Kabar Baik dari Wall Street, Akankah IHSG Bangkit?
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia pada perdagangan Selasa (19/4/2022) kemarin secara mayoritas ditutup melemah. Hanya rupiah saja yang menorehkan penguatan kemarin.
Menurut data PT Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG ditutup ambles 1,05% ke level 7.199,23. IHSG sempat menguat di awal perdagangan kemarin. Namun setelah itu indeks anjlok.
Nilai transaksi indeks kemarin mencapai sekitaran Rp 15 triliun dengan melibatkan 25 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,6 juta kali. Sebanyak 179 saham terapresiasi, 359 saham terdepresiasi, dan 153 saham stagnan.
Investor asing pun kembali melakukan aksi beli bersih (net buy) hingga mencapai Rp 423,29 miliar di seluruh pasar, dengan rincian sebesar Rp 329,5 miliar di pasar reguler dan sebesar Rp 93,79 miliar di pasar tunai dan negosiasi.
Dari Asia, bursa sahamnya ditutup cenderung beragam pada perdagangan kemarin. Dari bursa Asia yang mengalami penguatan, indeks KOSPI Korea Selatan memimpin dengan melesat nyaris 1%.
Sedangkan dari bursa Asia yang mengalami koreksi, indeks Hang Seng Hong Kong menjadi yang paling besar koreksinya kemarin, yakni ambruk lebih dari 2%.
Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia pada perdagangan Selasa kemarin.
Sedangkan untuk mata uang rupiah pada perdagangan Selasa kemarin berhasil ditutup menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Melansir data Refinitiv, rupiah menguat tipis 0,02% ke Rp 14.350/US$ saat pembukaan perdagangan kemarin. Sempat melemah tipis ke Rp 14.355/US$, rupiah kemudian terus melaju hingga mencatat penguatan 0,21% ke Rp 14.323/US$. Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.335/US$, menguat 0,13% di pasar spot.
Dibandingkan mata uang Asia-Pasifik lainnya, pelemahan rupiah tersebut menjadi yang terbaik kedua setelah dolar Australia, di mana hanya dolar Australia dan rupiah saja yang menguat dihadapan sang greenback kemarin.
Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia-Pasifik melawan dolar AS pada Selasa kemarin.
Sementara di pasar surat berharga negara (SBN), secara mayoritas kembali mengalami pelemahan harga dan kenaikan imbal hasil (yield) pada perdagangan kemarin.
Hanya SBN bertenor 25 tahun dan 30 tahun yang yield-nya cenderung stagnan di level masing-masing 7,354% dan 7,036%
Sementara untuk yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara makin mendekati kisaran level 7%, di mana saat ini, yield SBN tenor 10 tahun sudah berada di level 6,977%, naik 2 bp.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Selasa kemarin.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk tetap mempertahankan BI-7 Day Reserve Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%.
Gubernur BI, Perry Warjiyo menjelaskan, keputusan tersebut sejalan dengan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar dan terkendalinya inflasi. Serta upaya untuk tetap mendorong pertumbuhan ekonomi, di tengah tekanan eksternal yang meningkat terkait adanya tensi Rusia-Ukraina, serta percepatan normalisasi kebijakan moneter di negara maju.
"Bank Indonesia juga terus mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan mendukung pemulihan ekonomi lebih lanjut," jelas Perry dalam konferensi pers, Selasa kemarin.
Keputusan Gubernur Perry dan kolega sejalan dengan ekspektasi. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia sebelumnya memperkirakan BI-7 Day Reverse Repo Rate bertahan di 3,5%. Dari 14 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus tersebut hanya satu yang memproyeksi BI akan menaikkan suku bunga acuan pada bulan ini.
Namun, BI memperkirakan ekonomi nasional pada 2022 tumbuh lebih rendah dari proyeksi sebelumnya. Perkiraan BI kini adalah 4,5-5,3% dari yang sebelumnya 4,7-5,5%.
Hal ini dipengaruhi oleh kondisi global yang juga tumbuh lebih rendah akibat ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina dan normalisasi moneter pada negara maju merespons lonjakan inflasi.
(chd/chd)