Newsletter

Dear Investor Se-Indonesia Raya, Awas Kena April Fools!

Feri Sandria, CNBC Indonesia
01 April 2022 07:00
Ilustrasi SPBU
Foto: Ilustrasi SPBU (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Hari ini ada beberapa hal yang wajib diperhatikan oleh para investor, baik itu isu dari luar dan dalam negeri.

Pertama adalah data ekonomi terkait aktivitas manufaktur, baik itu di dalam negeri atau antara mitra dagang RI. Bulan lalu purchasing managers' indeks (PMI) Manufaktur Indonesia berada di angka 51,2, sedangkan untuk bulan Maret ini diperkirakan akan melambat, tetapi masih tetap ekspansif.

PMI manufaktur menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi sementara di atas 50 artinya ekspansi.

Mitra dagang utama lain yang akan merilis PMI manufakturnya hari ini termasuk Jepang, Korea Selatan, kawasan euro dan Amerika Serikat. Konsensus pasar mencatat, aktivitas manufaktur di negara tersebut masih tetap ekspansi pada bulan Maret.

Sementara itu, PMI manufaktur China bulan Maret tercatat sebesar 49,5, turun dari bulan sebelumnya 50,2 dan lebih rendah dari prediksi ekonomi sebesar 49,7.

Kontraksi sektor manufaktur China bisa menjadi kabar buruk bagi perekonomian global. Sebab sebagai negara dengan nilai perekonomian dunia dan konsumen komoditas terbesar, kontraksi tersebut tentunya menurunkan permintaan dari negara lain, termasuk Indonesia.

Selanjutnya investor juga perlu mengamati data inflasi, khususnya dari dalam negeri. BPS dijadwalkan akan merilis data tersebut pagi ini.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia juga menunjukkan adanya kenaikan inflasi secara tahunan (year on year/YoY) secara signifikan. Pada Maret, inflasi secara tahunan diperkirakan menembus 2,6%, atau yang tertinggi sejak April 2020 (2,67%). Adapun pemerintah menjaga target inflasi di rentang 2-4%

Secara historis, inflasi pada Maret biasanya sangat rendah karena ada musim panen raya. Namun, pengecualian sepertinya akan terjadi pada tahun ini. Datangnya bulan Ramadhan di April, perang Rusia-Ukraina, kebijakan pemerintah terkait minyak goreng membuat inflasi Maret tahun ini diperkirakan melonjak.

Selanjutnya, inflasi juga diperkirakan bakal kembali meningkat di kuartal II-2022. Beberapa analis dan ekonom memperkirakan inflasi saat puasa tahun ini bisa tembus ke atas 3% bahkan 4%. Pemicunya adalah kenaikan harga minyak goreng, BBM serta kenaikan PPN dari 10% menjadi 11%.

Hari ini BBM jenis Pertamax harganya resmi mengalami kenaikan 38,88% menjadi Rp 12.500 akibat melonjaknya harga minyak dunia beberapa waktu terakhir.

Selanjutnya terdapat beberapa isu global yang patut disimak. Pertama tentu saja terkait perang Ukraina-Rusia serta implikasinya bagi sektor ekonomi dan bisnis global. Hingga saat ini, perang yang sempat membebani pasar keuangan dunia tersebut mulai memasuki babak baru, dengan Rusia dan Ukraina telah merundingkan upaya deeskalasi konflik.

Meski demikian, pasukan Rusia dan Ukraina masih bertempur pada hari Rabu di Kyiv, di mana bunyi gedebuk dan ledakan disebut terdengar hingga ke pusat kota.

Perang tersebut kini telah memakan korban baru, yakni negara dengan ekonomi terbesar di Eropa. Jerman telah mengeluarkan peringatan dini bahwa mereka akan segera menghadapi darurat gas alam karena ekonomi akibat risiko gangguan pasokan penuh dari Rusia.

Kremlin telah berulang kali menuntut agar negara-negara yang 'tidak ramah' harus membayar dalam rubel untuk membeli gas. Namun negara G-7 - termasuk Jerman -menolak permintaan itu, karena sebagian besar negara saat ini membayar gas Rusia dalam euro atau dolar.

Ketergantungan Jerman pada energi Rusia juga ditakutkan dapat mendorong ekonominya ke dalam resesi, ungkap laporan dari lembaga think tank ekonomi independen German Council of Economic Experts.

Hal buruk lainnya yang sedang terjadi di Jerman adalah tingkat inflasi harga konsumen yang pada pembacaan awal diperkirakan naik menjadi 7,3% pada Maret 2022, terbesar sejak 1981 dan jauh di atas ekspektasi pasar di angka 6,3%.

Selanjutnya investor juga perlu memperhatikan volatilitas harga komoditas, yang kian hari semakin sulit diprediksi. Lockdown di China dan prospek damai antara Rusia dan Ukraina masih menjadi penggerak utama naik-turunnya komoditas penting, termasuk minyak mentah, logam tambang, batu bara, minyak nabati hingga biji-bijian.

Harga minyak mentah dunia ambles nyaris 5% pada perdagangan kemarin, setelah Gedung Putih mengumumkan akan melepas 1 juta barel minyak per hari selama enam bulan ke depan dari Strategic Petroleum Reserve.

Sentimen tambahan juga datang dari negeri Paman Sam, investor hingga ekonom menyimak secara seksama pergerakan imbal hasil surat utang negara. Inversi yield obligasi Amerika Serikat yang terjadi memicu kecemasan akan potensi kembali munculnya resesi.

Riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu mengungkapkan bahwa sejak tahun 1955, ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti akan dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, hanya sekali saja inversi yoeld tidak memicu resesi (false signal).

Imbal hasil Treasury 2-tahun dan 10-tahun mengalami inversi untuk pertama kalinya sejak 2019 pada hari Kamis, mengirimkan sinyal peringatan bahwa kemungkinan resesi di AS bisa saja sudah di depan mata.

Imbal hasil pada Treasury 10-tahun turun menjadi 2,331%, sedangkan hasil pada Treasury 2-tahun berada di 2,337% pada satu titik di akhir perdagangan Kamis kemarin. Setelah inversi singkat, kedua imbal diperdagangkan dengan yield yang sama di level 2,34%.

Bagian dari kurva imbal hasil tersebut adalah yang paling diawasi dengan ketat dan biasanya memberikan kepercayaan paling besar kepada investor bahwa ekonomi bisa menuju penurunan ketika inversi atas dua surat utang tersebut terjadi.

Meski begitu, mayoritas ekonom percaya bahwa kurva harus tetap terbalik untuk waktu yang cukup lama sebelum memberikan sinyal yang valid.

Inversi yoeld Treasury terjadi karena Imbal hasil utang pemerintah AS jangka pendek meningkat secara cepat tahun ini, mencerminkan ekspektasi serangkaian kenaikan suku bunga oleh The Fed, dengan imbal hasil obligasi pemerintah dengan jangka waktu lebih panjang bergerak lebih lambat di tengah kekhawatiran pengetatan kebijakan dapat membebani ekonomi. .

Baru-baru ini pimpinan tertinggi The Fed telah menyebut bahwa kedepannya mereka dapat saja menaikkan suku bunga secara agresif hingga 50 bps bila benar-benar diperlukan.

(fsd/fsd)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular