
Wall Street Longsor, IHSG Masih Kuat Nanjak Hari Ini?

Pada perdagangan hari ini sentimen pasar utama masih didominasi oleh reaksi investor akan keputusan Bank Indonesia untuk menahan suku bunga acuan di level terendah, meskipun secara terbatas respons pasar tampaknya masih positif dengan IHSG ditutup menguat kemarin.
Selanjutnya investor juga patut menyimak dampak kebijakan Bank Indonesia (BI) yang kembali mengerek Giro Wajib Minimum (GWM), khususnya terhadap sektor perbankan.
Sebelumnya di awal tahun ini, BI berencana mengerek GWM Pada Maret (100 basis poin), Juni (100 basis poin) dan September (50 basis poin), untuk bank umum konvensional (BUK) menjadi 6,5%
Dan untuk bank umum syariah (BUS) di September GWM menjadi 5%, dengan kenaikan masing-masing 50 basis poin.
Kemarin, BI mempercepat dan menaikkan lagi GWM tersebut. Untuk BUK, GWM yang saat ini 5% akan naik menjadi 6% di bulan Juni, kemudian 7,5% di bulan Juli dan 9% di bulan September.
Untuk BUS yang saat ini 4% naik menjadi 4,5% di Juni, 6% di Juli dan 7,5% di September.
Kenaikan tersebut diperkirakan akan menyerap likuiditas di perekonomian sebesar Rp 110 triliun. Tetapi tidak akan mengurangi kemampuan perbankan menyalurkan kredit sebab likuiditas dikatakan masih sangat longgar. Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) saat ini berada di kisaran 29% dan akan turun menjadi 28% dengan kenaikan GWM. Tetapi AL/DPK tersebut masih jauh lebih tinggi dari sebelum pandemi Covid-19 melanda di kisaran 21%.
Penyerapan likuiditas tersebut pada akhirnya diharapkan mampu untuk membuat rupiah menjadi jauh lebih stabil.
Investor juga perlu menyimak kondisi terbaru serta implikasi yang terjadi akibat konflik di Eropa Timur antara Rusia dan Ukraina.
Dalam World Economic Forum Annual Meeting yang tengah berlangsung - diselenggarakan hingga 22-26 Mei - Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen kemarin mengatakan kepada CNBC Internasional bahwa dia berharap kesepakatan untuk memberikan sanksi kepada minyak Rusia akan tercapai dalam beberapa hari mendatang.
Bulan lalu blok tersebut telah melakukan embargo atas batu bara Rusia. Jika embargo baru untuk minyak resmi disepakati, harga komoditas dapat kembali naik termasuk batu bara dan dapat mempengaruhi gerak emiten di sektor energi.
Terakhir, investor juga tampaknya perlu memantau kondisi ekonomi AS dan kinerja pasar keuangan di negeri Paman Sam secara luas. Pengetatan kebijakan moneter tampaknya masih menjadi momok dan efeknya mungkin dapat dirasakan hingga ke pasar modal dalam negeri.
Sebelumnya Goldman Sachs memperkirakan ada kemungkinan 35% ekonomi AS memasuki resesi dalam dua tahun ke depan. Pesimisme akan prospek ekonomi AS juga diungkapkan manajer hedge fund yang juga merupakan miliarder, Bill Ackman, yang menyebut bahwa inflasi yang sedang 'mengamuk' hanya akan hilang jika Federal Reserve bertindak lebih agresif atau aksi jual pasar membuat pasar keuangan runtuh.
"Tidak ada prospek pengurangan inflasi yang material kecuali The Fed secara agresif menaikkan suku bunga, atau pasar saham ambruk, mengkatalisasi keruntuhan ekonomi dan hancurnya permintaan," kata Ackman dalam cuitan di Twitter, Selasa (24/5).
(fsd/fsd)