T-BOND | 7,220 | 22,4 |
ID 15Y T-BOND | 7,339 | -0,8 |
ID 20Y T-BOND | 7,347 | 0,5 |
ID 25Y T-BOND | 7,538 | -2,3 |
ID 30Y T-BOND | 7,446 | -7,6 |
Beralih ke AS, bursa saham Wall Street pada perdagangan pekan lalu terjun bebas setelah rilis data inflasi AS di Mei yang kian 'panas' dan mengindikasikan bahwa inflasi AS mungkin belum mencapai puncaknya.
Secara point-to-point pada pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 4,58%, S&P 500 ambruk 5,05%, dan Nasdaq Composite anjlok 5,60%.
Pada perdagangan Jumat (10/6) pekan lalu, ketiga indeks utama berakhir terkoreksi signifikan, di mana Dow Jones Industrial Average (DJIA), S&P 500, dan Nasdaq Composite amblas masing-masing 2,73%, 2,91%, dan 3,53%.
Tekanan jual terjadi akibat rilis data inflasi terbaru. Pada Mei 2022, inflasi Negeri Paman Sam tercatat 8,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Ini adalah rekor tertinggi sejak 1981.
"Laju inflasi dalam beberapa bulan terakhir lebih 'panas' dari perkiraan. Sepertinya ini menjadi pengingat bahwa inflasi masih akan terus bersama kita dalam waktu yang lebih lama," kata Michael Sheldon, Chief Investment Officer di RDM Financial Group yang berbasis di Connecticut, seperti dikutip dari Reuters.
Data inflasi terbaru membuat pasar makin yakin bahwa bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga secara agresif. Mengutip CME FedWatch, peluang kenaikan Federal Funds Rate sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 1,25-1,5% adalah 76,8%. Bahkan, kenaikan 75 bps ke 1,5%-1,75% juga masuk perhitungan dengan kemungkinan 23,2%.
 Sumber: CME FedWatch |
Di awal perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen, salah satunya yaitu rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) di Mei yang dirilis pekan lalu dan membuat bursa saham global berjatuhan karena meningkatnya kekhawatiran bahwa inflasi belum mencapai puncaknya, sehingga menekan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) untuk bergerak lebih agresif lagi.
Hal tersebut mungkin saja menjadi pengganjal di Asia, termasuk Indonesia.
Pertanyaan pada awal pekan ini bukan apakah The Fed akan menaikkan suku bunganya, melainkan seberapa banyakkah The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya.
Tidak hanya itu, pasar valas mungkin juga terdampak oleh rilis data tersebut. Inflasi yang melonjak, kian meningkatkan potensi The Fed untuk mendongkrak suku bunga acuan dan membuat dolar AS perkasa di pasar spot.
Pada perdagangan akhir pekan lalu, indeks dolar yang mencerminkan posisi si greenback terhadap 6 mata uang dunia lainnya ditutup menguat 0,8% ke posisi 104,148 dan menjadi titik tertinggi sejak 17 Mei. Kini, dolar AS berada semakin dekat dengan level tertingginya selama dua dekade yang disentuh pada pertengahan Mei.
Sepanjang pekan lalu, indeks ini berhasil menguat 1,97% dan menjadi kinerja mingguan terbaiknya dalam enam pekan.
"Inflasi sekarang berada pada level tertinggi 40 tahun dengan sedikit bukti bahwa inflasi telah mencapai puncaknya. Saham memperpanjang kerugian karena ekspektasi The Fed dapat menemukan ruang untuk mempercepat kenaikan suku bunga. Greenback naik karena divergensi kebijakan dan perdagangan risk-off," kata John Doyle, wakil presiden urusan dan perdagangan di Monex USA dikutip Reuters.
Biasanya, ketika suku bunga acuan naik, maka imbal hasil (yield) obligasi akan ikut menguat. Pada Jumat (10/6), yield obligasi jangka pendek dan menengah menyentuh titik tertinggi dalam lebih dari satu dekade setelah rilis inflasi AS di Mei.
Yield obligasi tenor 2 tahun yang sangat sensitif terhadap kenaikan suku bunga, melonjak ke 3,057%, tertinggi sejak Juni 2008. Sementara itu, yield obligasi tenor 10 tahun yang biasa menjadi acuan investor, juga naik ke 3,164% dan menjadi posisi tertinggi sejak 6 Mei.
Tingginya yield obligasi di Negeri Paman Sam, tentunya akan meningkatkan permintaan terhadap surat utang pemerintahannya. Sehingga, permintaan akan dolar AS pun meningkat dan rupiah beresiko terkoreksi.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Pembagian dividen PT Lautan Luas Tbk.
- Pembagian dividen PT Multi Prima Sejahtera Tbk.
- Pembagian dividen PT Hasnur Internasional Shipping Tbk.
- Pembagian dividen PT Berkah Prima Perkasa Tbk.
- Produk Domestik Bruto (PDB) Inggris per April (13:00 WIB)
- Neraca Perdagangan Inggris per April (13:00 WIB)
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan PT Sidomulyo Selaras Tbk. (14:00 WIB)
Di bawah ini adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA