
Amerika Bikin Ketar-ketir! Mampukah IHSG Bangkit?

Di awal perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen, salah satunya yaitu rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) di Mei yang dirilis pekan lalu dan membuat bursa saham global berjatuhan karena meningkatnya kekhawatiran bahwa inflasi belum mencapai puncaknya, sehingga menekan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) untuk bergerak lebih agresif lagi.
Hal tersebut mungkin saja menjadi pengganjal di Asia, termasuk Indonesia.
Pertanyaan pada awal pekan ini bukan apakah The Fed akan menaikkan suku bunganya, melainkan seberapa banyakkah The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya.
Tidak hanya itu, pasar valas mungkin juga terdampak oleh rilis data tersebut. Inflasi yang melonjak, kian meningkatkan potensi The Fed untuk mendongkrak suku bunga acuan dan membuat dolar AS perkasa di pasar spot.
Pada perdagangan akhir pekan lalu, indeks dolar yang mencerminkan posisi si greenback terhadap 6 mata uang dunia lainnya ditutup menguat 0,8% ke posisi 104,148 dan menjadi titik tertinggi sejak 17 Mei. Kini, dolar AS berada semakin dekat dengan level tertingginya selama dua dekade yang disentuh pada pertengahan Mei.
Sepanjang pekan lalu, indeks ini berhasil menguat 1,97% dan menjadi kinerja mingguan terbaiknya dalam enam pekan.
"Inflasi sekarang berada pada level tertinggi 40 tahun dengan sedikit bukti bahwa inflasi telah mencapai puncaknya. Saham memperpanjang kerugian karena ekspektasi The Fed dapat menemukan ruang untuk mempercepat kenaikan suku bunga. Greenback naik karena divergensi kebijakan dan perdagangan risk-off," kata John Doyle, wakil presiden urusan dan perdagangan di Monex USA dikutip Reuters.
Biasanya, ketika suku bunga acuan naik, maka imbal hasil (yield) obligasi akan ikut menguat. Pada Jumat (10/6), yield obligasi jangka pendek dan menengah menyentuh titik tertinggi dalam lebih dari satu dekade setelah rilis inflasi AS di Mei.
Yield obligasi tenor 2 tahun yang sangat sensitif terhadap kenaikan suku bunga, melonjak ke 3,057%, tertinggi sejak Juni 2008. Sementara itu, yield obligasi tenor 10 tahun yang biasa menjadi acuan investor, juga naik ke 3,164% dan menjadi posisi tertinggi sejak 6 Mei.
Tingginya yield obligasi di Negeri Paman Sam, tentunya akan meningkatkan permintaan terhadap surat utang pemerintahannya. Sehingga, permintaan akan dolar AS pun meningkat dan rupiah beresiko terkoreksi.
(aaf/luc)