
Libur Usai! Investor Pantau Inflasi & Pertumbuhan Ekonomi

Pekan lalu menjadi minggu yang volatil untuk pasar keuangan AS. Semua bermuara pada kebijakan bank sentral AS Federal Reserves Bank (The Fed) yang memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps).
Menanggapi keputusan tersebut, awalnya tidak ada reaksi yang berlebihan di pasar. Sebab, investor sudah memperkirakan sebelumnya bahwa Ketua Jerome 'Jay' Powell dan sejawat akan mengerek Federal Funds Rate 50 bps. Tidak ada kejutan.
Namun pada perdagangan akhir pekan, ceritanya berbeda. Bursa saham AS 'kebakaran' di mana indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,3%, S&P 500 terkoreksi 0,57%, dan Nasdaq Composite anjlok 1,4%. Nasdaq ditutup di posisi terendah sejak 2020.
"Sekarang, 95% sentimen penggerak pasar adalah suku bunga," ujar Jay Hatfield, CEO Infrastructure Capital yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.
Saat suku bunga di Negeri Paman Sam naik, maka akan diikuti oleh imbal hasil (yield) obligasi pemerintah. Untuk tenor 10 tahun, yield US Treasury Bonds sudah menyentuh di atas 3%, sesuatu yang kali terakhir terjadi pada 2018.
Kenaikan yield menjadi modal kuat bagi dolar AS untuk menguat. Sebab, yield yang tinggi akan membuat investor berbondong-bondong memborong surat utang pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden.
So, keperkasaan dolar AS adalah sebuah keniscayaan sejarah. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) sempat menyentuh rekor tertinggi sejak 2022 atau 20 tahun.
Jadi, inilah sentimen pertama yang harus dihadapi pelaku pasar di Tanah Air selepas libur panjang. Tidak ada waktu untuk jetlag, harus siap siaga sejak pasar dibuka.
(trp/luc)