Newsletter

Jelang Long Weekend, IHSG Berpotensi Ambruk Seminggu Full!

Putra, CNBC Indonesia
13 May 2022 06:20
IHSG,  Senin (9/5/2022).
Foto: Layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (9/5/2022). (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Hari ini akan menjadi hari terakhir perdagangan untuk pekan perdana usai libur panjang lebaran jelang libur Hari Raya Waisak. Namun, pasar keuangan domestik sedang dirundung koreksi sepanjang minggu.

Baik saham, obligasi maupun nilai tukar rupiah semuanya kompak melemah kemarin, Kamis (12/5/2022).

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali terlempar dari level psikologis 6.600. IHSG ditutup anjlok 3,17% di level 6.599,84.

Sejak dibuka, IHSG memang sudah anjlok signifikan sampai 1%. Indeks langsung turun ke bawah level psikologis 6.700 dan apresiasi secara YTD tersisa hanya 0,28% saja.

Tekanan jual yang besar membuat IHSG semakin tertekan. Asing net sell saham-saham RI senilai Rp 705,4 miliar di pasar reguler.

Nasib serupa juga dialami oleh pasar Surat Berhaga Negara (SBN). Harga SBN kembali ditutup melemah pada perdagangan kemarin.

Pelemahan harga tercermin dari kenaikan imbal hasilnya (yield). Untuk diketahui, yield SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara berbalik melemah 2 basis poin (bp) ke level 7,399%, sejalan dengan pergerakanyieldobligasi pemerintah AS dengan tenor yang sama.

Yield SBN sudah tembus ke level tertinggi dalam satu tahun. Periode libur panjang setelah lebaran membuat pasar keuangan dalam negeri kocar-kacir.

Outflow yang masif terjadi baik di pasar ekuitas maupun SBN menyusul keputusan The Fed (bank sentral AS) yang memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) di bulan Mei.

Arus dana keluar dari pasar finansial RI juga membuat nilai tukar rupiah tertekan. Di pasar spot rupiah bahkan sempat melemah 0,31% dan menyentuh level Rp 14.600/US$.

Namun di akhir perdagangan rupiah ditutup memangkas pelemahan walau hanya tipis ke level Rp 14.595/US$ atau terdepresiasi 0,27% terhadap greenback.

Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan ritel tumbuh 2,6% secara bulanan dan 9,3% secara tahunan pada Maret 2022.

Berdasarkan hasil survei penjualan eceran (SPE), responden memperkirakan penjualan ritel akan tumbuh 6,8% dibanding bulan Maret 2022 seiring dengan adanya momentum puasa Ramadan.

Namun rilis data ekonomi domestik yang bagus tersebut tidak mampu menjadi katalis positif untuk IHSG. Harap maklum karena sentimen eksternal memang masih dominan.

Indeks Harga Konsumen (IHK) April melompat 8,3% atau lebih buruk dari ekspektasi ekonomi dan analis dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 8,1%. Namun, realisasi tersebut masih lebih landai dari inflasi Maret yang tercatat sebesar 8,5%.

Banyak yang melihat inflasi tampaknya sudah mencapai puncak (peak). Namun dengan agresivitas The Fed menerapkan pengetatan moneter juga dibarengi dengan risiko perlambatan ekonomi.

Beralih ke Wall Street, volatilitas masih sangat terasa. Bursa saham AS dibuka tertekan pada pembukaan perdagangan Kamis (12/5/2022), hingga menyentuh level terendahnya dalam lebih dari setahun terakhir dan kian dekat dengan predikat bearish.

Indeks Dow Jones Industrial Average dibuka drop 190 poin (-0,6%) pukul 08:30 waktu setempat (20:30 WIB), dan selang 30 menit menjadi 225,39 poin (-0,71%) ke 31.608,72. Nasdaq anjlok 105,95 poin (-0,93%) ke 11.258,28 sedangkan S&P 500 surut 35,15 poin (-0,89%) ke 3.900,03.

Hingga akhir perdagangan dini hari tadi ketiga indeks saham Wall Street ditutup mayoritas terkoreksi dimana Dow Jones turun 0,33% dan S&P 500 terkoreksi 0,13% sedangkan hanya Nasdaq yang naik tipis 0,06%.

"Saham dijual di seluruh penjuru dunia, dan nada pasar semakin suram," kata Adam Crisafulli Vital Knowledge dalam laporan riset yang dikutip CNBC International.

