Libur Usai! Investor Pantau Inflasi & Pertumbuhan Ekonomi
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air libur panjang selama satu pekan terakhir dalam rangka merayakan hari raya Idulfitri tahun 2022.
Ada lag yang cukup panjang dalam waktu satu minggu tersebut, di mana perdagangan pasar keuangan diwarnai oleh berbagai sentimen.
Namun sebelum melihat arah pergerakan pasar pekan ini, alangkah baiknya flashback ke masa perdagangan sebelum ditutup.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau mengalami apresiasi 0,45% dan ditutup di level 7.228,91 pada perdagangan 28 April 2022.
Sepanjang tahun ini, pasar saham domestik memang memiliki kinerja yang positif ketimbang pasar SBN. Inflow ke pasar saham juga mengalir deras.
Data BI menunjukkan pada 18-21 April 2022, nonresiden di pasar keuangan domestik beli neto Rp0,45 triliun terdiri dari jual neto di pasar SBN sebesar Rp 2,71 triliun dan beli neto di pasar saham sebesar Rp3,15 triliun.
Berdasarkan data setelmen s.d 21 April 2022 (ytd), nonresiden jual neto Rp47,52 triliun di pasar SBN dan beli neto Rp 42,12 triliun di pasar saham.
Sebenarnya pasar keuangan domestik cukup mendapat sentimen positif dari lembaga pemeringkat kredit global S&P.
Dalam laporannya, S&P menyatakan bahwa revisi ke atas outlook Indonesia menjadi stabil didasarkan pada perbaikan posisi eksternal ekonomi Indonesia, konsolidasi kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah secara gradual, dan keyakinan S&P terhadap pemulihan ekonomi Indonesia yang akan terus berlanjut sampai dengan 2 tahun ke depan.
Sementara itu, peringkat Indonesia yang dipertahankan pada level BBB didukung oleh prospek pertumbuhan ekonomi yang solid dan rekam jejak kebijakan yang hati-hati.
Pemulihan ekonomi Indonesia pun diperkirakan terus berlanjut ditopang oleh kegiatan ekonomi yang kembali normal, seiring dengan cakupan vaksinasi yang makin luas sehingga mendukung peningkatan kekebalan masyarakat. S&P memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 akan meningkat menjadi 5,1% setelah sebelumnya tumbuh 3,7% pada 2021.
Namun, Indonesia juga perlu mewaspadai risiko yang berasal dari krisis Russia-Ukraina. S&P memandang, meski peningkatan harga komoditas diperkirakan dapat mendorong pendapatan perusahaan dan penerimaan fiskal, namun terdapat risiko penurunan pertumbuhan ekonomi global yang dapat menekan permintaan global.
Selain itu, kenaikan inflasi berpotensi menekan kinerja konsumsi domestik. Meski demikian, S&P menilai UU Cipta Kerja yang disahkan pada 2020 akan memperbaiki iklim usaha, sehingga dapat mendorong investasi dan tingkat pertumbuhan potensial ekonomi.
(trp/luc)