Newsletter

Dear Investor Se-Indonesia Raya, Awas Kena April Fools!

Feri Sandria, CNBC Indonesia
Jumat, 01/04/2022 07:00 WIB
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air ditutup variatif pada hari terakhir perdagangan untuk kuartal pertama tahun 2022. Meski demikian, kabar baik datang dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang ditutup menguat 0,26% ke level 7.071,44 pada perdagangan Kamis (31/3/2022) kemarin.

IHSG sukses menorehkan capaian yang ciamik di sepanjang kuartal I tahun 2022. Hal ini terbukti dari IHSG yang kembali menyundul level all time high penutupan barunya.

Dengan kinerjanya tersebut, IHSG resmi memberikan return sebesar 7,44% sejak awal tahun.

Kinerja solid harga saham-saham domestik juga ditopang oleh adanya inflow dana asing. Untuk kemarin saja asing net buy jumbo sebesar Rp 1,14 triliun di pasar reguler.

Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) menjadi yang paling banyak diborong asing dengan net buy Rp 319 miliar dan Rp 241 miliar. Sedangkan saham PT Surya Esa Perkasa Tbk ESSA dan PT Bukalapak.com (BUKA) menjadi yang paling banyak dilepas asing dengan net sell masing-masing senilai Rp 53 miliar dan Rp 51 miliar.

Mayoritas bursa saham Asia bergerak di zona merah kemarin. Hanya IHSG saja yang sukses bertahan di zona hijau.

Pasar memantau perkembangan di Amerika Serikat (AS) dan konflik Ukraina. Rusia mengklaim menurunkan jumlah pasukan militer di beberapa lokasi di Ukraina. Sementara negosiasi damai masih berlangsung.

Perhatian pelaku pasar juga tertuju pada obligasi AS kemarin, di mana imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 5 tahun dan 30 tahun menunjukkan kurva yang terbalik (inversi) untuk pertama kali sejak 2016. Jika melihat secara historis, inversi ini menunjukkan adanya potensi resesi.

Namun, mayoritas investor mengabaikan hal tersebut. Kemarin, acuan utama yield obligasi tenor 2 tahun dan 10 tahun masih positif.

Sementara itu, mata uang RI ditutup melemah pada perdagangan kemarin. Rupiah sejatinya mengawali perdagangan dengan menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS). Tetapi sayangnya momentum tersebut gagal dipertahankan, dan justru berbalik melemah.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,1% ke Rp 14.325/US$. Sayangnya dalam waktu singkat, rupiah langsung memangkas penguatannya bahkan berbalik melemah dan terus tertahan di zona merah.

Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp level 14.368/US$ atau melemah 0,2%. Pergerakan rupiah tersebut sejalan dengan kurs non-deliverable forward (NDF) yang pagi ini posisinya lebih lemah sore ini ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi.

Sentimen pelaku pasar yang menjadi kurang bagus lagi setelah mendapat kabar kurang sedap dari China membuat rupiah tertekan. Setelah sebelumnya melakukan lockdown di beberapa wilayah, sektor manufakturnya kini mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam 5 bulan terakhir.

Data dari pemerintah China pagi ini menunjukkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur bulan Maret sebesar 49,5, turun dari bulan sebelumnya 50,2 dan lebih rendah dari prediksi ekonomi sebesar 49,7.

PMI manufaktur menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi sementara di atas 50 artinya ekspansi.

Terakhir dari pasar obligasi, Surat Berharga Negara (SBN) ditutup bervariasi pada perdagangan kemarin, di mana sikap investor cenderung beragam menanggapi sentimen pasar global.

Di SBN bertenor 1, 3, 10, dan 30 tahun, investor memburunya ditandai dengan turunnya imbal hasil (yield) dan kenaikan harga. Sebaliknya, SBN berjatuh tempo 5, 15, 20, dan 25 tahun cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan naiknya yield dan melemahnya harga.

Sementara itu, yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara kembali melemah 0,2 bp ke level 6,749%.


(fsd/fsd)
Pages