Indeks S&P 500 anjlok lebih dari 18% dari rekor tertingginya dan merosot 17% sejak awal tahun ini. Nasdaq jatuh mendekati 30% dari level tertingginya. Situasi koreksi lebih dari 20% dari level tertinggi dalam 1 tahun terakhir bisa dikategorikan sebagai situasi pasar yang bearish.

Indeks harga produsen (producer price index/PPI) April, yang menunjukkan harga barang di tingkat grosir AS, melonjak 11% secara tahunan. Angka itu memang lebih rendah dari posisi Maret, tetapi lebih buruk dari ekspektasi pelaku pasar.

Hal ini kembali memicu kekhawatiran bahwa inflasi tinggi belum akan berakhir. Data inflasi pada Rabu (11/5) menunjukkan Indeks Harga Konsumen (IHK) April berada di 8,3%, yang lebih buruk dari ekspektasi dan masih berada di dekat rekor tertingginya sejak 40 tahun di 8,5%.

Bitcoin anjlok di bawah US$ 27.000 hari ini karena kekhawatiran terhadap inflasi dan runtuhnya Terra yang kontroversial. Perusahaan teknologi dengan kepemilikan Bitcoin, turun di perdagangan.

Wall Street merupakan bursa saham acuan global. Apa yang terjadi di Bursa New York berpeluang menjangkiti pasar keuangan global.

Maklum AS merupakan negara super power dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia dan memiliki mata uang reserves currency yang digunakan untuk berbagai kebutuhan transaksi.

Inflasi yang tinggi di AS memang menimbulkan kekhawatiran bahwa ekonomi akan kembali jatuh ke dalam jurang resesi. Beberapa leading indicator seperti pembalikan kurva imbal hasil SBN AS semakin membuat pasar panik.

The Fed yang agresif dalam mengetatkan kebijakan moneternya membuat pasar panik. Aset berisiko seperti saham dan kripto pun dilanda tekanan jual yang tinggi.

Untuk perdagangan hari ini ada beberapa sentimen yang perlu dicermati oleh pelaku pasar baik yang datang dari eksternal maupun internal.

Dari sisi eksternal,merahnya bursa global seperti Bursa Eropa dan Amerika Serikat tentu saja menjadi sentimen yang kurang baik bagi pasar modal lokal pada perdagangan hari ini.

Selain itu sentimen yang dominan masih seputar inflasi dan kenaikan suku bunga acuan. Selain itu juga ada konflik Rusia dan Ukraina yang belum mencapai titik temu.

Pasar komoditas juga bergerak dengan volatilitas tinggi. Pergerakan harga minyak dengan fluktuasi yang tinggi mencerminkan risiko bagi ekonomi dan pasar keuangan.

Kini harga minyak mentah acuan global Brent masih berada di atas US$ 100/barel. Harga sempat menyentuh US$ 130/barel.

Kenaikan harga minyak dipicu oleh perang Rusia Ukraina. Namun di sisi lain China yang sedang menghadapi masalah lagi dengan Covid-19 juga membuat outlook neraca migas global semakin sulit diprediksi.

Adanya embargo atas minyak Rusia juga semakin memperumit keadaan. Selama ini harga minyak telah menjadi salah satu biang kerok naiknya inflasi di berbagai negara terutama AS. Harga minyak yang naik terlalu tinggi akan memicu inflasi dan ekonomi bisa melambat bahkan terkontraksi (resesi).

Sementara itu dari dalam negeri, hari ini Bank Indonesia (BI) akan merilis data cadangan devisa Indonesia di bulan April.

Trading Economics memperkirakan cadangan devisa Indonesia bulan lalu berada di US$ 137,9 miliar atau turun dari bulan sebelumnya yang mencapai US$ 139,1 miliar.

Meskipun neraca dagang Indonesia masih surplus besar, tetapi dengan adanya outflow dan rupiah yang tertekan bisa saja membuat cadangan devisa tergerus untuk kebutuhan stabilisasi.

Well, untuk hari ini, pelaku pasar harus tetap siap dengan berbagai skenario bahkan termasuk yang paling buruk sekalipun.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  • Rilis data Cadangan Devisa Indonesia bulan April 2022 (11:00 WIB)
  • Rilis data Inflasi Prancis bulan April 2022 (13:45 WIB)
  • Rilis data Inflasi Spanyol bulan April 2022 (14:00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2022 YoY)

5,01 %

Inflasi (April 2022, YoY)

3,47%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (April 2022)

3,50%

Surplus/Defisit Anggaran Sementara (APBN 2022)

-4,65% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q4-2021)

0,40% PDB

Cadangan Devisa (Oktober 2021)

US$ 139,1 miliar

 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular